Menghutankan Kembali Areal Eks Karhutla

Lingkungan & Krisis Iklim

November 21, 2023

Jon Afrizal/Sungai Jerat, Batanghari

Mahasiswa biologi fakultas sains dan teknologi Universitas Jambi sedang menanam bibit pohon di areal eks karhutla di Hutan Harapan, Minggu (19/11). (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

MENGHANCURKAN lebih gampang ketimbang memperbaiki. Penghancuran itu yang terjadi di sepanjang Agustus hingga September 2023 lalu, di kawasan restorasi ekosistem pertama di Indonesia, Hutan Harapan.

Tindakan yang juga menghancurkan harapan banyak orang terhadap udara dan air, yang menjadi kebutuhan mahluk hidup.

Tercatat seluas 181 hektare  areal Hutan Harapan telah dirambah dan terbakar sepanjang periode musim kahutla pada tahun 2023 ini. Dengan lima titik karhutla, yang pada akhirnya terhubung dalam satu noktah besar : perluasan perkebunan sawit.

Maka tercipta dua kubu: tumbuhan hutan dan para pendukung konservasi versus sawit dan pendukung perkebunan tanaman eksotik.

Sangat melelahkan jika hanya berdebat  tentang aturan yang berlaku. Faktanya, “mengisi perut” kerap menjadi alasan untuk membabat pohon-pohon yang seharusnya terus tumbuh mengejar sinar ultraviolet itu.

Pohon-pohon yang sebenarnya adalah anakan yang masih tersisa, karena pembalakan berizin pada tahun di bawah 2000-an. Kawasan ini, sebenarnya adalah eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Asialog di masa sebelum tahun 2000-an itu.

Sehingga terbuka jalur jalan yang dulunya menjadi jalan poros dari HPH itu. Jalur jalan, yang menjadi pintu bagi mereka yang pura-pura tidak mengetahui jika kawasan ini sekarang adalah areal restorasi ekosistem.    

Yuk Nani, anggota community patrol Batin sembilan sedang menunjukan ke kawasan yang dirambah dan dibakar untuk dijadikan kebun sawit, di Hutan Harapan. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

Tentu saja, jika mau bicara jujur, kawasan Hutan Harapan selama ini adalah pasokan air bagi perkebunan sawit di Sungai Bahar dan sekitarnya. Dan, sudah rahasia umum jika sawit yang bersal dari Abydos itu adalah tumbuhan palma yang rakus air.

Jika hutan ini terus dirambah, maka pasokan air akan berkurang. Akibatnya, kualitas dan kuantitas dari produk-produk tandan buah segar akan menurun.

Kawasan Sungai Jerat, Minggu (19/11) didatangi oleh sekitar 100 orang. Mereka adalah himpunan mahasiswa biologi fakultas sains dan teknologi Universitas Jambi, masyarakat peduli api (MPA), dan pecinta otomotif. Mereka datang kelima titik karhutla itu untuk menanam sekitar 2.000 bibit pohon.

“Butuh kepedulian bersama untuk memperbaiki dan menanam kembali hutan yang telah dirambah ini,” kata Raidah, mahasiswi asal Fak-Fak, Papua.    

Yuk Nani, anggota indigenous people Batin Sembilan, kerap mengamankan perambah di kawasan ini. Ia adalah bagian dari community patrol Hutan Harapan. Ia pun mengetahui siapa-siapa saja yang kerap menjadi pemain di kawasan ini.

Tetapi, ia dan ranger lainnya tidak dapat berbuat banyak karena tindakan pengamanan mereka akan dibenturkan dengan isu hak asasi manusia. Meskipun, sama-sama disadari bahwa udara yang bersih adalah juga hak seluruh manusia.

“Mereka adalah pendatang dari luar daerah. Mereka  memasuki kawasan ini sejak 10 tahun terakhir, dan semakin banyak saja,” kata Yuk Nani.

Kawasan Sungai Jerat berada di bagian tengah Hutan Harapan. Kawasan ini pun pernah menjadi kampung perambah sebelum tahun 2019. Selanjutnya, pada akhir 2019 diadakan pembersihan oleh pihak keamanaan dan pengelola hutan harapan, PT Restorasi Ekosistem (REKI). Sebanyak 21 orang perambah ditahan beberapa hari oleh pihak Polres Batanghari, untuk memberi efek jera.

Tetapi, para pelaku tidak pernah jera. Mereka terus melakukan ekspansi sawit karena alasan “butuh makan”. Walaupun, semua terkait dalam satu lingkaran besar : pabrik kelapa sawit (PKS) dan ego manusia untuk mendapatkan uang dari berkebun sawit. Yang berujung pada ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan kebutuhan dunia terhadap minyak sawit.

“Apa yang telah diamanatkan negara sebagai kawasan hutan, akan tetap kita jaga sesuai peruntukannya. Dan kami pun berterimakasih kepada banyak pihak yang telah mendukung upaya ini,” kata Direktur PT REKI, Adam Aziz.

Memang, tidak ada salahnya bertanam sawit. Tapi adalah salah jika mengubah kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan untuk bertanam sawit.

Sebab, ehm, sawit bukanlah tanaman hutan, melainkan perkebunan satu jenis. Dan tanaman hutan bukanlah satu jenis, tapi banyak jenis.*

avatar

Redaksi