Perang Minyak Bumi; Nippon Menginvasi Hindia Belanda
Resonansi
October 24, 2025
David Jenkins*

Pendaratan Dai Nipppon Di Pulau Jawa. (credits: Wiki Commons)
MENTERI Koloni Belanda, Jean Chretien Baud, telah mengingatkan Gubernur Jenderal Pieter Merkus pada tahun 1842, bahwa Pulau Jawa adalah ibarat “gabus tempat Belanda mengapung.” Antara tahun 1851 hingga 1866, sepertiga dari pendapatan negara Belanda berasal dari pengiriman uang dari Jawa.
Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai memperluas kekuasaan kepulauan di luar Jawa. Ininu membuka jalan bagi pendapatan yang lebih besar; dari minyak, timah, karet, dan tanaman perkebunan lainnya. Hindia Belanda adalah tanah jajahan dengan nilai tinggi.
Namun, tak lama kemudian, Belanda mulai khawatir. Ada ancaman dari dalam dan luar.
Jepang, yang telah berhasil menguasai Korea dan Taiwan, melemparkan pandangan tamak pada Hindia Timur. Seorang diplomat senior Inggris mencatat pada tahun 1921, telah terjadi “teror Jepang” selama Perang Dunia I. Ia takut bahwa Tokyo akan mengabaikan netralitas Belanda dan menerjang kepemilikan tropisnya yang menguntungkan dan dipertahankan dengan ringan.
Meskipun serangan seperti itu tidak pernah terjadi, namjun ketakutan Belanda terhadap Jepang tetap ada. Ketakutan itu juga tidak berdasar. Pejabat Inggris itu mengatakan,
“… Jepang terobsesi oleh gagasan bahwa negara mereka suatu hari ditakdirkan untuk menjadi tuan Pasifik dan pulau-pulaunya. Mereka menganggap Belanda sebagai kekuatan yang sangat lemah, dan kerajaan kolonialnya ditakdirkan untuk diganggu.”
Terlepas dari ketakutan mereka, Belanda bersalah karena berpuas diri yang berlebihan.
Selama beberapa tahun mereka berpegang teguh pada prinsip netralitas yang ketat sembari percaya, bahwa Inggris dan Amerika tidak akan pernah membiarkan Hindia Timur yang kaya jatuh di bawah kendali musuh: Jepang. Serangan skala besar hampir mustahil, karena pasukan Jepang yang bermusuhan harus melewati kepemilikan Prancis, Amerika, dan Inggris. Dan, Inggris menguasai Singapura.
Pada hari Minggu, 11 Januari 1942, lima minggu setelah serangannya di Pearl Harbor, Jepang menyerang. Sebelum fajar, pasukan pendarat angkatan laut mendarat di Menado dan Kema di Sulawesi Utara.
Pada hari yang sama, unit Jepang lainnya mendarat di pelabuhan minyak Kalimantan Timur (Kalimantan) di Tarakan. Pasukan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang bertahan akhirnya menyerah hanya 24 jam kemudian. Satu pasukan Jepang kemudian merebut seluruh Kalimantan timur.
Pasukan yang kedua menyapu Sulawesi, sementara unit anak perusahaan merebut Ambon dan Kupang. Pasukan ketiga mengambil ladang minyak paling produktif di Hindia Belanda, di Palembang di Sumatera selatan.
Pangkalan angkatan laut Inggris yang besar di Singapura jatuh pada tanggal 15 Februari, diserang dari belakang oleh pasukan Jepang yang bergerak cepat menyusuri Semenanjung Malaya. Juga, didukung oleh tank-tank ringan dan pasukan udara. Sementara pasukan Inggris dan Australia yang mundur tidak memiliki pertahanan yang memadai.

Penyerangan Dai Nippon di Pulau Jawa. (credits: Wiki Commons)
Selama waktu ini, pilot pesawat tempur Belanda dari sayap udara KNIL melakukan upaya untuk membendung kemajuan Jepang. Tetapi mereka disapu oleh pesawat-pesawat tempur Zero Jepang, yang diterbangkan oleh pilot yang telah mendapatkan pengalaman tempur di Tiongkok.
Pada akhir Februari, Jawa terisolasi.
Angkatan Darat Keenam Belas Jepang yang berkekuatan 97.800 orang dengan 55.000 prajurit akan mendarat di Jawa pada 10 pertama bulan Maret. Setelah tiba di darat, tentara Jepang menyingkirkan 65.000 pasukan KNIL yang kewalahan.
KNIL beranggotakan orang-orang lokal, dan hanya 25.000 di unit reguler, serta 16.000 pasukan Inggris, Australia, dan Amerika, dan itu adalah mustahil.
Serangan utama Jepang terhadap Hindia Belanda, adalah kampanye perang selama delapan pekan.
Jepang telah mengorganisir dua pasukan kuat untuk merebut Jawa. Pasukan Barat, yang telah dibentuk di Teluk Cam Ranh di Indocina, yang diperintah oleh Prancis Vichy, termasuk 56 kapal pengangkut yang dikawal oleh kapal induk ringan, enam kapal penjelajah, dan sembilan belas kapal perusak. Itu untuk menempatkan Divisi ke-2 Jepang di darat di Teluk Banten dan Merak, di sudut barat laut Jawa.
Divisi ini akan melaju ke timur untuk merebut Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), dan Bandung. Dimana Belanda berencana untuk membuat pertahanan terakhir.
Pasukan Barat akan mendarat di Eretan Wetan, sekitar 17 mil sebelah barat Indramayu di Jawa Barat, dan menyerang wilayah selatan untuk mengamankan lapangan terbang Kalijati yang berjarak 26 mil di utara Bandung.
Pasukan Timur akan mendarat di Kragan dan menyerang ke timur menuju kota pelabuhan Surabaya dan ke barat ke Jawa Tengah. Pendaratan di Jawa terjadi pada 1 Maret, ditunda hanya sebentar oleh Pertempuran Laut Jawa, di mana kapal-kapal Angkatan Laut Kekaisaran Jepang hampir mengahncurkan seluruh kekuatan angkatan laut Sekutu di NEI, dengan menenggelamkan enam kapal Sekutu.
Sementara, di pelabuhan di Teluk Banten, kapal-kapal konvoi Jepang sempat diancam pada dini hari tanggal 1 Maret 1942, oleh kapal penjelajah berat Amerika USS Houston dan kapal penjelajah ringan Australia HMAS Perth. Tetapi, keduanya ditenggelamkan dalam waktu setengah jam.
Selama masa kebingungan itu, empat armada angkutan Jepang, terkena torpedo. Jepang banyak kehilangan. Mulai dari perangkat radio, buku kode, dan “peti perang enam juta yen” hilang.
Pasukan Belanda telah menebang pohon dan menghancurkan jembatan menjelang pendaratan; ini memperlambat kemajuan Jepang.

