Langgar Tata Ruang, Sanksi Menunggu
Lingkungan & Krisis Iklim
July 6, 2025
Surya Aditya/Kota Jambi

Peta digitasi rencana pembagian wilayah TUKS PT SAS. (credits: Walhi Jambi)
SANKSI dapat diberikan kepada pengguna ruang yang melanggar peruntukan tata ruang. Pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang ini termaktub dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”.
Mengutip laman Pekerjaan Umum, operasionalisasi sanksi di daerah, sejauh ini belum efektif diberlakukan. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya pengguna ruang yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku di wilayah tertentu.
Sehingga, dengan pemuatan pasal-pasal tentang sanksi dan denda ini, khususnya Pasal 69, baik pejabat maupun anggota masyarakat yang melanggar amanat tata ruang harus bersiap-siap berhadapan dengan hukum.
Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan.
Pertama; hukuman pidana tiga tahun dan denda IDR 500 juta bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang.
Kedua, pidana 8 tahun dan denda IDR 1,5 milyar bagi pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.
Ketiga, pelanggaran yang menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda IDR 5 Milyar.
Adapun dasar hukum dari pemberian sanksi, mengutip Hukum Online, adalah; Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2022 tentang “Cipta Kerja” yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang nomor 6 tahun 2023.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah bagian dari rencana umum tata ruang nasional. Secara hierarki terdiri dari; RTRW nasional, RTRW provinsi, dan, RTRW kabupaten dan RTRW kota.

Areal stockpile batu bara PT SAS. (credits: Jambi Independen)
Sementara itu, keberadaan stockpile batu bara PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) di kawasan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, hingga hari ini terus diprotes warga.
Selain melanggar RTRW Kota Jambi yang telah ditetapkan pada 2024 silam, keberadaan stockpile batu bara di sana jelas akan merusak lingkungan dan mengancam kesehatan warga.
Pun, juga ditambah dengan pembangunan hauling (jalan khusus) batu bara, dengan mengggunakan alat berat menuju ke stockpile. Aktivitas alat berat membuang timbunan tanah ke embung dan wilayah resapan air, berpotensi menimbulkan banjir di area permukiman warga.
Yang terpenting, mengutip laman Walhi Jambi, terkait pembangunan jalur hauling dan rencana operasional stockpile ini, warga setempat sedari awal tidak pernah dilibatkan untuk berunding, dan tidak ada keterbukaan informasi.
Rumitnya lagi, berdasarkan hasil overlay data spasial WALHI Jambi melalui WebGIS “Rencana Tata Ruang Online” milik ATR/BPN, diketahui bahwa lokasi Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) PT SAS seluas 70 hektare dimana 2 hektare adalah untuk stockpile, berada di dalam Kawasan Perlindungan Setempat (KPS).
Kawasan ini secara hukum diperuntukkan untuk perlindungan lingkungan. Sehingga tidak semestinya dialihfungsikan untuk kepentingan industri ekstraktif seperti batu bara.
Maka, sesuai aturan yang berlaku, yakni Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”, perusahaan yang melanggar RTRW harus dijatuhi sanksi, seminimal mungkin, adalah sanksi administratif.
Sebab, penegakan hukum bagi pelanggaran peruntukan ruang yang dapat mengakibatkan bencana bagi daerah sekitarnya harus dilakukan. Sehingga, peraturan bukan hanya sebatas kebijakan saja.*

