Kembali Ke “Sekolah Rakyat”
Daulat
July 2, 2025
Jon Afrizal

Ilustrasi pendidikan (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
DI era pendudukan Jepang, dengan semangat Asia Raya, para negarawan Indonesia bernegosiasi dengan pemerintah pendudukan Jepang, dan berhasil mendirikan Sekolah Rakyat (SR), yakni sekolah tingkat dasar. Sekolah Rakyat yang adalah gratis dan tanpa biaya ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat literasi dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia untuk seluruh kalangan.
Sekolah Rakyat, mengutip Museum Pendidikan Nasional, dibuka di banyak wilayah di Indonesia.
Sekolah Rakyat, yang setingkat dengan Sekolah Dasar (SD) pada saat ini, digunakan secara resmi dari tahun 1941 hingga 13 Maret 1946. Dan, setelah kemerdekaan, Sekolah Rakyat berubah bentuk menjadi Sekolah Dasar (SD) pada tanggal 13 Maret 1946.
Adapun di era kolonial Belanda, sekolah tingkat dasar pertama kali dibuka pada tahun 1892 di Kota Bandung, Jawa Barat. Pun, sekolah ini diberi nama Sekolah Rakyat (SR).
Ini adalah lanjutan dari Politik Etis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.Sebab, di era itu, sekolah tingkat dasar hanya ditujukan terutama untuk kalangan warga Eropa saja. Yakni: Lager Onderwijs en Lagere School voor Europeanen (LOLSE).
Sedangkan untuk kaum pribumi, setelah penerapan Politik Etis, bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS).Namun, kemudian, untuk menghilangkan kesan Eropa, kerap digunakan istilah SR saja.
Pada saat ini, istilah Sekolah Rakyat kembali digunakan oleh Pemerintah Indonesia. Mungkin saja, penggunaan kembali istilah ini, adalah untuk menghilangkan sisi ekslusifitas dunia pendidikan, yang telah menjadi rahasia umum, bahwa pendidikan adalah mahal harganya.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf memastikan bahwa program Sekolah Rakyat mulai berjalan serentak pada Juli 2025. Sebanyak 100 titik rintisan disiapkan untuk menampung 9.755 siswa dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Pun, 100 titik tambahan juga sedang disiapkan.
Dikarenakan bersifat gratis, maka, untuk memastikan agar program ini tepat sasaran, pemerintah menerapkan sistem penjaringan siswa. Yakni dengan menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Ilustrasi pendidikan (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Dan dilanjutkan dengan proses seleksi dan verifikasi langsung di lapangan. Dengan melibatkan Dinsos, pendamping PKH, BPS, dan kepala daerah.
Berbeda dengan era pendudukan Jepang dan kolonial Belanda, Sekolah Rakyat pada saat ini bukan hanya sekolah tingkat dasar saja. Melainkan dirancang sebagai sekolah berasrama untuk jenjang SD, SMP, dan SMA.
Pada tahap awal, telah terjaring sebanyak 9.755 siswa dalam 395 rombongan belajar untuk jenjang, SD, SMP dan SMA.
“Siswa dibimbing oleh 1.554 guru dan 3.390 tenaga pendidikan pendukung,” katanya, mengutip Kompas, Selasa (1/7).
Program ini pun lebih menyasar kepada pendidikan karakter bagi siswa. Dengan memberikan pelajaran terkait nilai-nilai agama, kepemimpinan, hingga keterampilan hidup.
Adapun wilayah-wilayah awal untuk program Sekolah Rakyat, adalah; Pulau Jawa (48 titik), Sumatra (22 titik), Sulawesi (15 titik), Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Maluku (masing-masing empat titik), serta Papua (tiga titik).
Pada tahap awal, sekolah akan memanfaatkan gedung-gedung milik pemerintah pusat dan daerah yang telah direnovasi. Dengan biaya IDR 200 miliar per sekolah.
Selanjutnya, pemerintah akan membangun sekolah permanen di atas lahan minimal 8 hektare.*