Kampanye menanam Pohon Jarak untuk keperluan bahan bakar kendaraan Dai Nippon. (credits: Wiki Commons)
Pendaratan Jepang di Kragan berada di bawah komando Letnan Jenderal Tsuchihashi Yuitsu, komandan Divisi ke-48 yang berkekuatan 12.900 orang, yang telah menyerang dan menduduki Manila dan kemudian mengejar pasukan Jenderal Douglas MacArthur saat mereka mundur ke Semenanjung Bataan.
Divisi ke-48 ini sudah menggunakan bermotor, telah menguasai kendaraan tambahan di Manila dan membawanya ke Jawa.
Di Kragan, Tsuchihashi mengirim pasukan utamanya berlari ke timur menuju Surabaya, yang ia capai pada 8 Maret. Pada pukul 10:00 pagi hari itu, pasukan unit terdepan melaporkan bendera putih berkibar di jembatan Wonokromo di sisi selatan kota. Pada pukul 13:30, setelah beberapa keraguan, Tsuchihashi membatalkan rencana pemboman artileri di Surabaya pukul 14:00.
Resimen Artileri Berat Lapangan ke-17 datang dengan semangat tinggi. Operasi Jawa berakhir dengan mereka tidak melepaskan satu tembakan pun.
Dikarenakan hilangnya perangkat radio di Teluk Banten, tidak ada komunikasi antara markas besar Imamura di barat dan divisi Tsuchihashi di timur hingga sebuah pesawat Jepang menjatuhkan silinder komunikasi di Surabaya setelah sembilan hari pendaratan, dan memberitahu bahwa Belanda telah menyerah.
Sementara itu, pasukan bermotor di bawah Mayor Jenderal Sakaguchi Shizuo, telah berlari ke selatan dan barat, merebut ladang minyak di Cepu dan kota-kota di istana Solo dan Yogyakarta. Sebelum menyapu ke pelabuhan pantai selatan Cilacap, untuk mencegah pasukan Belanda melarikan diri ke Jawa Barat.
Meskipun dipimpin oleh seorang jenderal bintang dua, Detasemen Sakaguchi adalah kekuatan yang hanya terdiri dari dua batalyon saja. Untuk menyamarkan fakta ini, itu dibagi menjadi tiga eselon, masing-masing dengan kekuatan kurang dari tiga kompi, dengan untuk meyakinkan Belanda bahwa mereka menghadapi seluruh divisi.
Taktik ini, dan serangan berani dan cepat Sakaguchi melintasi Jawa Tengah, pun berhasil. KNIL akhirnya berantakan.
Di Yogyakarta pada tanggal 5 Maret, eselon Mayor Kanauji Ken’ichi mengejutkan komandan Belanda dan mengambil 700 tawanan. Kanauji menyapu ke arah Cilacap, meninggalkan tahanannya di tangan tiga tentara Jepang; seorang kapten, seorang NCO, dan seorang prajurit. Dalam enam hari pertama, Eselon Kanauji rata-rata maju seratus kilometer per hari.
Jepang telah mengantisipasi pada bulan Desember 1941, bahwa mereka mungkin membutuhkan waktu 20 hingga 60n hari untuk merebut Jawa. Tetapi, untuk menguasai pulau Jawa hanya dalam sembilan hari, dengan kehilangan 255 orang tewas.
Jeang menyandera 82.600 tawanan perang, termasuk sekitar 10.600 tentara Inggris, 4.900 Australia, dan hampir 900 Amerika. Mereka juga melucuti 85.000 senapan dan senapan mesin dan 89 juta butir amunisi.
Sesungguhnya, pertempuran lebih besar hanya dapat dihindari jika penyerahan Jepang. Sementara Jepang mempersiapkan diri untuk pertempuran sampai mati, yang mungkin mengakibatkan korban yang lebih besar daripada yang terlihat di Iwo Jima, Sukarno dan Mohammad Hatta telah memposisikan diri untuk proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang mereka buat pada 17 Agustus 1945, hanya dua hari setelah Jepang menyerahkan diri.*
* mantan editor regional Far Eastern Economic Review. Ia menulis studi tentang kekuasaan Presiden Soeharto, dan juga buku tentang perkembangan politik, militer, dan diplomatik di Jawa pada tahun 1945.
