Panggil Mereka “Pongo” Saja

Resonansi

June 2, 2025

Jon Afrizal

Pongo pygmaeus, Semenggok Forest Reserve, Sarawak, Borneo, Malaysia. (credits: Wiki Commons)

BAHASA menunjukan bangsa.” Prasa ini berulangkali diingatkan sewaktu kita berada di sekolah. Sehingga perwujudan dari prasa itu haruslah merujuk kepada hal yang terbebas dari pola pikir rasialisme.

Penamaan satwa hutan pun juga harus merujuk kepada prasa ini. Seperti untuk kera besar pongo abelii. Dunia internasional menyebutnya: orangutan.

Kita akan kembali ke bahasa bangsa-bangsa Melayu, tempat dimana satwa primata ini ditemukan kali pertama, yakni pada awal abad ke-19 lalu.

Pada awalnya, satwa ini disebut mawas, sebuah sebutan yang aneh, yang bahkan tidak pernah ku dengarkan tuturannya dari orang-orang di tengah dan huluan Jambi, jika, katanya, primata ini memang sempat berada dan kemudian tiba-tiba menghilang dari Jambi.

Kata “mawas”, mungkin erat kaitanya dengan kata “maias” di negeri Sarawak, Malaysia. Mereka di sana memang menyebutnya demikian.

Tetapi, penyebutan “orangutan”, menurut kisah yang berkembang diantara sesama pemerhati pongo, berasal dari penutur bahasa Banjar (Banjar berasal dari kata: Banjarmasin), yang, katanya, pertama kali memperkenalkan satwa pemakan kulit kayu dan ranting kayu serta buah-buahan berukuran kecil ini kepada orang Portugis.

Dan, entah kenapa pula bunyi huruf “h” dari “hutan” bisa hilang, dan hanya dilafazkan menjadi “utan” saja, tentu masih menjadi misteri. Seharusnya, jika menggunakan lafaz bahasa Banjar secara umum, maka akan dilafazkan menjadi “oranghutang”. Ini tentunya sangat misterius sekali.

Tersebutlah seorang penulis hikayat autobiografi dan travelog bernama Abdullah Munsyi, atau dikenal dengan Munsyi Abdullah, asal Pulau Pinang (Penang) Malaysia, yang karya-karyanya diterbitkan antara tahun 1790 hingga 1888. Pada satu hikayatnya, Munsyi menulis “…dua ekor mawas yang dinamai oleh orang putih ‘orang hutang’…”.

Tentunya, ehm, penyebutan ini adalah dengan menggunakan dialek atau logat Banjar seperti yang ku sebutkan di paragraf sebelumnya.

Ilustrasi novel “The Murders in the Rue Morgue” karya Edgar Alan Poe. (credits: Daniel Urrabieta y Vierge)

Bagi masyarakat Banjar, kata “mawas” sama artinya dengan kata malas dalam Bahasa Indonesia. Ini memberikan perspektif tersendiri bagi orangutan.

Gerakannya yang memiliki kecenderungan lambat, dan tidak gesit seperti kera pada umumnya, seperti beruk yang biasa digunakan untuk memanjat pohon kelapa, ataupun kukang yang sangat lincah. Meskipun beruk pemanjat kelapa terkadang berukuran besar, dan tetap bukan bagian dari keluarga kera besar.

Pengunaan istilah “orang utan” dipopulerkan oleh Alfred Russel Wallace pada buku “The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise” yang terbit pada tahun 1869.

Pertama di Borneo, dan kedua di Sumatera.

Satwa hutan yang tergolong dalam genus pongo ini, rupanya tidak hanya satu spesies saja. Berkat berkembangnya ilmu peng-orangutan-an, sejak 1996 primata yang berjalan dengan kedua kaki dan kedua tangannya ini dibagi menjadi dua spesies; yakni orangutan Borneo (pongo pygmaeus) dengan tiga subspesies, dan orangutan Sumatera (pongo abelii).

Lalu, pada November 2017 dilaporkan spesies ketiga orangutan telah diketahui secara pasti, yakni orangutan Tapanuli (pongo tapanuliensis).

Mari kita lanjutkan dengan George Gaylord Simpson yang menyarankan pengelompokan garis para primata ke superfamilia hominoidea.

Pengelompokan itu mencakup: hylobatidae (kera kecil), pongidae (kera besar), hominidae (manusia).

Tetapi selanjutnya, para taksonom memiliki kecenderung untuk tidak lagi membedakan antara kera kecil dan kera besar. Kera kecil meliputi siamang atau gibbon dan kerabatnya, dan kera besar adalah seperti gorila, simpanse, dan orangutan.

