Mencari “Kampung” Gajah Sumatera

Lingkungan & Krisis Iklim

March 19, 2023

Jon Afrizal, Jambi

(Video melengkapi artikel ini.)

“DUSUN kami adalah daerah lintasan gajah.” Itu prasa umum yang biasa ku dengar dalam setiap liputan-liputan terkait konflik manusia-gajah-tanaman.

Sejauh ini, tidak ada penjelasan yang, seperti, “Gajah sejak dulu memang berada di sini,” misalnya. Sebab, jika ada “lintasan” maka sudah pasti ada suatu tempat dimana pelintas berasal.

Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang pernah menjadi pembahasan di Earth Summit di Rio De Janeiro pada tahun 1992 pun awalnya juga ditujukan untuk area kehidupan kawanan elephus maximus ini. Sebab kontur taman nasional ini berada di 60 hingga 843 mdp, menurut data Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK.

Hewan tambun ini terbiasa hidup di daerah yang landai atau hamparan dan dengan pepohonan yang tidak terlalu rapat, atau hutan sekunder atau semak belukar.

Perjalanan kali ini membawaku ke tenggara TNBT, yakni Desa Muara Danau Kecamatan Renah Mendaluh Kabupaten Tanjungjabung Barat Provinsi Jambi. Desa ini adalah kawasan peyanggga bagi taman nasional, berada sekitar 7 kilometer jika ditarik garis lurus dari TNBT.

Menurut “Renah Mendaluh Dalam Angka 2020” dari BPS, luas desa ini 136,19 kilometer persegi dan dihuni oleh 1.156 jiwa.

Desa ini berada di 65 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebuah “tempat bermain” baru bagi satu atau dua individu gajah yang mulai jenuh dengan “kerapatan pepohonan” di taman nasional itu. Begitukah?

Taman Nasional yang berada di Provinsi Jambi dan Riau ini memiliki luas 144.223 hektare. Menurut TFCA Sumatera, ancaman utama bagi taman nasional ini adalah illegal logging dan peladangan berpindah. Selain juga perburuan liar, tentunya. Dan, di sini berada satwa endemik gajah dan harimau sumatera (panthera tigris).

Menurut catatan KKI Warsi pada tahun 2010, sekitar 9.000 hektare kawasan ini telah rusak akibat illegal logging dan perambahan.

Sehingga, masih ada “kawasan yang tidak rapat pepohonannya” yang dapat membuat kawanan gajah dapat hidup. Kondisi yang terjadi saat ini, kawanan gajah menyebar meluas ke luar kawasan taman nasional, yang, ehm, seperti kampanye internasional bahwa taman nasional itu adalah “rumah gajah Sumatera”.

Sebab, biasanya, illegal logging dan perambahan tidak dilakukan di areal yang curam. Melainkan di tempat yang landai dan berbentuk seperti hamparan.

Sesuai adegium umum, maka “rumah” hanyalah untuk beberapa individu saja. Tetapi, jika bicara kampung atau dusun dalam kasanah Jambi, maka berisi banyak rumah dan kelompok individu.

Areal perkebunan milik warga di Desa Muaro Danau Kecamatan Renah Mendaluh Kabupaten Tanjungjabung Barat. Di areal ini ditemui tanaman yang di rusak oleh gajah serta kotoran gajah. Photo diambil Januari 2022. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Menurut data BKSDA Provinsi Jambi, terdata sebanyak 150-an ekor gajah di lansekap Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari delapan kelompok gajah.

M Yulis, warga Desa Muaro Danau mengatakan pada masa sebelum tahun ‘50-an, mereka mendengar bahwa gajah acap melintasi desa mereka. Tetapi, katanya, sewaktu itu kawanan gajah tidak pernah mengganggu tanaman penduduk.

“Namun sejak beberapa tahun terakhir ini, banyak tanaman milik warga yang dirusak gajah,” katanya, di awal pekan di bulan Januari 2022 lalu.

