Meramu Keanekaragaman Hayati Sumatra Tengah
Lingkungan & Krisis Iklim
December 8, 2025
Jon Afrizal/Kota Jambi

Direktur PT Reki, Adam Aziz mendampingi kunjungan dari pejabat Kemenlh, Oktober 2025 lalu. (credits: Hutan Harapan)
INDONESIA telah memiliki Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025-2045. Ini adalah komitmen Indonesia dalam mengelola keanekaragaman hayati (kehati).
Dokumen IBSAP 2025-2045 berfungsi sebagai panduan strategis dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik itu pemerintah maupun non-pemerintah.
Dokumen ini dirumuskan untuk memperkuat integrasi dan ketahanan ekosistem dalam pengelolaan kehati. Dan juga, mengurangi risiko kepunahan spesies, dan menjaga keanekaragaman genetik.
Menghutip laman Kementerian Lingkungan Hidup (Kemenlh), terdapat tiga tujuan utama dalam dokumen IBSAP. Yakni; menjaga kelestarian ekosistem, spesies, dan genetic. Lalu, memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dan, mewujudkan aksi nyata melestarikan kekayaan alam Indonesia.
Seluruh tujuan ini juga dilengkapi dengan alat ukur yang jelas untuk menilai keberhasilannya.
Sehingga, terus dilakukan tindakan korektif yang berbeda namun saling terkait. Yakni; mengurangi risiko kepunahan, khususnya untuk flagship species yang berstatus terancam punah. Lalu, mempertahankan dan memulihkan keanekaragaman genetik dengan menjaga keanekaragaman dan kemurnian genetik spesies.
Selanjutnya, mengelola secara intensif interaksi manusia-satwa liar untuk meminimalkan konflik. Terakhir, penerapan sains dan teknologi baru, seperti Assisted Reproductive Technology (ART) dan Bio Banking untuk mendukung peningkatan populasi satwa liar, meningkatkan kualitas keanekaragaman genetik, dan menjadi solusi untuk menekan laju kepunahan spesies.
Pada tahun 2023 lalu, area yang telah dilindungi di wilayah darat mencapai 26,7 persen, dan di wilayah laut mencapai 8,9 persen. Kemenlh pun mentargetkan Indonesia mampu melindungi 30 persen dari seluruh area itu pada tahun 2045.
Pun, IBSAP 2025-2045 menjadi landasan bagi semua pihak untuk berkolaborasi mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Harimau Sumatra (panthera tigris) sebagai spesies kunci Hutan Harapan. (credits: Hutan Harapan)
Pemerintah telah mengatur restorasi sebagai bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.
Bentuk bentuk legal formal dari restorasi eksosistem adalah skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) yang memungkinkan perusahaan melakukan pemulihan hutan produksi yang terdegradasi untuk tujuan konservasi dan jasa lingkungan.
Selain itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menyusun standar nasional restorasi ekosistem melalui RSNI 9332:2024, yang memuat prinsip-prinsip dan tahapan pelaksanaan restorasi sesuai pendekatan ilmiah dan partisipatif.
Mengutip Bisnis, kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pemerintah dan multistakeholder telah berhasil memulihkan lahan seluas 4,69 juta hektare di sepanjang tahun 2015 hingga 2021. Restorasi ekosistem ini termasuk di lahan gambut dan mangrove yang bertujuan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan dan lahan yang terdegradasi.
Restorasi ekosistem berfungsi untuk mengembalikan kondisi suatu ekosistem hutan yang telah terdegradasi ke keadaan yang mendekati semula.
Hingga saat ini, tercatat 16 unit manajemen restorasi yang beroperasi dengan luas kawasan mencapai 622.861 hektare. Unit manajemen ini terdapat pada berbagai tipe ekosistem, yakni; di hutan dataran rendah (24 persen), hutan dataran tinggi (14 persen), ekosistem mangrove (2 persen), ekosistem gambut (59 persen), dan, rawa (1 persen).
“Hutan Harapan”, sebagai areal restorasi ekosistem (RE) pertama di Indonesia, pun, pada akhirnya, akan menjadi referensi bagi pengkajian RE di Indonesia.
Pada tahun 2005, Menteri Kehutanan menunjuk areal seluas kurang lebih 101.355 hektare di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan sebagai areal Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi, melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhutan II/2005, sebagai areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia, yang kemudian disebut dengan “Hutan Harapan”.
Pada tanggal 3-4 Desember 2025, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI)telah mengadakan “Workshop Penyusunan Strategi Konservasi Spesies Kunci di Lanskap Hutan Harapan”.
“Workshop ini adalah upaya kami untuk melaksanakan restorasi ekosistem yang sejalan dengan aturan yang berlaku,” kata direktur PT REKI, Adam Aziz, Rabu (3/12).
Secara umum, pengelolaan “Hutan Harapan” adalah pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Dengan tujuan untuk perbaikan nilai ekonomi hutan, pemulihan flora dan fauna yang memiliki nilai penting dan memberi manfaat secara ekonomi kepada masyarakat sekitar hutan.
Adapun kegiatan restorasi ekosistem di Hutan Harapan adalah untuk pemulihan dan peningkatan keanekaragaman tumbuhan ekosistem hutan alam, produktivitas hutan alam, dan kualitas habitat satwa kunci.

Aktifitas Orang Batin Sembilan mencari ikan di sungai. (credits: Hutan Harapan)
Juga, pemulihan keanekaragaman populasi satwa kunci, dan, fungsi hidrologis.
Pun, juga peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat lokal dalam restorasi ekosistem, potensi ekonomi hutan (ekowisata), penelitian, pendidikan dan pelatihan untuk sumber pembiayaan pengelolaan ekosistem hutan.
Adapun areal “Hutan Harapan” adalah kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan dan Sungai Kapas, yang adalah eks areal logging, yang kemudian, kini, dapat disebut sebagai hutan sekunder.
Mengutip laman Hutan Harapan, jenis pohon pada hutan sekunder tinggi didominasi oleh jenis pohon meranti (Shorea spp), medang (Litsea spp), dan balam (Palaquium spp). Sedangkan jenis pohon pada hutan sekunder sedang didominasi oleh meranti (Shorea spp), medang (Litsea spp), dan kempas (Koompasia excelsa). Beberapa jenis pohon termasuk ke dalam jenis-jenis yang dilindungi, diantaranya jelutung (Dyera sp), surian (Toona sp), bulian (Eusideroxylon zwageri), dan tembesu (Fagraea fragrans).
Diperkirakan terdapat sebanyak 374 spesies. Yang terdiri dari 55 spesies klas mamalia, 293 spesies klas aves, 38 spesies klas reptilia dan 26 spesies klas amfibia.
Jumlah spesies fauna yang tergolong dalam spesies endemik atau dilindungi oleh undang-undang di dalam areal restorasi ekosistem terdapat sebanyak 44 species atau 29,33 persen terdiri atas 20 spesies klas mamalia, 22 spesies klas aves, dan 2 spesies klas reptilia.
“Workshop ini juga menampung berbagai ide dari lembaga pemerintah dan non pemerintah untuk pengelolaan areal restorasi ekositem yang lebih baik,” katanya.*
