Kanalisasi : Akibatkan Gambut Jadi Kering Dan Mudah Terbakar
Lingkungan & Krisis Iklim
August 20, 2023
Jon Afrizal
Kanalisasi areal gambut di Kabupaten Muarojambi. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
SEPERTI kerabat dekat yang selalu berkunjung, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menyambangi Provinsi Jambi pada musim kemarau 2023 ini. Kunjungan kerabat dekat ini telah menyebabkan, menurut data Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi per tanggal 12 Agustus 2023, total luasan yang terbakar akibat karhutla adalah seluas 229,54 hektare lahan. Yang terjadi dalam 12 peristiwa karhutla.
Pemerintah, dalam kondisi ini, telah memberikan himbauan kepada masyarakat luas untuk tidak membakar lahan. Tapi, tetap saja, karhutla selalu terjadi, terutama di lahan gambut.
Menurut kajian Walhi Jambi, Provinsi Jambi memiliki 14 kesatuan hidrologi gambut (KHG) dengan luas 904.424 hektare. Mengacu pada data Global Wetlands, luasan lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektare, dan sebagai luasan lahan gambut kedua terbesar di dunia, setelah Brazil.
Sehingga, pencegahan agar areal gambut tidak terbakar tidak hanya cukup sebatas himbauan kepada masyarakat agar tidak membuka kebun dengan cara membakar saja.
Bagian yang kerap terlupakan dalam penanganan karhutla, adalah hukum sebab-akibat. Disebabkan pengubahan areal gambut menjadi perkebunan satu jenis, maka mengakibatkan keringnya sponge lahan gambut.
Akibat lanjutan dari keringnya areal gambut, gambut jadi mudah terbakar.
Meskipun, terdapat teori yang menyatakan, seperti percobaan dengan kaca pembesar bahwa dalam situasi tertentu gambut dapat terbakar dengan sendirinya, tetapi, realitanya, kemungkinan itu sangat kecil sekali akan terjadi.
“Memprioritaskan penataan kesatuan hidrologi gambut dengan melakukan evaluasi tata kelola perizinan adalah langkah dalam pencegahan karhutla di Provinsi Jambi,” kata Dwi Nanto, manajer kajian dan pembelaan hukum Walhi Jambi.
Menurutnya, karhutla terjadi berulang kali di Provinsi Jambi tidak terlepas dari buruknya pengelolaan wilayah gambut, khususnya wilayah gambut berizin. Wilayah berizin saat ini dikelola oleh perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industry (HTI).
Sesuai PP nomor 57 tahun 2016 tentang perlindungan dan pengelolaan gambut, katanya, areal gambut harus memiliki tinggi muka air minimal 40 centimeter. Tetapi, dengan tingkat keasaman yang tinggi, kemudian dibuat kanalisasi agar air asam dapat dibuang keluar areal perkebunan yang berada di kawasan gambut.
Akibat dari tindakan kanalisasi ini, maka lahan gambut pun mengering. Dengan keringnya areal gambut, adalah resiko tinggi untuk terjadinya kebakaran.
“Tata kelola buruk yang dilakukan oleh perusahaan, yakni dengan melakukan proses pengeringan air gambut di wilayah konsesinya dengan pola kanalisasi, telah mengakibatkan karhutla terjadi dengan sangat mudahnya,” katanya.
Sehingga, katanya, selain menghimbau kepada masyarakat luas untuk tidak membuka kebun baru dengan membakar, pemerintah pun harus pula memperbaiki tata kelola kanalisasi yang dilakukan perusahaan di areal gambut.
Sebab, jika gambut terbakar, lagi dan lagi, Provinsi Jambi akan menjadi sorotan sebagai pengekspor penyakit polusi kabut asap hingga ke negara tetangga.*