Sawit : Dari Abydos Menuju Kanalisasi Gambut
Lingkungan & Krisis Iklim
September 11, 2023
Jon Afrizal
Hiasan di kuil besar Abydos. (credits : Steve FE Cameron)
SAWIT (elaeis guineensis jacq) adalah idola perekonomian. Olahan buah sawit, mulai dari crude palm oil (CPO) hingga turunannya seperti sabun mandi, misalnya, telah menciptakan persaingan ekonomi di Asia Tenggara; antara Malaysia dan Indonesia.
Ekspansi perdagangan eskpor sawit di Asia Tenggara, menurut frymax.co.uk, telah menjadikan Malaysia sebagai negara eksportir sawit nomor 1 di dunia pada tahun 1960-an. Tetapi setelah itu, Indonesia adalah eksportir utama.
Kebutuhan terhadap minyak sawit, terutama di Inggris, telah dimulai sejak era Revolusi Industri pada tahun 1776. Ketika itu, tenaga manusia mulai dikalahkan dengan mesin-mesin pabrik.
Minyak sawit, saat itu, digunakan untuk pembuatan lilin dan minyak pelumas mesin. Dan tahun-tahun setelahnya, para petani dari Afrika Selatan pun mulai melakukan ekspor secara sederhana ke Eropa.
Jauh sebelum era Revolusi Industri, minyak sawit telah dimanfaatkan di Abydos, Mesir. Kuil Abydos adalah peradaban Mesir kuno yang berada di sebelah barat Sungai Nil, yang sekarang juga disebut sebagai Kom el Sultan.
Abydos memiliki 76 raja dinasti, satu diantaranya adalah Nebkheperure Tuthankhamun atau yang biasa dikenal dengan Fir’aun. Ia adalah dinasti ke-18, yang memerintah pada abad ke-13 sebelum masehi, dan dimakamkan di Ta-Sekhet-Ma’at (lembah para raja), di tepi barat Sungai Nil.
Ketika para pharaoh itu berkuasa, minyak sawit telah digunakan. Para arkeolog, menemukan banyak zat yang adalah minyak sawit di kuil besar Abydos. Mereka lalu menyimpulkan bahwa minyak sawit digunakan untuk keperluan makanan bagi para penghuni Abydos.
Sawit adalah tanaman yang berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Sebuah negeri dengan 1.500 hingga 2.000 milimeter per tahun, tempat sebuah delta sungai terbesar di dunia berada, yakni Delta Niger, dan hutan bakau yang luas di tengah benua Afrika. Di sana, minyak sawit juga dimanfaatkan untuk pengolahan makanan.
Sawit dibawa ke Nusantara oleh Dr. D. T. Pryce, seorang peneliti pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Kala itu, empat biji sawit yang dibawa, masing-masing dua biji; dari Bourbon Maritus dan Hortus Botanicus Amsterdam ditanam di Lands Plantentuin te Buitenzorg (Kebun Raya Bogor), dan berhasil tumbuh subur.
Selanjutnya, bibit-bibit sawit pun disebar ke Deli Sumatrea Utara pada tahun 1875. Masa itu adalah masa sulit rakyat Nusantara, dengan pola Koelie Ordonantie (kuli kontrak) dan poenale sanctie (sanksi pidana) yang diterapkan pemerintah kolonial..
Indonesia, memiliki curah hujan 2.898 milimeter per tahun. Sehingga sawit yang ditranslokasikan ke Indonesia pun dapat tumbuh subur, sama seperti di negeri aslinya, Nigeria .
Dengan lahan gambut yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera (5,8 juta hektare), Kalimantan (4,5 juta hektare) dan Papua (3 juta hektare), menurut pantaugambut.id, maka gambut adalah lahan yang potensial untuk ditanami sawit.
Sawit adalah tanaman yang toleran terhadap gambut. Sehingga menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, sekitar 800.000 hektare areal gambut di Indonesia telah ditanami sawit. Dengan produksi sebanyak 12 ton hingga 27 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektare per tahun.
Gambut, menurut unri.ac.id, adalah tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan. Sehinggga mempunyai kadar bahan organik yang sangat tinggi.
Lahan gambut, secara alami selalu berada dalam kondisi jenuh air (anaerob). Berkebalikan dengan kondisi ini, tanaman sawit yang dibudiyakan memerlukan kondisi yang aerob.
Tetapi, upaya untuk mengatasi masalah ini cukup radikal, yakni dengan kanalisasi (drainase). Drainase ditujukan untuk menurunkan permukaan air tanah untuk menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman agar akar tanaman tidak terendam dan tanaman dapat tumbuh secara optimal.
Tetapi, cara ini malah menyebabkan kehancuran bagi lahan gambut. Hamparan lahan gambut yang dibelah-belah dengan pola drainase telah mengubah ekosistem yang ada. Lahan gambut menjadi kering, dibakar dan mudah untuk terbakar.
Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektare pada masa Orde Baru yang digagas oleh Siswono Yudo Husodo melalui Keppres nomor 82 tahun 1995 adalah kegagalan generasi masa lalu untuk mengolah lahan gambut secara berkelanjutan.
Alih-alih mencapai swasemba beras, sebanyak 15.59415.594KK transmigran malah dibawa mengarungi kanalisasi kubah-kubah gambut di Kalimantan Tengah. Mereka terjebak di tengah kepungan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan kabut asap.
Tampaknya, kita kembali mengulangi kesalahan yang sama. Terbukti, hingga saat ini, karhutla dan kabut asap tetap terjadi; di lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera.*