Illegal Drilling Di “Segitiga” Km 52
Lingkungan & Krisis Iklim
March 19, 2023
Jon Afrizal, Jambi
SECEPAT mereka pergi, secepat itu pula mereka datang kembali. Begitulah yang terjadi di kawasan pengeboran minyak bumi tanpa izin, di Km 52 Desa Sialang Mandiri yang berada di perbatasan Kabupaten Batanghari dan Sarolangun Provinsi Jambi.
Ketika liputan ke kawasan yang berada di konsesi PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) ini pada pekan pertama bulan September 2022, terlihat begitu banyak sumur-sumur galian minyak bumi, dengan tiang rig yang terpancang. Meskipun, kawasan ini telah dibersihkan oleh petugas berwenang sekitar dua minggu lalu.
Batang-batang pohon Sengon sebagai penanda bahwa kawasan ini masuk ke areal konsesi PT AAS. Selain juga para pekerja yang melansir (membawa) minyak dengan menggunakan dirigen-dirigen plastik di bagian kiri dan kanan sepeda motor yang telah dimodifikasi.
Sebab jalur yang dilewati hingga ke lokasi pengeboran cukup terjal. Lumpur setinggi ukuran setengah ban motor, atau sekitar 40 centimeter adalah hal biasa.
Meskipun senyatanya, ketika melansir minyak keluar lokasi, harus melewati pos security PT AAS, umumnya pelansir minyak hanya melambaikan tangan, dan melanjutkan perjalanan melalui jalur kecil di sebelah portal, sehingga security tidak perlu lagi menaikkan portal.
“Kami telah berkegiatan sejak seminggu lalu,” kata seorang pelansir yang ditemui di sana.
Terdapat sekitar 10-an orang di lokasi itu. Sementara di titik yang sebelumnya di-police line, atau sekitar 200 meter dari lokasi, terdapat sekitar 30-an orang yang sedang berkerja. Semuanya adalah laki-laki.
Beberapa dari mereka mengaku berasal dari Kabupaten Sarolangun. Tetapi, ada juga yang berasal dari Kabupaten Batanghari, bahkan dari provinsi tetangga, Sumatera Selatan.
Siang itu cuaca sangat terik, tepat pukul 12.00 WIB. Kendaraan roda dua yang membawa kami ke lokasi harus berhenti karena mesinnya mati mendadak.
“Mesinnya kepanasan,” kata driver kendaraan sewaan yang adalah penduduk lokal itu.
Kami pun berbincang-bincang dengan para pekerja, yang semula seperti ingin menyelidiki kedatangan kami. Tetapi, telah kami siapkan alasan yang bernalar agar mereka paham.
Menurut para pekerja, titik pengeboran ini adalah kawasan yang menjadi incaran. Kawasan ini telah ramai didatangi pelaku sejak dua atau tiga tahun lalu.
Atau, jika ingin mengait-ngaitkan, kawasan ini mulai dibuka sejak titik pengeboran di “Pompa Air” dan sekitarnya ditutup beberapa tahun yang lalu.
“Tidak mudah untuk mencari titik pengeboran. Terkadang hanya beberapa hari dan selanjutnya tidak lagi mengeluarkan minyak bumi,” kata seorang pekerja yang lain.
Jika telah “kosong”, maka titik bor akan pindah ke lokasi yang lain. Seperti arah sungai, pengeboran akan menuju ke bagian hulu.
Untuk satu titik bor, luasannya adalah sekitar 5 meter x 5 meter persegi.
Sebelumnya, lahan pun harus dibersihkan. Pohon-pohon liar, termasuk pohon Sengon, harus ditebang.
Jika dibiarkan berlanjut, daya rusak kegiatan illegal ini cukup mengerikan bagi lingkungan.
Namun, lokasi berbentuk segitiga ini adalah “status quo”, dalam artian belum digarap oleh PT AAS. Dengan total luasan sekitar 42 hektare, sangat terbuka kemungkinan untuk melakukan kegiatan illegal. Terlebih, akses menuju ke lokasi cukup susah, dengan medan yang terjal dan jalur jalan yang alakadarnya.
Setelah minyak bumi ditampung dengan menggunakan derigen plastik ukuran 10 liter, selanjutnya minyak dibawa keluar lokasi.
Adalah Km 51, tempat minyak “disetor” ke pengumpul, untuk selanjutnya “digoreng”. Rumah-rumah di pinggir jalan poros adalah lokasi “penggorengan minyak”.
Selanjutnya, kendaraan pic up minibus ataupun truk telah menunggu. Minyak kemudian “diarahkan” ke sebuah daerah bernama “Johor” di sekitar Sungai Bahar, dan kemudian dibawa menuju ke batas Jambi-Sumatera Selatan, dan juga ke Jambi sendiri.*
Artikel ini pertama kali diterbitkan di amirariau.com