Sidang Bahusni Ditunda, Saksi Tidak Hadir
Hak Asasi Manusia
August 31, 2023
Astro Dirjo/Sengeti
Bahusni ketika berada di luar ruang persidangan PN Sengeti, bersama warga Desa Sumber Jaya yang melakukan aksi damai, Rabu (30/8). (photo credits : Astro Dirjo/amira.co.id)
SECEPAT itu sidang dibuka, secepat itu pula sidang ditutup oleh Hakim Ketua, di PN Sengeti, Rabu (30/8). Sidang dengan kasus pelanggaran terhadap Undang-undang Perkebunan dengan terdakwa Bahusni ini ditunda hingga pekan depan.
Pada sidang hari ini, Rabu (30/8), direncanakan akan menghadirkan empat orang saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), tidak dilaksanakan. Sebab tak satu pun saksi hadir dalam persidangan ini.
Bahusni didampingi oleh tiga orang pengacara. Yang merupakan oraganisasi bantuan hukum yang ditunjuk oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Yoseph Nurhidayat, pengacara Bahusni mengatakan sejauh ini pihak penuntut menghadirkan alat bukti di persidangan. Seperti, photo-photo dan dokumen, dan juga keterangan dari para saksi, dengan total 32 saksi.
Fakta-fakta persidangan terdahulu, para saksi yang dihadirkan mengakui tidak pernah melihat Bahusni berada di lokasi areal konflik tenurial ini.
Ini adalah kedua kalinya sidang ditunda. Sebelumnya, sidang juga sempat ditunda.
Sementara itu, di luar ruang sidang masyarakat Desa Sumber Jaya melakukan aksi damai. Dengan jumlah sekitar 100 orang, inti dari tuntutan mereka adalah agar pihak penegak hukum dapat dengan jelas melihat perkara konflk agraria struktural yang terjadi di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi ini.
Seharusnya, penyelesaian konflik agraria dilakukan dengan musyawarah. Tapi yang kini terjadi, justru adalah kriminalisasi terhadap masyarakat, yang telah menggarap areal itu sebelum kedua perusahaan — yang disebutkan di persidangan — beraktifitas di sana.
Pada kasus konflik agraria ini, yang terjadi bukanlah sengketa orang per orang, melainkan klaim atas hak masyarakat desa yang telah hadir di sana, jauh sebelum PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL), yang dinyatakan mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 2004.
Jauh sebelum masa itu, pada 1998, di areal konflik tenurial yang sama, warga juga telah melakukan protes terhadap hadirnya PT Purnama Tusau Putera (PTP).
Eko Cahyono dalam kpk.go.id, menyatakan konflik agraria struktural dapat dipahami sebagai pertentangan klaim atas satu wilayah sumber agraria tertentu yang berakibat pada hilangnya satu hak atau klaim atas lainnya. Ini berakar dari beragam ketimpangan struktur penguasaan, kepemilikan, akses, pemanfaatan, dan distribusi sumber-sumber agraria.
Ini semua membuat tercerabutnya masyarakat dari tanah, air dan sumber agrarianya sendiri secara paksa.
Masih menurut Eko, konflik agraria terjadi karena pemberian izin dan konsesi oleh negara kepada pemilik modal dalam negeri dan asing di beragam sektor sumber-sumber agraria untuk tujuan-tujuan ekstraksi, eksploitasi, dan industrialisasi sumber daya alam yang menghilangkan klaim dan hak masyarakat lokal, tempatan dan adat.
Sehingga, untuk menyelesaikan konflik agraria, katanya, presiden wajib menegakkan mandat Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA Tahun 1960), terutama dalam “batas maksimum dan minimum” penguasaan tanah dan agraria sebagai bagian melekat dari reforma agraria.*