Polisi Usut Keterlibatan Anggota Suku Kubu Dalam Sindakat TPPO
Hak Asasi Manusia
December 11, 2025
Jon Afrizal/Kota Jambi

Kelompok Suku Kubu sedang berburu. (credits: AFP)
POLISI mengamankan pasangan suami istri dari satu kelompok Suku Kubu atau Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba, berinisial L dan R, di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Keduanya diduga terlibat dalam jaringan perdagangan dan penculikan anak.
“Keduanya berperan sebagai perantara dalam rantai penjualan anak,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jambi, Kombes Jimmy Christian Samma, mengutip Tribun Jambi, Senin (8/12).
Menurut Direskrimum, keduanya menerima anak dari penjual anak, dan kemudian menjual anak-anak itu ke warga kelompok Suku Kubu.
“L dan R juga diduga terlibat dalam kasus hilangnya seorang anak di Makassar, Sulawesi Selatan, bernama Bilqis,” katanya, mengutip Detik.
Pada saat penangkapan keduanya, polisi juga menemukan tiga balita, bersama mereka. Menurut Jimmy, tiga balita korban perdagangan anak itu telah dibawa ke Jakarta.
Pengungkapan kasus dugaan perdagangan anak ini, katanya, berawal dari laporan di Polres Metro Jakarta Barat serta Polda Metro Jaya. Dan penangkapan ini adalah kerjasama antara tim gabungan Polda Jambi, Polres Merangin, Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Barat.
“Aksi perdagangan orang ini diduga sudah lebih dari satu kali, dengan penjual dan pembeli yang sama,” katanya.
Ini diketahui, setelah korban Bilqis ditemukan dalam kondisi selamat di permukiman warga SAD di Satuan Pemukiman (SP) E Desa Gading Jaya, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi, pada Sabtu (8/11) lalu.
Sementara itu, Mijak Tampung, pengacara L dan R, menyatakan keduanya memintanya untuk menjadi kuasa hukumnya. Menurutnya, melalui ketua kelompok mereka, Temenggung Jon, mereka telah memintanya untuk menjadi kuasa hukum keduanya.

Anak Suku Kubu sedang belajar. (credits: KKI Warsi)
“Keduanya juga sudah dibawa ke Jakarta,” kata Mijak yang juga warga SAD, kepada Tribun Jambi.
Menurut Mijak, ia sedang melengkapi kronologi kejadian. Kini, ia sedang menghubungi pihak keluarga.
Sehingga, ketimbang melakukan perdebatan dan dengan bumbu-bumbu gossip, maka adalah lebih baik bagi publik untuk menunggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Sebab, sebagaimana diketahui, akses untuk ke kelompok Suku Kubu amat sulit. Dan, mereka memilki kecenderungan untuk tidak begitu percaya dengan pihak luar, terlebih orang yang baru mereka kenal.
“Dalam situasi yang tidak mereka mengerti, Orang Rimba dapat dengan mudah percaya pada bujuk rayu dari orang luar. Mereka tidak sepenuhnya memahami konsekwensi hukum dari tindakan yang mereka lakukan,” kata Robert Aritonang, antropolog dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, mengutip Kompas.
Menurutnya, yang dialami Orang Rimba adalah bentuk dari “crash landing sosial”. Yakni kondisi sosial dimana sebuah komunitas tradisional tiba-tiba harus berhadapan dengan perubahan dunia luar yang tidak mereka pahami, dan jauh berbeda dengan nilai sosial mereka.
“Ada pihak lain yang memanfaatkan kerentanan mereka,” katanya.
Melalui narasi palsu berupa janji ekonomi, atau bujuk rayu emosional, maka dapat saja Orang Rimba dijadikan alat dalam jejaring kejahatan yang mereka sendiri tidak pahami.
Asal usul Suku Kubu, secara historis, dapat dilihat sejak masa ketika Datuk Ketamanggungan merajuk kepada Perpatih Nan Sebatang, di sekitar abad ke-4 Masehi. Demikian mengutip “Tambo Alam Minangkabau” yang ditulis oleh Datoek Toeah.
Lalu, ia beserta rombongannya keluar dari Pagarruyung menuju ke arah selatan, yang berbatasan dengan Melayu Jambi.
Ketika mereka beristirahat di bawah pohon durian (Durio zibethinus), dan Datuk Ketemenggungan meminta kepada pengiringnya untuk pulang. Tempat itu, kemudian disebut dengan “Durian Batakuk Rajo” yang berada di Desa Tanjung Simalidu Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.
Namun, ada beberapa anggota rombongan yang tidak hendak pulang. Beberapa diantara mereka adalah bersuku Piliang dan Caniago.
Selanjutnya, mereka hidup berpindah-pindah (nomaden) di dalam hutan di wilayah Melayu Jambi. Dikabarkan kemudian, merekalah cikal bakal Suku Kubu, yang hidup mengembara dalam hutan-hutan di wilayah Jambi.
Seperti seloko Jambi, “Adat Minangkabau Tahta Jambi”, maka, ini adalah penjelasan detail secara adat Melayu Jambi, untuk memahami mengapa hingga kini kelompok-kelompok Suku Kubu membentengi diri mereka untuk tetap hidup di hutan, dan tidak bercampurbaur dengan Orang Melayu Jambi pada umumnya.
Dan, sejatinya, kata “kubu” adalah berarti benteng yang sebenarnya, bagi mereka. Sehingga, terlepas dari berbagai terminologi dan pemahaman pada saat ini, maka prasa Suku Kubu kembali digunakan pada tulisan ini.
Sebagai penghormatan atas asal usul mereka, dan dengan tujuan untuk tidak menghilangkan silsilah komunal berburu dan meramu ini hingga ke beberapa generasi sebelumnya. Dan, sejujurnya, bukan untuk merendahkan mereka.
Penjelasan selanjutnya dari kata “kubu” sebagai benteng adalah ditetapkannya Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sebagai tempat penghidupan bagi Suku Kubu di era Presiden RI ke-4, Abdurahman Wahid (Gusdur). Yakni melalui Surat Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 285/Kpts-II/2000 tertanggal 23 Agustus 2000.
Meskipun, senyatanya, telah banyak project skala lokal, nasional dan internasional untuk mengangkat kehidupan mereka, sejak tahun ’90-an lalu dan hingga hari ini. Tapi, mengubah nature secara sosial bagi Komunitas Adat Terpencil (KAT), bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Pun, adalah tidak elok rasanya, untuk menyalahkan seluruh Suku Kubu atas persoalan perdagangan anak ini. Sebab, yang berbuat bukanlah seluruh anggota suku, melainkan hanya segelintir orang saja.*
