Hidup Kolektif Di “Huma Betang”

Lifestyle

June 17, 2025

Farokh Idris

Sepasang muda-mudi Dayak, Kalimantan Tengah. (credits: Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)

KETIKA satu komunal tinggal bersama di bawah satu atap. Itulah Huma Betang (Rumah Betang), tempat tinggal suku Dayak yang ada di seluruh Pulau Kalimantan.

Umumnya, Rumah Betang berada di perkampungan suku Dayak yang berada di sekitar hulu sungai.

Yang, tentunya, menjelaskan fungsi dari sungai dalam kebudayaan Nusantara. Sungai sebagai sumber air, sebagai sarana transportasi dan perdagangan, dan persebaran penduduk.

Penyebutan, mungkin saja berbeda. Rumah Betang di Provinsi Kalimantan Barat disebut dengan: rumah panjang, rumah radakng, atau rumah panjai. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Tengah kadang disebut lewu.

Sementara di Provinsi Kalimantan Timur juga disebut dengan lou atau lamin. Dan, di Provinsi Kalimantan Utara, disebut dengan lamin atau baloi. Lalu, di Provinsi Kalimantan Selatan disebut: Balai.

Huma Betang. (credits: kemenkeu)

Rumah Betang dibangun dengan menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yakni kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Kayu ini juga disebut dengan kayu besi atau bulian di Sumatera. Jenis kayu yang dapat bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Terdapat ciri-ciri yang hampir sama. Rumah Betang adalah rumah panggung dengan tiang yang tingginya sekitar 3 meter hingga 5 meter. Dan berbentuk memanjang dengan panjang antara 30 meter atau bahkan mencapai 150 meter, dan dengan lebar yang berkisar antara 10 meter hingga 30 meter.

Rumah Betang, mengutip kemdikbud, adalah peninggalan sejarah lampau masyarakat Dayak, dan masih dilestarikan dan dipertahankan hingga hari ini. Sebagai peninggalan sejarah masa lalu yang menceritakan tentang kehidupan suku Dayak yang keras dan panjang di masa lampau, dan kehidupan yang berdampingan dengan alam.

Sehingga, Rumah Betang yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu pun mengambarkan bahwa suku Dayak telah memiliki ilmu pengetahuan tentang alam dan kehidupannya.

Sebab, Rumah Betang tidak akan berdiri kokoh hingga saat ini, jika suku Dayak tidak mampu menyimpulkan apa yang diajarkan alam kepada mereka. Terutama tentang bagaimana menyelamatkan dri dari bahaya yang mengancam di alam, seperti binatang buas dan lain-lain.

Dari pemahaman tentang alam ini, sealnjutnya diolah menjadi pengetahuan yang rasional, tentang: hidup berdampingan dengan alam, secara bersama dan kolektif.

Rumah Betang adalah juga “rumah suku”, dengan pembagian ruangan per keluarga.

Sebab, Rumah Betang ditinggali oleh satu keluarga besar (: clan) yang menjadi penghuninya, dan dipimpin seorang pemimpin yang biasa disebut dengan Pambakas Lewu. Umumnya, satu unit Rumah Betang dihuni oleh  lima hinga tujuh Kepala Kelarga (KK), dengan jumlah 100 jiwa hingga 150 jiwa.

Secara umum, bagian hulu Rumah Betang searah dengan matahari terbit, dan bagian hilir ke arah matahari terbenam. Ini adalah simbolisasi dari kerja keras, pengembaraan, dan bertahan hidup di alam, sejak dari terbit matahari hingga terbenamnya matahari.

Istana Wakil Presiden Indonesia di Jalan Sumbu Kebangsaan Barat, di ibu kota Nusantara.  (IKN), di Provinsi Kalimantan Timur, disebut dengan Rumah Betang Umai. Artinya, kira-kira, “Rumah Betang Ibu”.

Kata ‘Ibu” di sini, dapat diartikan sebagai “Ibu Kota” dan “Ibu Pertiwi”. Sehingga, secara filosofi, Rumah Betang Umai dimaknai sebagaigambaran dari sosok Ibu, sebagai; pengayom, pelindung, pemberi, dan pemelihara.

“Betang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat upacara adat, musyawarah, dan pendidikan keterampilan,” kata Pemerhati Budaya Dayak Kalimantan Tengah, Sidik Rahman, mengutip RRI.

Menurutnya, struktur dan desain Betang mencerminkan tatanan nilai budaya masyarakat Dayak, termasuk hubungan mereka dengan alam dan Sang Pencipta.

“Pentingnya upacara adat dalam menyelesaikan konflik internal dan menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta,” katanya.

Ia mengatakan, bahwa upacara adat seperti menyanggar atau mama pas Lewu berperan dalam mengembalikan keseimbangan itu, dan menjaga keharmonisan komunitas.

Sehingga, pola hidup individualis di dunia yang serba modern saat ini, tentu saja, tidak ada artinya di sini.*

avatar

Redaksi