Memberantas Drilling Di KM 52
Lingkungan & Krisis Iklim
February 12, 2025
Jon Afrizal/Bayung Lencir, Sumatera Selatan

Perusakan terhadap pondok para pelaku. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
TERHITUNG sejak Selasa (11/2) telah dilakukan pembersihan aktifitas pemboran minyak bumi di kawasan Hutan Harapan. Terutama di lima titik di KM 52, Desa Sako Suban Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pembersihan ini akan berlangung hingga beberapa hari ke depan.
Tentu saja pemboran minyak ini tidak tepat, karena kawasan ini adalah kawasan restorasi ekosistem, melalui Peraturan Menteri Kehutanan SK. 159/Menhut-II/2004 tentang “Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi” yang kemudian diubah dengan P.61/Menhut-II/2008.
Maka, leader dari pembersihan ini adalah Polhut Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel yang juga adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan support dari Polhut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi serta Polres Batanghari.
“Kami telah memberikan peringatan sejak enam bulan terakhir ini,” kata Adam Aziz, direktur PT REKI, selaku pengelola Hutan Harapan.
Dengan membangun flying camp dan menempatkan personil Perlindungan Hutan (Linhut) di KM 52, pihak pengelola telah memberikan pemberitahuan secara intensif dan berkala kepada para pelaku.
Tetapi, “demand” di pasar tetap membuat para pemodal menempatkan tiang-tiang rig di sana, hingga kedalaman lebih dari 100 meter. Usaha swadaya yang telah merusak hutan.
Mungkin saja nasib-nasiban. Kadang dapat, kadang zonk. Tetapi, investasi untuk aktifitas ini rata-rata mencapai IDR 150 juta per sumur.
Kawasan KM 52 adalah areal yang pernah terbakar di tahun 2019. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah membuat areal ini “terbuka”.
Akibatnya, kawasan ini pun terhubung dengan daerah-daerah dimana aktifitas illegal juga terjadi. Sebut saja; Manggul dan Muntialo di Sumatera Selatan. Dan juga para pemodal dan jaringannya yang bersebaran dari Sungai Bahar hingga ke Muaro Bulian di Provinsi Jambi.

Perusakan tiang rig milik pelaku. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Dengan pola pendekatan intensif ini, satu persatu pelaku mulai keluar dari lokasi. Hingga, ditetapkankah pekan kedua Februari ini sebagai masa pembersihan.
Para pemodal boleh saja merugi. Karena usaha yang tidak pada tempatnya ini terganggu. Padahal, mereka telah mengeluarkan modal sangat banyak, bahkan hingga IDR 250 juta per sumur.
Mari kita lihat persoalan ini melalui proses pembentukan minyak bumi. Sebuah proses panjang, dan tidak instant, yang memakan waktu jutaan tahun lamanya.
Bicara teori, tedapat tiga teori tentang pembentukan minyak bumi; Biogenitik (Organik), Anorganik, dan Duplex.
Ringkasnya, akibat pengaruh waktu, temperatur, dan tekanan, maka endapan lumpur berubah menjadi batuan sedimen. Batuan lunak yang berasal dari lumpur yang mengandung bintik-bintik minyak (Source Rock).
Selanjutnya minyak dan gas ini akan bermigrasi menuju tempat yang bertekanan lebih rendah dan akhirnya terakumulasi di tempat tertentu (Trap). Dalam Trap dapat mengandung; minyak, gas, dan air, atau, minyak dan air, dan, gas dan air.

Pohon tanda kepemilikan lahan. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Proses alami ini seolah terlewati begitu saja, setiap kita bicara tentang eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi. Seolah proses jutaan tahun di alam ini terjadi begitu saja, tanpa hukum sebab-akibat.
Kandungan minyak bumi Sumatra adalah contohnya. Sumatra Selatan, mengutip Pemprov Sumatera Selatan, memiliki cadangan 5.034.082 MSTB, dan cadangan gas alam sebebsar 7.238 BSCF.
Tetapi pengetahun tentang ini, meskipun tidak detail telah diketahui sejak lama. Maka, “bisik berbisik” tentang ekplorasi dan eksploitasi minyak bumi pun terus berlangsung.
Sangat disayangkan, proses sebab-akibat tidak terperhatikan. Dimana, proses jutaan tahun itu terjadi dengan tenang dalam alam yang disebut: hutan.
Ketika, manusia tidak lagi berpikir tentang bagaimana memperlakukan hutan dengan bijak, maka, kerusakan adalah pasti.
Kerusakan ekosistem yang, cepat atau lambat, memiliki dampak lanjutan hingga ke bencana alam, dan juga aspek-aspek sosial.
Selain bicara pemboran, yang juga patut dicermati, adalah adanya tanaman invasive sawit di areal KM 52. Sebaran tanaman sawit adalah bukti dari penguasaan lahan tanpa hak. Dapat ditemui nama-nama di beberapa pohon, sebagai penanda batas pengakuan kepemilikan lahan.
Setelah proses drilling tidak menghasilkan lagi, maka sawit yang mereka tanam akan menghasilkan. Dan, konflik dan pengrusakan alam akan tetap terus terjadi.
Maka, pembersihan ini adalah upaya untuk menjaga kawasan hutan. Dari cara-cara negative atas nama “Keuntungan Pribadi Dan Golongan”.*

