Aktifitas Driling Di Konsesi HTI, Kok Bisa?
Lingkungan & Krisis Iklim
November 30, 2025
Jon Afrizal/Sako Suban, Sumatera Selatan

Aktifitas illegal drilling di wilayah PT AAS. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
KEGIATAN pemboran minyak bumi tanpa izin (: illegal drilling) masih marak terjadi di area KM 52. Yakni wilayah antara Desa Sako Suban, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dengan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Secara letak, areal illegal drilling ini berada di konsesi PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS).
Mengutip Tanah Kita, PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan akasia. Perusahaan ini memperoleh izin konsesi hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 2009 dari Kementerian Kehutanan melalui SK Nomor 464/Menhut-II/2009 seluas 22.525 hektare.
Lokasi PT AAS meliputi dua kabupaten di Provinsi Jambi, yaitu Sarolangun dan Batanghari dan bersinggungan dengan konsesi yang sudah lama terbengkalai, yakni konsesi PT Wanakasita Nusantara.
PT Wanakasita Nusantara memiliki izin HTI No 672/KTPS-II/1995 seluas 14.844,38 hektare di wilayah Kabupaten Sarolangun. Tidak lama setelah mendapatkan IUPHHK-HT, PT ASS kemudian mengakusisi PT Wanakasita Nusantara.
Pada tahun 2017 PT AAS mendapatkan izin Penetapan Areal Kerja melalui Keputusan Menteri LHK No. 465/Menlhk/Setjen/PLA.2/9/2017 yang diterbitkan pada 7 September 2017 seluas 23.729 hektare. Lebih luas dari SK IUPHHK-HT tahun 2009.
Amira mencatat, setidaknya aktifitas illegal drilling di wilayah KM 52 telah terjadi sejak tahun 2022 lalu. Yakni di wilayah “segitiga” di konsesi PT AAS yang berbatasan langsung dengan Hutan Harapan, areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia, yang dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki).
Dimana tumbuhan Sengon (Albizia chinensis) yang adalah ciri khas dari areal PT AAS di masa sebelum izinnya berubah jadi akasia (Acacia dealbata), dengan mudah dapat ditemui.
Pada bulan Februari 2025 lalu, penegakan hukum oleh aparat gabungan telah dilakukan terhadap kegiatan illegal drilling yang berada di perbatasan antara kedua perusahaan perhutanan yang berbeda konsep ini. Tercatat setidaknya beberapa nama yang menjadi tauke dari aktifitas tanpa izin ini.

Gambar udara wilayah illegal drilling di PT AAS (atas), yang dibelah oleh jalan poros Hutan Harapan (bawah). (credits: Hutan Harapan)
Memang, tidak tercatat para pelaku yang ditangkap, dan hanya diberi teguran keras saja. Tapi setidaknya, penegakan hukum telah mampu membendung lajunya kegiatan illegal ini di wilayah Hutan Harapan. Sekitar 300-an hektare wilayah di Hutan Harapan terimbas oleh aktifitas illegal ini. Pun juga beberapa anak sungai yang tercemar.
Sejak tiga bulan lalu, pengelola Hutan Harapan telah melakukan pemutusan jalan poros yang menghubungkan antara wilayah PT AAS dan PT Reki. Sehingga aktifitas illegal drilling dapat dicegah jika memasuki wilayah Hutan Harapan.
Namun, persoalan utama tetap membuka peluang besar bagi para pelaku. Sebab, di persimpangan jalan poros yang telah diputus itu, di wilayah konsesi PT AAS, masih ada “pengepul” yang membuat “depot”. Dan, adalah tidak mungkin, jika bicara “tidak tahu”. Sebab, begitu banyak derigen minyak berjejer di sana.
Berdasarkan penelusuran Amira, para pelaku menggunakan jalur keluar-masuk di Desa Unit 20 Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Dari Desa Unit 20, minyak bumi yang telah “digoreng” kemudian akan “mengalir” kemana saja, baik itu ke wilayah Sumatera Selatan, maupun ke Provinsi Jambi.
Para pekerja umumnya berasal dari sekitar Kecamatan Batangari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pada sebuah liputan ke Kecamatan Batangari Leko di akhir tahun 2024, Amira pernah melihat pembuatan tiang rig yang berwarna-warna sama dan dengan bahan yang juga sama, seperti yang ditemukan di KM 52.
Selain itu, jika merujuk pada sejarah, pengetahuan tentang drilling, adalah pengetahuan lokal di wilayah itu. Sebagai “warisan pengetahuan” dari Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM) milik Royal Dutch Shell yang beroperasi di Plaju – Sungai Gerong di era pemerintahan kolonial Belanda.
Sementara di era yang sama, wilayah Jambi berada pada masa kebon para atau getah karet (hevea brasiliensis) dan era coupon. Sehingga secara kultur historis, penduduk tidak memiliki pengetahuan tentang drilling. Demikian setidaknya menurut catatan AHP Clemens pada “De Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang Tijdens het Interbellum”.
Sejauh ini, Amira telah berusaha menghubungi pihak PT AAS, tapi tidak ada tanggapan.
Meskipun, seharusnya, sebagaimana perusahaan yang sehat, tentu harus jeli untuk melihat kondisi yang “kacau” di wilayah mereka. Dan mencarikan solusinya.

