Gambut Tidak Bisa Membakar Diri

Hak Asasi Manusia

September 6, 2023

Junus Nuh/Kota Jambi

Kondisi Kota Jambi yang diselimuti kabut asap, Selasa (5/9). (photo credits: Junus Nuh/amira co.id)

PROVINSI Jambi memiliki luasan gambut terluas nomor tiga di Pulau Sumatera. Dengan lahan gambut seluas 716.839 hektare di Provinsi Jambi, menurut brgm.go.id, tentu menjadi persoalan tersendiri bagi provinsi yang memiliki empat taman nasional ini.

Areal gambut, yang umumnya berada di wilayah pesisir, seperti Kabupaten Muarojambi, Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur adalah bio diversity yang telah dipaksakan untuk menjadi arena investasi.

Tanaman satu jenis (mono kultur) menjadikan areal gambut sebagai tempat “menanam produk ekspor”. Sehingga, jika bicara investasi, perhitungan untung dan rugi secara ekonomi yang kemudian dikedepankan.

Kanalisasi, atau yang selama ini biasa disebut dengan tata kelola bertanam di areal gambut, adalah cara mengatur sirkulasi air di areal gambut. Agar tanaman satu jenis yang cenderung rakus air tetap dapat pasokan air.

Meskipun, senyatanya, ini adalah praktek monopoli air. Dimana air dikelola dan dikuasai oleh perusahaan perkebunan satu jenis, dan untuk kepentingan mereka.

Faktanya, tumbuhan mereka tetap terpenuhi kebutuhan akan air. Meskipun daerah di sekelilingnya kekeringan. Begitu juga ketika musim hujan, jika air memang sangat berlebih, tetap dapat dibuang ke sungai terdekat. Sehingga mengakibatkan banjir di daerah sekelilingnya.

Pada musim kemarau yang biasanya disertai kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), lahan gambut menjadi tersangka utama dalam accident kabut asap.

Jelas saja, mengutip pantaugambut.id, proses kanalisasi yang mengeringkan lahan akan membuat gambut secara konstan mengeluarkan emisi disebabkan material-material organik yang ada mulai terurai dan terdekomposisi. Pengeringan menyebabkan fungsi penyerapan air pada gambut hilang karena gambut sudah tidak berfungsi sebagai tanah dan sifatnya sama seperti kayu kering.

Sehingga material organik yang sudah kering itu dapat menjadi bahan bakar ketika ada api di permukaan, dan api dapat menjalar di dalam tanah.

Ini dikuatkan dengan pernyataan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Ia menyatakan bahwa lahan gambut tidak pernah dengan sendirinya terbakar. Tetapi, lahan gambut dapat terbakar karena memang sengaja dibakar.

Bambang, mengutip republika.co.id, membagi dua jenis kebakaran di lahan gambut; yakni di permukaan gambut, dan di bagian dalam gambut.

“Jika api telah berada di lapisan dalam gambut, maka proses pemadaman sulit untuk dilakukan,” katanya.

Kepala Kelompok Kerja (Kapokja) Perencanaan Deputi I Badan Restorasi Gambut (BRG) Noviar, mengutip antaranews.com, mengatakan mustahil lahan gambut terbakar sendiri tanpa ada pihak yang memicunya.

Material organik di gambut telah membuat gambut menjadi “bahan bakar”. Tindakan kesengajaan dengan penggunaan api, membuat gambut terbakar.

Sehingga pernyataan “Gambut Terbakar”, tentu saja artinya adalah suatu tindakan yang membuat lahan gambut terbakar.

Seberapa cepat gambut terbakar? Tergantung “pemicunya”. Puntung rokok (: rokok yang sudah mati) tidak dapat membakar gambut.

Logikanya, seperti menyalahkan masyarakat luas yang punya hobi merokok. Lalu memancing ikan di sebuah spot, sambil merokok dan membuang sisa rokok (entah itu menyala atau sudah puntung) secara serampangan. Nah, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah ini yang kerap dipersalahkan ketika terjadi karhutla.

Sementara, “tutorial” membakar gambut yang baik, tidaklah demikian. Butuh banyak “alat” untuk membuat gambut benar-benar terbakar agar siap untuk ditanami. Satu yang paling sering digunakan adalah: bensin.

Jika bicara begini, tentunya bukan lagi kewenangan mereka yang datang untuk memancing ikan tadi. Tetapi, terdapat sebuah “kekuatan ekonomi” yang menggerakkan tenaga-tenaga terampil yang telah memilih target lahan gambut untuk dibakar.

Semakin sulit untuk mencari penyebab kebakaran di areal gambut. Sebab karhutla di areal gambut adalah proses lanjutan saja. Penyebab awalnya adalah kanalisasi yang mengeringkan kawasan gambut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi menyebutkan sekitar 70 persen atau 400 ribu luas gambut telah dibebankan izin.

Sementara AILInst mencatat total luas karhutla di Provinsi Jambi pada 2019 adalah 157.137 hektare, dimana lahan gambut yang terbakar adalah seluas 101.418 hektare.

Dengan melihat data-data ini, bagaimana mungkin kita masih menyalahkan perokok dan tukang pancing sebagai penyebab kebakaran di areal gambut.*

avatar

Redaksi