Mengapa “Telingo Bumi” Begitu Pintar
Lingkungan & Krisis Iklim
May 8, 2025
Jon Afrizal

Induk dan anak gajah di TN Tesso Nilo, Pelalawan, Provinsi Riau. (credits: TN Tesso Nilo)
GAJAH adalah satwa dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Kata “gajah” berasal dari serapan bahasa Sanskerta, yakni “gaja”. Kata lainnya untuk menyebutkan gajah adalah “liman” dan “biram”.
Orang Melayu Jambi menyebutnya dengan sebutan “Telingo Bumi” (: telinga bumi). Dengan artian, satwa ini memiliki kepekaan terhadap pihak lain yang sedang menggunjingnya.
Budaya Hindu mengenal Ganesha (Dewanagari) sebagai Dewa ilmu pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala dan bencana, dan, Dewa kebijaksanaan.
Ganesha juga dikenal dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Tradisi pewayangan yang berkembang di Pulalu Jawa dan Bali, mengenalnya sebagai Bhatara Gana, yang adalah putra dari Bhatara Guru (Bhatara Siwa).
Bahkan, satu lembaga pendidikan di negeri ini, juga menempatkan Ganesha sebagi lambangnya.
Gajah, secara umum dibelah menjadi dua spesies. Yakni gajah Afrika (Loxodonta africana) dan gajah Asia (Elephas maximus).
Kelebihan gajah, jika diperbandingkan dengan satwa lainnya, adalah, terletak pada kemampuan satwa ini untuk mengembangkan fungsi otak, yang terhubung dengan fungsi dari belalai, tentunya.
Mengutip tsavotrust, dengan berat rata-rata 5 ton, gajah dapat mengembangkan fungsi otaknya dengan baik. Sehingga gajah dapat memperlihatkan berbagai perilaku. Termasuk kesedihan, pembelajaran, bermain, kasih sayang dan kerja sama mimikri.
Otak gajah memiliki struktur yang hampir mirip dengan struktur otak manusia. Otak gajah memiliki korteks serebral yang dapat dikembangkan, dan dapat menjadi bagian otak yang membantu memecahkan masalah.
Otak gajah memiliki hippocampus besar, yang terkait dengan emosi. Dan ini yang menjadi alasan mengapa gajah memiliki reaksi emosional yang signifikan terhadap berbagai hal, termasuk menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Umumnya, tingkat kecerdasan diukur dengan metode Enchalization Quotient (EQ), yang biasanya digunakan untuk memperlihatkan hubungan matematika antara massa otak dan massa tubuh.
Jika, skors EQ manusia adalah 7 hingga 8, dan, skors EQ cetacea (paus dan lumba-lumba) adalah sekitar 3. Maka, skors EQ gajah Afrika hanya 1,3 saja, sama seperti unta dan tupai.
Tetapi, hasil dari penerapan metode EQ pada gajah, bertentangan dengan bukti pengamatan yang sangat jelas dari gajah Afrika, misalnya. Gajah Afrika memperlihatkan tingkat kecerdasan kognitif yang tinggi, terutama jika dibandingkan dengan unta dan tupai.
Untuk memahami kecerdasan gajah Afrika, dapat dilihat pada susunan otaknya.
Dimana neuron, yakni sel-sel saraf yang mengirim pesan ke seluruh tubuh, dan memungkinkan fungsi, seperti; berbicara, bergerak, makan, dan berpikir.
Jumlah neuron pada otak gajah jauh lebih besar daripada yang ditemukan pada mamalia lain, termasuk manusia. Otak gajah Afrika, misalnya, mengandung 257 miliar neuron, atau tiga kali lebih banyak dari kandungan neuron pada otak manusia.
Sehingga, kemampuan kognitif tidak dapat didasarkan hanya pada skors EQ saja. Tetapi pada jumlah neuron absolut yang ditemukan pada otak. Yang nantinya akan menjelaskan mengapa gajah menunjukkan kecerdasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mamalia dengan skors EQ serupa, seperti unta dan tupai.
Namun, teori ini juga akan menunjukkan bahwa gajah seharus lebih pintar daripada manusia. Dan meskipun mereka menunjukkan kecerdasan, tetapi mereka tidak menunjukkan tingkat kemampuan kognitif yang sama seperti yang terjadi pada manusia.
Pada otak, korteks serebral adalah bagian terbesar dari otak dan memiliki banyak fungsi, termasuk gerakan otot, memori dan emosi.
