Eksekusi Tongkonan Ka’pun Dan Hilangnya Jatidiri

Daulat

December 10, 2025

Budi Mangawi*

Eksekusi Tongkonan Ka’pun, Jum’at (5/12). (credits: Ist)

“Bagi orang Toraja, tongkonan bukan sekadar rumah adat, melainkan pusat kehidupan yang menyatukan keluarga, sejarah, dan identitas. Karena itu, ketika tongkonan dirampas atau dihancurkan, yang hilang bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga sebagian dari jatidiri kita sebagai masyarakat adat.”

EKSEKUSI Tongkonan Ka’pun di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, Sulawesi Selatan pada Jum’at (5/12) menjadi tragedi kultural yang menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat adat Toraja. Tongkonan bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol eksistensi identitas, sistem kekerabatan, serta nilai spiritual yang telah diwariskan lintas generasi.

Dalam sistem sosial Toraja, Tongkonan berfungsi sebagai pusat pengambilan keputusan adat, tempat lahirnya legitimasi genealogis atau kekerabatan lintas generasi, serta ruang berlangsungnya ritus keseharian yang mempertautkan manusia dengan leluhurnya. Sehingga, tindakan merobohkan Tongkonan sama halnya dengan mencabut memori kolektif suatu komunitas dari akar sejarahnya.

Eksekusi Tongkonan dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang memenangkan sengketa perdata terkait kepemilikan tanah. Proses eksekusi yang menggunakan alat berat terhadap Tongkonan diwarnai perlawanan warga yang berujung pada tindakan represif dari aparat kepolisian dengan menggunakan tembakaan peluru karet dan penggunaan gas air mata, hingga mengakibatkan belasan warna mengalami luka.

Peristiwa ini memperlihatkan adanya pertentangan antara sistem hukum positif yang mengutamakan kepastian formal, dan sistem hukum adat yang memandang legitimasi kepemilikan melalui nilai-nilai historis serta spiritual.

Adat dan Legalitas

Secara normatif, dalam hukum positif Indonesia yang telah diamanatkan melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945 menegaskan pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Prinsip ini menjadi landasan yuridis bahwa objek-objek adat yang memiliki makna kolektif seharusnya tidak diperlakukan seperti benda keperdataan biasa yang tunduk sepenuhnya pada rezim hukum perdata.

Tongkonan tidak bisa dipandang hanya sebagai barang milik yang bebas dipindahtangankan atau diperlakukan layaknya hunian pribadi yang dapat dieksekusi. Ia adalah warisan budaya yang mengandung nilai-nilai yang tidak dapat diukur secara sederhana dalam kerangka “nilai manfaat” menurut hukum perdata.

Melalui perspektif hukum kebudayaan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang “Cagar Budaya” menetapkan perangkat hukum untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya. Aturan ini mencakup perlindungan terhadap bangunan tradisional yang dinilai memiliki nilai sejarah, pengetahuan, pendidikan, keagamaan, maupun kebudayaan yang penting bagi masyarakat.

Tongkonan Ka’pun telah berusia ratusan tahun, namun sejauh ini belum terdaftar sebagai bagian dari cagar budaya. Sehingga, pemerintah daerah wajib hadir menjaga eksistensi warisan budaya dengan cara mendorong agar rumah adat seperti Tongkonan Ka’pun didaftarkan menjadi cagar budaya agar menjadi satu objek yang harus dilindungi.

Dengan kata lain, kerangka hukum sebenarnya tersedia akan tetapi tidak digunakan, dan dimanfaatkan dalam rangka menjaga eksistensi budaya yang ada.

Peristiwa ini memperlihatkan adanya legal gap antara norma dan implementasi. Sengketa adat yang bersifat internal seharusnya mengedepankan penyelesaiakan sengketa secara internal melalui lembaga adat.

