Muasal Kata “Duit” Dan Jejak Kolonialisme Belanda
Inovasi
November 27, 2024
Jon Afrizal
Replika kapal “Batavia” (credits: wiki commons)
KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan definisi dari “duit” adalah: satuan mata uang tembaga zaman dulu (120 duit = satu rupiah), dan alat pembayaran.
Kata “duit” dapat dirujuk hingga 400 tahun lalu. Duit adalah satuan mata uang terkecil di Belanda dan beberapa wilayah di barat Jerman.
Kata “duit” juga dapat dirujuk ke bahasa Jerman “dute” atau “thaler” di era lampau. Artinya, kira-kira adalah “koin” atau sejenisnya.
Mengutip Ullen Sentalu, duit adalah mata uang yang digunakan dalam aktivitas perdagangan bangsa Belanda pada abad ke-17 hingga 18 Masehi ke beberapa negara, termasuk ke Nusantara.
Kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang ada masa masa itu (1602-1799) telah pula memberlakukan “duit”sebagai salah satu alat transaksi. Sehingga, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa “duit” adalah mata uang.
Lintasan Masa Numismatika Nusantara: Koleksi Museum Bank Indonesia menyebutkan mata uang “duit” tertua berasal dari tahun 1720. Mata uang ini berbentuk koin bundar pipih dengan dua sisi, berbahan tembaga, dan memiliki tebal 1 milimeter.
Pada sisi depan koin bertuliskan kota percetakan: HOL LAN DIA plus tahun cetaknya: 1720, sedangkan sisi belakang memuat figur Singa.
Pola yang berbeda dijumpai dari koleksi “duit” cetakan tahun 1726 dan 1735. Dimana, tulisan HOL LAN DIA diganti dengan logo VOC dan hiasan bunga di antara dua titik pada bagian atasnya. Sementara figur Singa digambarkan dalam garis berbentuk tameng berhiaskan mahkota di atasnya membentuk simbol kerajaan Belanda.
Berat dan diameter “duit” juga mengalami perubahan. “Duit” cetakan tahun 1720 memiliki berat 2,9 gram dan diameter 22 milimeter. Sedangkan “duit” cetakan tahun 1726 dan 1735 memiliki berat 2,6 gram dengan diameter 23 milimeter dan berat 1,7 gram dengan diameter 20 milimeter.
Perubahan-perubahan fisik mata uang “duit” di atas terjadi karena Nusantara sempat kekurangan mata uang akibat penerapan hak monopoli VOC.
Untuk menyelesaikan masalah itu, maka VOC memesan koin khusus dengan monogram berupa logo VOC dan simbol kerajaan Belanda sekitar tahun 1726 hingga 1794.
Bahkan, faktor lainnya, karena banyaknya hambatan pengiriman “duit” dari Belanda, VOC sempat mengedarkan “duit” dengan bahan campuran tembaga dan timah yang ditempa di Batavia dan Surabaya.
Mata uang “duit” VOC tahun 1797. (credits: vcoins)
Menjelang akhir kekuasaannya, VOC menghadirkan mata uang “duit” dengan sisi belakang bertuliskan aksara Arab-Melayu: دويت atau dibaca “Duwit”.
Penjelasan dari akun @pameranpribadi di aplikasi Instagram, dimana pemilik akun memamerkan koin “duit” yang ditemukan di Jawa Tengah. Koin VOC 1797 “1 Duit”, katanya, adalah koin darurat pada masa itu.
Dengan adanya kode huruf “N” pada lempengan koin. Kode ini merujuk pada kata “Noodmund” (: emergency money).
Koin “duit” ini berbahan timah. Sehingga sangat jarang ditemukan dalam keadaan utuh sempurna.
Koin jenis ini, katanya, hanya dicetak 7.691.520 keping saja. Meskipun, butuh penelusuran lanjutan terkait angka detailnya.
Bagi para kolektor ebnda bersejarah, harga koin “duit” cukup tinggi. Tentu karena kelangkaannya, yang berhubungan dengan baik atau tidaknya kondisi koin.
Situs jual beli ebay, misalnya. Pada penjelasan 1797 Netherlands East Indies VOC Java Tin Duit, NGC XF 45, Rare Emergency Issue, dibandrol dengan harga USD 495.00 per koin, atau setara dengan IDR 7.745.265.
Bambang Sugiyanto dalamSekilas Tentang Temuan Ribuan Koin Belanda di Desa Mandala, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan menyebutkan bahwa pada masa VOC Belanda, banyak beredar mata uang dengan berbagai satuan nilai. Seperti; schelling, dukat, dukatoon, doit, stuiver, rijksdaalder, gulden, dan sebagainya.
Mata uang itu dicetak di provinsi-provinsi di negeri Belanda dan Hindia Belanda, terutama di Batavia. Hampir setiap tahun pemerintah Belanda mengeluarkan bentuk mata uang koin lain, dengan besaran yang berbeda, dari tahun 1800 hingga awal 1900.
“Noodmund” (: emergency money), atau juga fase darurat terjadi pada tahun 1796 hingga 1797. Saat itu, VOC mengalami kesulitan menyuplai uang dalam pecahan-pecahan kecil dengan jumlah yang cukup untuk keperluan transaksi.
Ini terjadi karena kiriman uang dari negeri Belanda terlambat atau tidak sampai ke Indonesia. Baik itu karena kapal yang tenggelam, ataupun masalah lainnya.
Pada saat yang sama, jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin picis juga tidak berhasil merapat di pelabuhan-pelabuhan. Alasannya juga bermacam-macam, mulai dari kapal yang dirompak di tengah laut atau karena tenggelam dihantam badai.
Sehingga VOC mengambil inisiatif dengan membuat uang darurat yang disebut bonk.
Caranya dengan mendatangkan tembaga batangan dari Jepang. Tembaga, lalu dipotong-potong, dan dicap di kedua sisinya. Selanjutnya, berat setiap potong distandardisasi.
Tetapi pada masa itu juga, berdasarkan studi pustaka, diketahui terdapat kegiatan pembuatan uang koin palsu. Beberapa kelompok pada masa itu berusaha untuk membuat dan mencetak koin logam yang lain dari yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dari VOC sampai ke Nederland Indie.
Bentuk koin palsu ini secara umum langsung dapat dilihat dengan “mata telanjang”. Sebab, memang terlihat berbeda dan sangat tidak sempurna bentuknya.
Pemalsuan uang ini tidak hanya terjadi pada mata uang koin saja. Tetapi juga mata uang kertas yang dibuat oleh pemerintah Belanda.
Kegiatan pemalsuan ini sedikit banyak mempengaruhi kondisi perekonomian pada masa itu. Akibatnya, banyak mata uang yang ditarik dari peredaran.
Berdasarkan temuan ribuan koin VOC oleh Gumri (45) warga Desa Mandala pada tanggal 9 Mei 2011, di dasar Sungai Mandala, seluruhnya mempunyai angka tahun pembuatan sebelum tahun resmi penaklukan Kerajaan Banjarmasin, yaitu dari tahun 1730 sampai 1858.
Ini semua terkait dengan ambisi Belanda untuk menguasai batu bara di wilayah Kalimantan. Pembukaan tambang batubara yang ada di Pengaron, adalah buktinya.
Pembangunan tambang batu bara Pengaron ini juga yang akhirnya menyulut perang besar antara Belanda dengan masyarakat Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Pangeran Antasari.*