Gajah, meskipun memiliki korteks serebral dua kali ukuran manusia, tetapi gajah hanya memiliki 5,6 miliar neuron, atau sekitar sepertiga dari neuron pada korteks serebral otak manusia.
Dan, ini adalah penjelasan logis, mengapa manusia menunjukkan tingkat kemampuan kognitif yang jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan gajah.
Sebanyak 97,5 persen neuron gajah Afrika, msalnya, terletak pada otak kecil. Yakni bagian otak yang digunakan untuk kontrol dan keseimbangan motorik.
Sebagian besar neuron yang ditemukan pada otak kecil gajah, adalah karena datangnya banyak informasi dari satu sumber, yakni: belalai.

Patung Ganesha dari abad ke 13, di Karnataka, India. (credits: Wiki Commons)
Setelah diuji, meskipun sulit untuk menjelaskan, bahwa belalai adalah rahasia terbesar dari kecerdasan yang tampak pada gajah, dan bukan bagian tubuh yang lainnya. Belalai adalah “alat” serbaguna, yang sangat taktil dan motil.
Belalai memiliki tingkat kebebasan bergerak yang tak terbatas, mengingat belalai tidak memiliki tulang dan sendi. Pada bagian ujung belalai sangat sensitif dan menyampaikan banyak informasi ke otak gajah, melalui sentuhan dan bau.
Sehingga, para ilmuwan pun berspekulasi bahwa jumlah neuron yang luar biasa yang ditemukan pada otak kecil gajah dapat digunakan untuk memproses sejumlah besar informasi yang berasal dari belalai. Serta untuk mengkompensasi penggunaan alat ini.
Adapun Ganesha, adalah sebuh nama dari bahasa Sanskerta. Yakni gabungan dari dua kata; “gaṇa” yang: berarti kelompok, banyak orang, atau sistem kategorisasi, dan, “isha” yang berarti: tuan.
Ganesha dianggap sebagai Dewa dari tulisan surat dan pembelajaran. Atau, dalam bahasa Sanskerta, kata “buddhi” adalah kata benda aktif yang diterjemahkan sebagai: kecerdasan, kebijaksanaan, atau intelektualitas.
Konsep buddhi terkait erat dengan kepribadian Ganesha, terutama pada periode Puran pada abad ke-3 SM hingga abad ke-10 M. Ketika banyak kisah menekankan tentang kepintaran dan kecintaan Ganesha terhadap kecerdasan.
K Raman dalam “Lord Ganesha” menjelaskan bahwa penggambaran Dewa Ganesha sebagai perpaduan dari bentuk manusia dan hewan melambangkan tentang cita-cita kesempurnaan. Ini seperti yang dipahami oleh orang bijak Hindu, dan juga menggambarkan beberapa konsep filosofis dengan makna spiritual yang mendalam.
Beberapa simbol, seperti; kepala gajah yang besar melambangkan kebijaksanaan, pemahaman, dan kecerdasan pembeda yang harus dimiliki seseorang untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup.
Sedangkan mulut lebar mewakili keinginan alami manusia untuk menikmati kehidupan di dunia. Dan, telinga yang besar menandakan bahwa orang yang sempurna adalah orang yang memiliki kapasitas besar untuk mendengarkan orang lain dan mengasimilasi ide.
Sementara simbol belalai dan dua gading dengan gading kiri patah menjelaskan bahwa tidak ada instrumen tubuh manusia yang diketahui memiliki jangkauan operasi selebar belalai gajah. Belalai dapat mencabut pohon, dan juga, mengangkat jarum dari tanah.
Sehingga, pikiran manusia harus cukup kuat untuk menghadapi pasang surut dunia luar namun cukup halus untuk menjelajahi alam halus dunia batin. Sedangkan, kedua gading menunjukkan dua aspek kepribadian manusia, yakni: kebijaksanaan dan emosi.
Gading kanan mewakili kebijaksanaan, dan, gading kiri mewakili emosi. Gading kiri yang patah menyampaikan gagasan bahwa seseorang harus menaklukkan emosi dengan kebijaksanaan untuk mencapai kesempurnaan.
Sedangkan mata gajah memiliki penipuan alami yang memungkinkan mereka untuk melihat objek lebih besar dari apa yang sebenarnya.
Sehingga mata gajah melambangkan gagasan, bahwa jika seseorang ingin menjadi “lebih besar dan lebih besar” dalam kekayaan dan kebijaksanaan, maka ia harus menganggap orang lain lebih besar dari dirinya sendiri.
Dengan menyerahkan kesombongan, maka seseorang dapat mencapai kerendahan hati.*

