Cara Belanda Merebut Kembali Minyak Di Sumatra Tengah
Ekonomi & Bisnis
October 30, 2025
Ben de Vries MA*

“Operation Product” di Batoeradja, Sumatra Selatan, tanggal 21 hingga 27 Juli 1947. (credits: Nationaal Archief Materiaalsoort)
“Semuanya bermula di hutan lebat yang dikenal dengan nama Telaga Said I, di Sumatera Utara, pada pertengahan tahun 1880-an. Tempat dimana minyak pertama kali ditemukan.”
SELAMA pendudukan Jepang, gerakan nasionalis Indonesia telah mendapatkan kekuasaan. Para pemimpin nasionalis, yang ditekan oleh pemuda-pemuda Indonesia yang memanfaatkan kesempatan yang diciptakan oleh kapitulasi Jepang yang tak terduga.
Disaksikan oleh pasukan Jepang yang masih tak terkalahkan di Indonesia yang terdiri dari lebih dari 250.000 orang, Achmad Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia secara sepihak, pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah.
Tindakan revolusioner ini mencegah instalasi minyak secara otomatis jatuh kembali ke tangan Belanda.
Komando tertinggi Inggris, yang dipimpin oleh Sir Philip Christison, menyadari bahwa rakyat Indonesia berjuang untuk tujuan mereka dan mengeluarkan pernyataan yang menyiratkan pengakuan de facto terhadap Republik.
Sementara itu, situasi di ladang minyak menjadi rumit. Atas permintaan pasukan sekutu, kilang di Pladjoe dan Soengei Gerong untuk sementara ditempatkan di bawah pengawasan tentara Jepang pada bulan September 1945.
Tentara Kekaisaran Jepang yang menduduki instalasi minyak ini, termasuk ladang minyak terdekat, dan segera menghentikan produksi minyak.
Sementara seluruh ladang minyak Iainnya di Sumatera Selatan diambil alih oleh pasukan Indonesia.
Pejuang kemerdekaan Indonesia dengan cepat mendirikan buruh minyak semi-militer mereka sendiri unit: Persatoean Pagawai Minyak (PPM). Inisiasi ini datang dari Dr. Adnan Gani dan Dr. Mohammad Isa, yang sama-sama memiliki kursi di pemerintahan daerah Republik Indonesia di Palembang.
CEO ‘Koninklijke’, Dr. Barthold van Hasselt, yang tidak senang menyaksikan perkembangan nasionalis ini. Dan ia sangat ingin memulai rekonstruksi kilang dan menghasilkan uang, seperti sebelumnya.

Kilang Minyak BPM di Pladjoe, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1930. (credits: KITLV)
Sehingga, ia meyakinkan komando militer Inggris dan Belanda tentang kepentingan besar yang terlibat dalam bisnis minyak. Menurutnya, pasukan Jepang harus digantikan oleh pasukan Inggris.
Namun usulan ini tidak terjadi, karena ujung tombak operasi militer ada di Jawa. Inggris cenderung tidak membantu Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM/SheII), sebagai anak perusahaan Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen di Hindia Belanda.
Kemudian sesuatu yang Iuar biasa terjadi. Dr. Gani, Gubernur Sumatera Selatan, mengusulkan agar BPM mengambil alih kendali Jepang di pusat-pusat minyak secepatnya.
Imbalannya, adalah; pertama, BPM harus membayar bunga atas keuntungan kepada Republik, dan kedua, seluruh pekerja Indonesia yang menempati kilang pada saat itu harus dipekerjakan oleh BPM dan dibayar dalam bentuk barang berupa makanan, tekstil, dan barang-barang rumah tangga.
Kesepakatan ini menguntungkan Belanda. Sebab, melalui konsultasi damai dan diplomasi minyak yang cerdas ini, pada akhir September 1946, Republik Indonesia memperoleh pengakuan internasional yang sangat mereka butuhkan, dan BPM berhasil mengambil alih kembali instalasi minyak mereka yang paling berharga.
Tentunya, tanpa, baik itu pemerintah Belanda maupun pasukan sekutu, tidak menjadi “prajurit dagang” seperti yang diharapkan Dr Gani untuk mengkonsolidasikan basis politiknya dan meningkatkan posisi ekonominya sendiri.
Namun, gencatan senjata dan perdamaian mulai terlihat. Tapi, konflik meningkat pada akhir Oktober 1946, setelah pidato Jenderal Soedirman dari Partai Republik, yang sangat merugikan posisi Belanda.
Pemberontakan kaum republik terjadi kembali pada tahun 1947, hingga pengeboman berat Palembang oleh unit gabungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara Belanda. Serangan ini dilakukan tanpa pemberitahuan atau peringatan apapun, dan menyebabkan banyak kerugian sipil dan kerusakan kota.
Setelah “Pertempuran Lima Hari Lima Malam” ini, pasukan republik terpaksa mundur dalam radius 20 kilometer di sekitar kota perminyakan. Selanjutnya, para pemimpin politik itu melarikan diri dan bergabung dengan gerakan radikal di daerah Djambi.
Operation Product
Sejak pendaratan pasukan Belanda pada Maret 1946, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Hubertus van Mook di Batavia dan beberapa politisi dari kabinet Beel di Den Haag menjadi lebih rentan terhadap kepentingan minyak di Sumatera Selatan, dan mereka semakin cenderung untuk campur tangan.
Serangan Belanda Pertama (Eerste Politionele Actie) segera menyusul pada Juli 1947, dengan nama: Operation Product. Tujuan utamanya adalah untuk menempati kembali area ekonomi vital sesegera mungkin, dan memulai kembali operasi perusahaan utama.
Selain itu, ada banyak pekerjaan untuk puluhan ribu orang di daerah yang penuh sesak. Jadi, dengan cara ini, Belanda merekrut bnayak orang untuk perusahaan minyak, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia mulai menyusut.