Ia menyebutkan bahwa gajah-gajah yang datang itu berasal dari daerah Suo-Suo, yang berada di Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo. Tetapi, banyak perkebunan milik swasta dan masyarakat, maka gajah-gajah itu pun terus diusir dan dihalau.

Ini mengakibatkan gajah-gajah itu menjadi marah. Tetapi, penduduk cenderung mengalah. Sebab, mereka meyakini bahwa gajah adalah sosok pendendam. Sehingga penduduk pun tidak diperbolehkan untuk berkata-kata kasar ataupun mengucapkan kata-kata makian kepada gajah.

“Tidak ada warga yang mengetahui cara yang tepat untuk menghalau gajah. Sehingga, tanaman kami pun banyak yang rusak,” katanya melanjutkan.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syukur, warga desa yang lainnya. Bahkan, katanya, gajah kerap mendatangani areal persawahan milik penduduk.

“Gajah akan datang pada malam hari. Seorang diri atau berkelompok sekitar tiga hingga empat ekor,” katanya.

Berdasarkan keterangan Syukur, sosialisasi tentang gajah kerap dilakukan. Yakni oleh dua non government organization (NGO) yang mengurusi gajah. Tetapi, penduduk hanya diajarkan cara menjadi bersabar saja, dan tidak diajarkan cara untuk menghalau gajah jika kawanan itu memasuki kebun milik mereka.

“Jika terjadi apa-apa, kami diminta untuk menghubungi call center BKSDA, dan menjelaskan apa yang terjadi,” katanya lagi.

Hamparan sawah di Desa Muaro Danau Kecamatan Renah Mendaluh Kabupaten Tanjungjabung Barat. Hamparan ini kerap didatangi kawanan gajah. Di kejauhan terlihat TNBT. Photo diambil Januari 2022. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Keterangan dari penduduk telah mengantarkan ke sebuah kantor yang tak jauh dari Desa Muaro Danau. Kantor itu bertuliskan “Pusat Informasi Perhutanan Sosial”. Di sanalah lembaga-lembaga yang mengurusi gajah berkantor.

Tapi, setelah hampir satu jam ber-spada, halo, dan menunggu, tidak dijumpai adanya orang di kantor yang juga menjadi tempat pembibitan itu.

Berbeda dengan pernyataan Sekretaris Desa Lubuk Bernai Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjungjabung Barat, Ramos. Gajah datang ke desa mereka per dua tahun sekali. Tapi hanya seorang diri saja, atau gajah tunggal.

Berdasarkan kepercayaan penduduk lokal, gajah yang berjalan seorang diri dikenal sebagai gajah yang ganas dan ditakuti.

“Akibatnya banyak warga yang menjual kebun mereka karena takut dengan amukan gajah,” katanya.

Terkait persoalan ini, Kepala BKSDA Provinsi Jambi, Rahmad Saleh mengatakan, “Pembangunan belumlah selaras dengan pelestarian konservasi sumber daya alam. Degradasi habitat adalah ancaman utama bagi habitat gajah.”

Terdata sebanyak 500-an konflik antara gajah-manusia-tanaman sejak tahun 2015 hingga saat ini.

Menurut Ditjen KSDAE, sebanyak 13 ekor gajah mati di Provinsi Jambi sejak 2012 hingga 2018, dan nihil kelahiran. Umumnya gajah mati karena diracun dan perburuan liar. Ini diindikasikan dari gading yang hilang pada gajah-gajah jantan yang mati itu.

Di perjalanan pulang ke Kota Jambi, aku tercekat. Maksimalkah upaya yang telah kita lakukan selama ini? Atau, hanya sebatas berkampanye, dan menjelaskan kondisi yang memprihantinkan saja?

Sementara di wilayah tapak, konflik terus terjadi. Dan, seharusnya, tidak ada yang boleh mati; karena baik itu gajah, manusia, atau tanaman punya hak untuk hidup.

We Should Do Better Than This.*

Artikel ini pertama kali diterbitkan di amirariau.com

avatar

Redaksi