Persimpangan jalan poros KM 52 di Hutan Harapan ke wilayah PT AAS yang diputus oleh PT Reki. Tenda berwana biru di kejauhan adalah “depot” pengepul. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Jika pun telah terjadi take over (akusisi), maka itupun bukan alasan. Sebab, drilling masih berada di wilayah konsesi yang sama, dan telah terjadi sekian tahun lamanya.
Pun telah pula dibentuk “Forum Meranti Harapan” yang isinya adalah beberapa perusahaan yang berkegiatan di wilayah itu. Namun, aktifitas drilling di kawasan segitiga ini masih juga terus terjadi.
Mengutip laman Commodity, harga minyak mentah WTI pada Jum’at (28/11) diperdagangkan di sekitar USD 63,26 per barel. Dimana 1 barel adalah setara dengan 158,99 liter.
Jika, satu sumur drilling aktif, sebagaimana umumnya sumur illegal, akan mampu memproduksi minyak bumi 200 liter (1 drum) atau lebih per hari, maka, silahkan dihitung sendiri berapa kerugian negara yang diakibatkan oleh aktifitas illegal drilling di kawasan ini.
Sebab, terhitung pada November 2025 ini, terlihat puluhan tiang rig berdiri di wilayah PT AAS, dan berkegiatan 24 jam per hari.
Sebagai catatan, pada satu wawancara, seorang tukang langsir yang membawa delapan derigen minyak mentah untuk satu kali langsir, menyatakan kepada Amira bahwa ia mampu mendapatkan upah minimal IDR 200.000 per hari. Lantas, silahkan dicari sendiri berapa keuntungan yang didapat tauke per harinya.
Itu belum termasuk perputaran uang di warung-warung penyedia makanan dan minuman bagi pekerja di sekitar lokasi.
Mungkin saja, beberapa tauke telah mencari celah untuk berkegiatan bertepatan dengan terbitnya Permen ESDM Nomor 14 tahun 2025 tentang “Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi”. Tetapi, sejauh mana aktifitas ini dapat diklarifikasi kebermanfaatannya.
Sebab, regulasi ini bertujuan untuk meningkatkan produksi migas nasional, memayungi legalitas sumur minyak rakyat, dan memperbaiki tata kelola migas dengan menekankan pada keselamatan kerja dan pengelolaan lingkungan. Permen ini juga membuka peluang bagi masyarakat, melalui BUMD, koperasi, atau UMKM, untuk mengelola sumur minyak rakyat secara profesional dan legal.
Dan, belum juga dapat dijelaskan secara detail terkait overlapping antara wilayah pertambangan rakyat dengan wilayah konsesi perhutanan, berikut juga BUMD, koperasi, atau UMKM yang diberi hak, serta benturan dengan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya.
Maka, jika hanya berpikir tentang keuntungan pribadi atau golongan, tapi membiarkan lingkungan menjadi sakit, tentu kita semua adalah termasuk golongan yang naif.*