Kamp pekerja BPM di Pladjoe, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1930. (credits: KITLV)
Brigade-Y Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Frits Mollinger menduduki pusat-pusat minyak utama di sekitar Palembang. Dari sudut pandang militer dan ekonomi Belanda, invasi itu sukses.
Pada pertengahan Agustus, pemulihan substansial dari produksi minyak direalisasikan dan kilang menerima minyak Iagi dari ladang minyak dan bekerja hingga 2,5 juta barel per hari.
Serangan Belanda Kedua pada bulan Desember 1948 hampir tidak berpengaruh terhadap produksi minyak di Pladjoe. Mahkota BPM ini berputar dengan “kecepatan penuh”.
Ironisnya, keberhasilan militer Belanda telah menyebabkan dukungan AS bergeser ke Republik, dan memaksa Belanda untuk menegosiasikan pengalihan kedaulatan ke Indonesia.
Dan, selama kedua operasi militer Belanda itu, unit kecil Teknisi BPM telah mengikuti langkah pasukan Belanda dengan cermat, untuk memulai kembali ekstraksi minyak di daerah yang direbut kembali itu.
Diplomasi minyak
Manajemen BPM, di antaranya Johan Frederik van Diermen, administrator Pladjoe, sedang mengeksplorasi kemungkinan untuk mendapatkan kembali kendali atas ladang minyak di dekat Djambi. Dalam laporan rahasia yang ditangani kepada Perdana Menteri Louis Beel, BPM tidak menunjukkan dukungan terhadap aksi militer terhadap Djambi karena takut akan kerusakan dan sabotase pada instalasi minyak.
Sebagai gantinya, BPM membayar USD 5.000 kepada pasukan keamanan kaum republik di ladang minyak dan instalasi di dekat Djambi, untuk mencegah kehancuran. BPM secara pragmatis maju satu langkah.
Dimulai pada Mei 1948 negosiasi langsung dengan para pemimpin moderat, dan “baron minyak”, Isa, Gani dan Pattiasina, yang telah melarikan diri ke Djambi setelah pertempuran sebelumnya di sekitar Palembang.
Sebagai hasil dari perundingan damai ini, konsesi minyak vital kembali jatuh ke Belanda.
Tepat setelah pendaratan pasukan parasut Belanda pada 29 Desember 1948, dan lalu pada 5 Januari 1949, kaum republik telah menyebabkan kerusakan parah pada ladang minyak NIAM di dekat Rengat dan Air Molek. Staf BPM, sebelumnya, telah memperkirakan sabotase ini dalam banyak percakapan dengan para politisi Belanda.
Namun, baik BPM maupun politisi Belanda mendukung untuk merebut kembali pusat minyak penting ini. Setidaknya, ini karena perusahaan minyak Amerika Cowie & Co INC sangat ingin membeli konsesi lokal dari Republik seharga satu juta dolar.
Selama aksi militer, unit-unit teknis kecil BPM beroperasi lagi sebagai orang-orang terdepan bagi pasukan Belanda, dan mampu meminimalisir kerusakan dan memulai pekerjaan perbaikan.
Pada pertengahan 1949 minyak mentah kembali disalurkan, dengan tingkat produksi sebelum perang.*
*Cultural Heritage Agency of the Netherlands