Sementara simpanse memiliki dua spesies dan beberapa subspesies yang masih kontroversi, sedangkan orangutan dan gorila hanya punya satu spesies. Namun, orangutan memiliki dua spesies, yakni pongo pygmaeus pygmaeus, dan pongo pygmaeus abelli.

Sedangkan kita, manusia modern hanya memiliki satu spesies, yakni homo sapiens. Jadi, meskipun sama-sama sub ordo Antropoid, tetapi garis keturunan hominoid telah berevolusi, dan dengan kata lain menyatakan bahwa pongo bukanlah homo sapiens!

Dari sub spesies pongiae, orangutan merupakan satu-satunya yang tersisa. Ia adalah the last gigpantopithecus, dari tiga spesies yang telah punah.

Leluhur sub spesies ponginae akhirnya berpisah dari silsilah kera besar utama di Afrika pada 16 juta hingga 19 juta tahun lalu. Ternyata, ilmu yang diturunkan leluhurnya, yakni penyendiri dan gemar berjalan-jalan sendiri telah membawa orangutan ke Asia, untuk memanjat batang pohon, dan hidup tinggal di sana.

Untuk selanjutnya, kita sebut saja dia dengan sebutan pongo, dan bukan lagi orangutan.

Pada perkembangannya, para pongo ini tidak mengikuti pranata yang berlaku di dunia homo sapiens. Banyak dari kulit kayu, ranting, daun dan buah milik warga di sekitar stasiun reintroduksi pongo di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi yang jadi santapannya.

Harap maklum, volume otak pongo tidaklah sebesar volume otak homo sapiens.

Tapi warga yang marah, menyatakan pongo adalah hama. Sama-sama memiliki sifat destruktif dengan hama wereng pada padi sawah. Tak peduli pongo masuk ke dalam kategori critically endangered IUCN (International Union for Conservation of Nature). Begitulah menurut warga.

Puncak kemarahan, seekor pongo ditembak pada suatu siang di tahun 2004 secara keroyokan oleh warga. Puluhan butir peluru senapan angin bersarang di tubuhnya. Si pongo tak berdaya, tapi tidak mati. Tetap tegar setelah menjalani operasi.

Karena, toh, sebagai perantau dari Afrika ia sudah terbiasa menaklukan lautan. Ups, atau mungkin dulu Afrika dan Asia menyatu? Sehingga bisa merantau dari pohon ke pohon hingga sampai di Tebo.

Tunggu dulu. Sudah ku katakan tidak ada folklore tentang mawas di Jambi. Yang ada di sini adalah beruk, ungko, dan siamang atau yang masuk ke type kera kecil. Sehingga cukup unik juga jika nanti, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu ke-pongo-an, akan tercipta orangutan Tebo (pongo teboensis).

Weirdo!

Sebab, adanya stasiun reintroduksi pongo di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), adalah inisiatif dari beberapa lembaga internasional, yang peduli karena pongo telah banyak yang dipelihara oleh manusia, dan telah hilang sifat ke-pongo-annya. Stasiun ini lalu, with their pleasure, menerima sekian banyak pongo dari dalam dan luar negeri untuk diajari bagaimana kembali menjadi pongo yang sebenarnya.

Kembali ke hutan, itu tujuannya. Tetapi praktek selalu tak benar-benar sama dengan teori para mentor pongo. Pohon-pohon warga yang terdekat yang malah diincar, dan bukan mencari makanan ke area hutan. Dan hingga kini masih bermasalah dengan warga sekitar. Whatta pongo!

Sekarang, mari kita lihat perbedaan pongo dan homo sapiens melalui volume dari cranium (tengkorak kepala), yang biasa digunakan sebagai indikasi kasar dari ukuran otak. Dan juga dipakai sebagai indikasi kasar dari potensi inteligensi organisme.

Volume kranium pongo adalah 275 hingga 500 centimer kubik. Sementara homo sapiens adalah 1.000 hingga 1.900 centimetere kubik.

Lalu, pada tahun 1973, Harry Jerison mengembangkan Encephalization Quotient (EQ) untuk mengetahui bahwa kapasitas kranium berhubungan dengan tingkat intelengensia organisme. Artinya, homo sapiens jelas lebih cerdas ketimbang pongo.

Homo sapiens menggunakan nalar, sementara pongo menggunakan insting. Secerdas apapun pongo terlihat, meskipun pongo menggunakan pakaian homo sapiens, tapi pongo tetaplah pongo, dan tidak akan sama dengan homo sapiens.

Adalah wajar jika pongo tidak bisa membaca peta area dan tidak juga bisa membedakan mana yang termasuk sebagai kebun warga dan mana area hutan.

Sehingga, berhentilah memanggil kera besar ini dengan sebutan orangutan.

Panggil dia Pongo saja. *

*dinukil dari buku “Concrete Jungle: Melihat Konservasi Yang Sesungguhnya

avatar

Redaksi