Orang Rimba Dimanfaatkan Pelaku Illegal Drilling Di KM 52

Lingkungan & Krisis Iklim

November 3, 2024

Jon Afrizal/Kota Jambi

Temenggung Jelitai pada konfrensi pers terkait illegal drilling di Hutan Harapan, di Kota Jambi, Jum’at (1/11). (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

SEBANYAK dua Orang Rimba telah dimanfaatkan oleh para pelaku illegal drilling. Mereka berkegiatan di kawasan segitiga PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), yang berbatasan dengan PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS).

Kawasan ini biasa disebut KM 52 Desa Sialang Mandiri yang berada di perbatasan Kabupaten Batanghari dan Sarolangun Provinsi Jambi. Dan, berhubungan dengan pemain illegal drilling di Desa Sako Suban, Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.

Temenggung Jelitai dari kelompok Orang Rimba Sungai Rengas, Kabupaten Batanghari telah berkunjung ke wilayah itu. Bersama tiga temenggung lainnya mereka telah bertemu langsung dengan dua Orang Rimba yang terlibat itu.

“Kami berupaya untuk melakukan mediasi, melalui pedekatan adat,” kata Jelitai, Jum’at (1/11).

Jelitai mengatakan, dua Orang Rimba yang terlibat itu bukanlah dari rimbo, kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, areal penghiduan Orang Rimba. Melainkan, keduanya, telah lama berada, ataupun mungkin, lahir di sekitar KM 52.

“Kami berempat, hingga kini masih bernegosiasi terkait upaya yang terbaik,” katanya.

Jika mengacu pada hukum adat Orang Rimba Bukit Duabelas, maka, katanya, pelaku pengrusakan alam atau hutan dapat dikenai sanksi sebanyak 2.000 keping (lembar) kain. Sebab, yang menuntut adalah empat temenggung, dengan masing-masing tuntutan 500 keping kain.

Jika, harga satu lembar kain panjang adalah IDR 100.000, maka denda yang harus dibatar oleh setiap masing-masing Orang Rimba yang terlibat illegal drilling adalah IDR 200 juta.

“Tapi, masih kami lakukan pendekatan kekeluargaan,” katanya.

Namun, katanya, sesuai adat Orang Rimba, maka “Yang patuh balik ke Penghulu, yang engkar balik ke Rajo”.

Jika pendekatan yang mereka lakukan gagal, barulah digunakan hukum yang berlaku di wilayah Indonesia.

Manager Perlindungan Hutan PT Reki, TP Damanik mengatakan, sejauh ini pihaknya telah memantau sebanyak lima orang pelaku di kawasan ini. Dan, dua orang Rimba terlibat dalam lingkaran ini.  

Diketahui, seorang pemodal berasal dari Sungai Bahar dan satu lainnya berasal dari Sako Suban.

“Kondisi ini telah terjadi sejak 2022 lalu. Awalnya, mereka hanya berkegiatan di areal status quo PT ASS,” katanya.

Disebut status quo, karena areal ini adalah hamparan pohon sengon yang tidak dirawat dengan baik.

Tapi sejak awal tahun 2024 lalu, kegiatan illegal drilling telah memasuki kawasan Hutan Harapan, wilayah yang dikelola PT Reki, sepanjang lebih dari 1 kilometer.

Meskipun baru terlihat 20 sumur illegal, namun, wilayah yang terdampak diperkirakan mencapai 300 hektare.

Para pelansir minyak dari kawasan drilling, dengan menggunakan kendaraan roda dua yang telah dimodifikasi lalu membawa minyak ke arah luar, dengan melintasi portal PT AAS. Meskipun jalur ditutup portal, tetapi, pelansir dapat menggunakan jalan kecil, yang berada tepat di depan pos penjagaan portal.

Minyak itu, selanjutnya, disetor ke pengumpul di KM 51. Lalu, di bawa ke sebuah kawasan bernama “Johor” di Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi. Selanjutnya, minyak didistribusikan ke wilayah perbatasan Jambi – Sumsel, ataupun ke Jambi. Tergantung permintaan.

Sesuai Pasal 158 Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang “Pertambangan Mineral dan Batubara” pelaku illegal drilling dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak IDR 100.000.000.*

avatar

Redaksi