Tongkonan Ka’pun, Kurra. (credits: Google Images)

Namun, dalam kenyataannya, ketika sebuah sengketa sudah dibawa ke dalam sistem hukum formal, maka nilai-nilai kolektif yang hidup dalam adat justru terlepas dari cara berpikir hukum yang kaku dan positivistik.

Negara melalui lembaga penegak hukumnya tampil sebagai pihak yang berkuasa telah memaksakan aturan procedural. Tetapi sering kali menutup mata terhadap keadilan substantif yang diharapkan oleh masyarakat adat.

Relasi dan Hukum Adat

Konflik ini juga membuka ruang refleksi atas relasi kuasa antara negara dan komunitas adat. Ketika negara mengambil alih penyelesaian tanpa melibatkan struktur sosial adat yang memiliki legitimasi historis, maka yang terjadi adalah kekerasan terhadap memori, identitas, dan keberlanjutan budaya.

Robohnya Tongkonan bukan hanya kerusakan fisik, tetapi erosi martabat kolektif masyarakat Toraja terkhusus mereka yang menjadikan Tongkonan tersebut sebagai identitasnya.

Peristiwa ini harus menjadi titik balik untuk merumuskan model perlindungan hukum yang lebih komprehensif bagi objek adat.

Pertama, perlu adanya perlindungan hukum bagi Tongkonan dan warisan budaya serupa melalui inventarisasi dan penetapan cagar budaya pada tingkat kabupaten maupun nasional secara komprehensif. Regulasi harus memastikan bahwa setiap bangunan adat yang telah ditetapkan tidak dapat dieksekusi atau dialihkan tanpa persetujuan lembaga adat dan tanpa analisis sosial-budaya yang holistik.

Gerakan Tolak Eksekusi Tongkonan Ka’pun. (credits: Save Tongkonan)

Kedua, mekanisme penyelesaian sengketa atas hak milik adat harus mengintegrasikan hukum negara dan hukum adat secara setara. Sistem hybrid dispute resolution yang melibatkan pemangku adat, pemerintah daerah, dan lembaga peradilan dapat mencegah tragedi serupa terulang. Pendekatan ini penting untuk menjaga prinsip living law bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat tidak boleh ditundukkan sepenuhnya oleh hukum tertulis.

Ketiga, negara memiliki mandat moral dan konstitusional untuk menjamin keberlanjutan kebudayaan. Perlindungan hukum terhadap warisan budaya bukanlah bentuk pengistimewaan melainkan sebagai wujud keadilan yang memastikan bahwa identitas budaya tidak hilang hanya karena konflik kepentingan sesaat.

Eksekusi terhadap Tongkonan Ka’pun memang telah terlaksana. Saya, dan juga seluruh generasi muda Sang Torayan, tentu tidak ingin peristiwa ini kembali terulang di masa mendatang. Kenangan pahit tentang kejadian serupa sebenarnya sudah terjadi lebih dari sekali, dan hal itu seharusnya menjadi dorongan bagi generasi Toraja untuk terus memperjuangkan martabat serta hak-hak kebudayaan kita.

Bagi orang Toraja, tongkonan bukan sekadar rumah adat, melainkan pusat kehidupan yang menyatukan keluarga, sejarah, dan identitas. Karena itu, ketika tongkonan dirampas atau dihancurkan, yang hilang bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga sebagian dari jatidiri kita sebagai masyarakat adat.

Peristiwa seperti ini tidak seharusnya dipandang sebatas persoalan hukum semata. Tetapi menjadi pengingat bahwa hukum harus berdiri untuk melindungi nilai kemanusiaan dan kebudayaan.

Nilai luhur yang tertuang dalam falsafah Toraja, “Mesa Kada Dipotuo, Pantan Kada Dipomate”, perlu dipahami sebagai dorongan bersama untuk menjaga adat, budaya, serta martabat para leluhur yang telah mewariskan dasar bagi kehidupan masyarakat Toraja hingga hari ini.*

*Advokat, Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Universitas Indonesia. Tulisan dinukil, diedit dan dipublished kembali dari portal Narasi Media.

avatar

Redaksi