“Kaji Tak Putus” Di KM 52

Lingkungan & Krisis Iklim

February 4, 2025

Jon Afrizal/Musi Banyuasin, Sumatera Selatan

Pengeboran minyak bumi di kawasan KM 52 “Hutan Harapan”. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

ORANG Melayu punya ungkapan yang serius tentang seseorang yang mengkaji ilmu tertentu, biasanya ilmu kebatinan, tapi tidak sampai tamat. “Kaji Tak Putus”, demikian ungkapannya.

“Kaji Tak Putus” sangat terkait dengan kondisi kejiwaan. Yang, hampir mirip dengan kondisi yang medis biasa menyebutnya: Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Dimana seseorang mengalami perubahan yang mencolok dalam pemikiran, perasaan, dan tindakan. Kondisi yang dapat mengganggu fungsi sosial, hubungan keluarga, kesehatan dan kesejahteraan fisik, untuk hari ini dan masa depan.

Ini termasuk juga: “kehilangan rasa malu” ketika melakukan tindakan yang buruk. Sehingga akan acuh dengan norma dan hukum, dan cenderung untuk melabraknya.

Begitulah yang terjadi di KM 52, Desa Sako Suban Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Kawasan ini, termasuk ke dalam areal restorasi ekosistem “Hutan Harapan” yang dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).

Catatan transporters. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Yang terjadi saat ini, adalah “kegilaan” pengeboran minyak bumi. Yang publik biasa menyebutnya dengan istilah: illegal drilling.

Tanpa perhitungan terkait dampak lanjutan. Yang penting, bagi mereka, adalah: membor minyak, dapat hasilnya, lalu dijual, dan dapat uang.

Meskipun, adalah lebih baik jika aktifitas ini disebut dengan: pengeboran minyak bumi di lokasi yang tidak sesuai peruntukan.

Kolam penampungan minyak bumi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Karena, kawasan ini telah ditetapkan oleh negara sebagai “kawasan hutan” sejak tahun 2004 lalu. Sehingga, peruntukannya bukanlah wilayah untuk pengeboran minyak.

Kawasan perbatasan Provins Jambi – Sumatera Selatan sejak era kolonial Belanda telah dikenal sebagai areal minyak bumi.

Yang dimulai sejak awal tahun 1900-an. Atau katakanlah, sejak mapping “Midden Sumatra Expeditie” dilakukan di penghujung tahun 1800-an.

Sebuah laporan Belanda bertajuk Jaarverslag over 1937 van de N.V. Nederlandsen-Indische Aardolie Maatschappij te’s-Gravenhage (Laporan tahunan tahun 1937 dari N.V. Netherlands-Indies Petroleum Company di Den Haag), yakni perusahaan pengeboran dan pengolahan minyak bumi yang didirikan pada 14 Desember 1921 dan berkedudukan di Den Haag, menyebutkan nama-nama wilayah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di areal yang kini berada di perbatasan dua provinsi ini.

Yakni; Betung, Kenali Asam, Bajubang, Tempino, Setiti, Meruo Senami dan Kenali Asam. Dengan produksi berjumlah 1.006.212 KGT pada tahun 1937.

Sumber arus listrik pengeboran minyak bumi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Faktanya, hingga hari ini, kawasan Bajubang, bahkan, masih diingat sebagai “Sumur 01” oleh penduduk setempat.

Pada laporan itu, juga disebutkan, bahwa pada akhir tahun 1937, personel Eropa di wilayah ini terdiri dari 43 pegawai teknis dan 5 pegawai administrasi. Sedangkan jumlah pekerja lokal atau pribumi adalah 1989 orang.

Minyak bumi di perbatasan dua provinsi ini termuat juga di The New York Times edisi 10 Juli 1921, dengan judul artikel Djambi’s Oil That Has Troubled International Waters; “The Story of Djambi’s”.

Artikel ini menjelaskan tentang sengketa antara Belanda dan Amerika Serikat terkait penjualan atau distribusi minyak bumi dari dan di Jambi, kala itu.   

Sepeda motor sebagai mesin pengeboran. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Tetapi, kemudian, terjadi Perang Dunia ke-2, dan bala tentara Dai Nippon masuk ke Jambi. Maka ekplorasi dan eksploitasi minyak bumi di wilayah ini terhenti. Belanda menstop pengeboran minyak bumi di sana.

Meskipun mapping tetaplah masih disimpan di ingatan.

Lalu, setelah Indonesia merdeka, terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 46 tahun 1960 tentang “Perubahan nama dan kedudukan hukum serta pemindahan tempat kedudukan N.V. Nederlandsen-Indische Aardolie Maatschappij”. Dimana, perusahaan ini dinasionalisasi.

Nederlandsch-Indische Aardolie Maatschappij (NIAM) diubah menjadi “Pertambangan Minyak Indonesia” (Permindo).

Nota pengambilan minyak bumi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Tetapi, pengetahuan tentang minyak bumi; baik itu ekplorasi maupun eksploitasi dan pengolahan, telah menjadi pengetahuan umum. Karena, NIAM juga memperkerjakan penduduk pribumi.

Pengetahuan itu pun, kemudian, berlanjut secara turun menurun, hingga saat ini.

Maka, yang terlihat di KM 52 adalah pembelajaran nyata dari sejarah penjajahan.

Sayangnya, seperti judul dari artikel ini, pembelajaran ini tidak tamat, atau asal-asalan saja.

Papan Larangan terkait pengeboran minyak bumi di kawasan “Hutan Harapan”. (credits: Jon Afriza/amira.co.id)

Tiang rig, sepeda motor sebagai mesin pengebor, genset, penampungan minyak, gubuk-gubuk kumuh, warung makan, pekerja, dan pelansir. Adalah pemandangan miris di sana.

Akibatnya, dampak buruk dari pengeboran minyak bumi tidak diperhitungkan. Baik itu terkait aturan hukum, peruntukan wilayah, dampak buruk bagi lingkungan, dan keselamatan jiwa pekerja.

Dan, jika titik pengeboran, yang mengandung minyak dan gas, tersulut api, maka serta merta akan terbakar. Para pekerja akan pula terdampak.

Pada akhirnya, aktifatas “gila” ini akan menyinggung: permodalan, pemodal, distributor, penjual, penampung, keuntungan dan keberlanjutan usaha. Yang, seperti pura-pura tidak tahu, bahwa Kawasan Hutan adalah berfungsi sebagai hutan, dan bukan untuk pengeboran.

Hutan sebagai kebutuhan bagi banyak orang di wilayah perbatasan Provinsi Jambi – Sumatera Selatan. Sebagai penghasil udara bersih, resapan air hujan, memproduksi aliran air, dan kantong bagi flora dan satwa, serta fungsi lainnya.

Sebuah “kegilaan” yang sangat, jika kita semua, ikut-ikutan membiarkan kerusakan ini tetap terus terjadi.*

avatar

Redaksi