Keadilan Iklim Dan Hak Atas Sumber Agraria
Resonansi
September 1, 2023
Jon Afrizal
PERUBAHAN iklim, yang seperti semua orang tahu, adalah karena ulah manusia mengubah bentang alam. Tempat berair atau rawa lalu disulap peruntukannya menjadi perkebunan satu jenis. Ini hanya satu contoh saja.
Tetapi, praktek ini menyisakan hal-hal yang selama ini enggan untuk dibahas secara maksimal oleh banyak pihak. Yakni: konflik agraria.
Secara teori, siapa pun yang menabur pasti akan menuai. Kebalikannya, dampak dari perubahan iklim ini, dalam skala lokal, justru masyarakat lah yang harus menuai konfliknya.
Kita dapat saja bicara data di atas kertas, dimana ketika investasi menabur bibit tanaman perkebunan satu jenis, maka keuntungan yang didapat negara dari sektor itu akan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Faktanya, justru menghasilkan sebuah profesi yang dihilangkan secara sistematis : petani. Sebab, petani tanpa lahan garapan hanya akan menjadi buruh tani.
Hingga, suatu saat nanti, bahkan kita semua tidak lagi mengenal petani sebagai profesi. Melainkan hanya menjadi buruh saja.
Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP) tahun 2007 adalah standar penting untuk perlakuan terhadap masyarakat adat yang niscaya akan menjadi alat yang signifikan untuk menghapuskan pelanggaran hak azasi manusia dan membantu memerangi diskriminasi dan marginalisasi.
Masyarakat adat, dapat disebut sebagai suatu masyarakat yang diikat oleh adat istiadat. Seperti hukum terkait hak dan waris, misalnya. Juga pranata sosialnya.
Perkembangan ekonomi telah mengenyampingkan hak-hak masyarakat lokal. Dalam konteks ini, adalah juga hak atas tanah dan air yang digunakan sebagai alat ekonomi.
Petani membutuhkan tanah dan air, secara simultan dan berkelanjutan. Sehingga, mengubah bentang alam dari yang dulunya adalah kebun dan pertanian masyarakat, adalah juga mendiskriminasi masyarakat lokal untuk berusaha dan berekonomi.
Masyarakat lokal, yang memiliki adat istiadat sendiri, sudah seharusnya diikutsertakan dalam perundingan pengubahan peruntukan wilayah. Duduk berunding bersama, dan mengkaji kemaslahatannya.
Sebab, tatanan masyarakat di suatu wilayah, juga telah terlebih dahulu mengkaji tentang tata ruang di wilayah mereka. Semisal untuk kawasan pertanian dan perkebunan, juga simpanan air, dan seterusnya.
Ini tentu berbeda dengan masyarakat pendatang di suatu wilayah, dimana mereka harus mengikuti adat istiadat setempat, yang lebih homogen.
Pola-pola duduk berunding dalam kerangka adat istiadat kerap dilupakan ketika investasi masuk kampung. Sehingga, perubahan peruntukan lahan pun terjadi dengan tidak mempertimbangkan tata ruang wilayah yang telah ditentukan oleh masyarakat dan adat setempat.
Bahkan, dalam prakteknya, justru masyarakat yang terpinggirkan. Mereka tidak lagi menguasai air dan tanah.
Padahal, setiap orang berhak untuk berusaha secara maksimal, agar mendapatkan kesejahteraan. Tapi, bagaimana itu akan terwujud, jika justru peluang usaha tidak ada?
Masyarakat agraris terbiasa bercocok tanam. Dengan ketiadaan lahan, mereka hanya menjadi buruh dan pekerja serabutan.
Mengutip laman un.org, isu-isu perubahan iklim seperti gas rumah kaca dan lapisan es yang mencair, dapat dialihkan menjadi keadilan iklim (climate justice). Yang mengedepankan hak-hak masyarakat dan komunitas yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dengan tetap mendasarkan persoalan kepada pengubahan bentang alam sebagai penyebab perubahan iklim, maka, masyarakat lokal yang berada di areal yang diubah peruntukannya menjadi perkebunan satu jenis adalah yang paling rentan terdampak perubahan iklim.
Tetapi, sejauh mana isu ini dibicarakan? Ketimbang, ups, isu terkini mengenai jual beli karbon, misalnya?
PBB pun meyakini bahwa harus ada gerakan sipil untuk menyuarakan keadilan iklim. Maka, yang terjadi di sini, pun tentu saja tidak patut disikapi dengan kegagapan dan keterkejutan.
Bahwa klaim atas tanah dan air sebagai sumber penghidupan masyarakat lokal harus diakomodir dalam wacana dan praktek.
Sehingga, jika kemudian masyarakat me-reclaim kembali apa yang sebelumnya adalah masuk dalam tatanan adat mereka, harus dilihat sebagai sebuah gerakan sipil untuk menciptakan keadilan iklim. Dan bukan sebagai gerakan kriminal yang mengambil hak orang lain.
Kekacauan struktural, dengan tidak menjadikan masyarakat lokal sebagai tonggak keputusan, telah mengakibatkan terbengkalainya hak mereka.
Konflik agraria juga berarti konflik pangan. Ketiadaan sumber penghidupan, yakni lahan, dapat memicu timbulnya krisis pangan.
Kantong-kantong kemiskinan baru, yang muncul, justru di areal yang merupakan sumber pemasukan negara.*