Rukam: Konflik Tak Diselesaikan

Lingkungan & Krisis Iklim

March 19, 2023

Jon Afrizal, Jambi

(Video melengkapi artikel ini.)

PENDUDUK Desa Rukam Kecamatan Taman Rajo Kabupaten Muaro Jambi, tidak memiliki pilihan. Untuk keluar-masuk desa, mereka terpaksa harus bersulit-sulit menyeberangi (sungai) Batanghari, dan seterusnya “menumpang” melalui jalan di areal HTI PT WKS, kemudian melintasi ruas jalan Kota Jambi-Muaro Sabak.

“Kondisi ini telah lama terjadi,” kata Bik Ngah, warga Desa Rukam, beberapa waktu lalu.

Akses jalan darat yang menghubungkan Desa Rukam ke luar, rusak parah dan tidak dapat dilalui. Padahal jika ruas jalan yang panjangnya sekitar 25 kilometer ini diperbaiki, tentu sangat membantu warga.

“Ini adalah efek domino dari pembangunan,” kata Angga Septiadi dari Pantau Gambut Jambi.

Jalan menuju Desa Rukam yang terpaksa harus melewati jalan di areal HTI PT WKS, karena jalur darat rusak parah sejak 10 tahun lebih, dak tidak diperbaiki. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Desa Rukam adalah bagian dari konflik lahan. Terdapat perkebunan sawit PT EWF yang berkegiatan di sana sejak awal masa Reformasi lalu, yakni 1998.

Walhi Jambi pun mencatat konflik lahan di desa ini sebagai “Yang harus dituntaskan”. Sebab, praktek jual beli lahan antar warga telah pula menyebabkan konflik sosial antar sesama warga.

Selain itu, kontur tanah yang cukup rendah mengakibatkan desa ini masuk kategori rawan bencana banjir. Tetapi, ketidaksinkronan antara pembangunan yang dilakukan pihak perusahaan dengan kondisi desa seolah dibiarkan begitu saja oleh pemerintah daerah.

“PT WKS banyak membangun sekat kanal di areal gambut. Meskipun tanggul itu berada di areal perusahaan, tapi berakibat pada Desa Rukam,” kata Dicky Kurniawan, direktur Ailinst.

Sekat-sekat kanal di areal gambut yang dibangun PT WKS telah menyebabkan lahan masyarakat di sebelahnya ikut kering dan rentan terbakar pada musim kemarau.

PT EWF telah membuat tanggul dan juga kanal pembuangan air. Sehingga Desa Rukam menjadi rentan banjir dan lama tergenang, pada musim penghujan.

Efek domino dari pembangunan, antara lain adalah ketertinggalan. Desa Rukam hanya memiliki sekolah tingkat SD dan SMP saja. Serta tanpa fasilitas kesehatan. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Sebuah pembiaran, yang tidak seharusnya dilakukan mengingat kesejahteraan warga telah ternaktub di dalam sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Efek domino pembangunan, tidak sampai di situ saja. Sebutan “masyarakat agraris” yang kita kenal selama ini, tidak lagi terdengar. Kini, warga terpaksa harus menjadi buruh di perkebunan sawit karena mereka tidak lagi memiliki lahan untuk digarap.

Cerita tentang hamparan sawah adalah kenangan. Begitu juga dengan kebun sayuran dan holtikultura.

Siapa yang salah, tidak lagi harus dipersoalkan. Tetapi, bagaimana cara untuk memperbaiki keadaan.*

Artikel ini pertama kali diterbitkan di amirariau.com

avatar

Redaksi