Jangan Tanyakan Usia Kepada SAD

Inovasi

October 31, 2023

Jon Afrizal/Suo Suo, Tebo

Anggota kelompok Bujang Kabut sedang diperiksa oleh perawat dari PT ABT. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

SINAR matahari naik dan membuat tengkuk terasa hangat. Ketika aku dan Ari berkendara melintasi jalan koridor yang berdebu di Kecamatan Suo Suo Kabupaten Tebo, suatu pagi di awal bulan September 2023 lalu.

Hari itu adalah hari pelayanan kesehatan bagi masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) oleh pengelola konsesi areal restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT). Dan Ari Saputra, demikian nama lengkapnya, adalah perawat yang ditugaskan di sana.

Bagiku, kunjungan ini seperti membuka lembaran buku-buku lawas berjudul Midden-Sumatra, Reizen en onderzoekingen der Sumatra-expeditie dan Die Orang Kubu Auf Sumatra. Persoalan yang terlihat hampir sama, tetapi kini lebih kompleks.

Kunjungan pertama kami adalah kelompok Bujang Kabut. Ia, sebagai ketua kelompok sedang tidak di tempat. Seorang kerabatnya sedang mendapatkan perawatan medis di sebuah rumah sakit di Kabupaten Bungo.

Kami didampingi oleh dua dokter dan satu apoteker dari Puskesmas Suo Suo.

Anggota kelompok Bujang Kabut terdiri dari 7 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah 39 jiwa. Ciri-ciri umum dari mereka; warna kulit lebih gelap dari Suku Melayu, rambut lujur dan telapak kaki yang melebar.

“Jalan koridor yang berdebu membuat banyak anak-anak dari kelompok ini sering terkena batuk,” kata Ari.

Selain itu, akibat pola makan yang tidak lagi mengacu pada pola hidup berburu dan meramu, penyakit-penyakit manusia modern pun mulai menghinggapi mereka. Seperti usus buntu, dan tumor hati, misalnya.

Selemo (: salesma) sebagai penyakit yang paling menakutkan bagi kelompok SAD, karena menular dengan cepat, kini mulai dianggap biasa. Sebab setiap anak-anak suka sekali minum es di tengah udara musim kemarau yang terik panas ini.

Lalu kami menemui satu rombongan lagi, yang merupakan kelompok Bujang Kabut. Yang berobat adalah cenderung induk-induk (: ibu-ibu). Itu pun kami harus menunggu lama, dan harus memanggil mereka ke sudung (: pondok) milik mereka.

Satu yang tidak pernah dapat mereka jawab, adalah ketika dokter bertanya tentang usia. Begitulah, mereka tidak terbiasa mengingat dan mencatat usia masing-masing.

Mereka dulunya hidup di kawasan hutan. Dengan tradisi kolektif yang terpisah dari masyarakat Melayu. Dan, mereka tidak pernah mengenal cara menghitung usia seseorang. Meskipun, untuk hitung-hitungan yang lain, mereka terbiasa. Termasuk menghitung jumlah uang dalam IDR.

Kunjungan layanan kesehatan kepada kelompok Komunitas Adat Terpencil (KAT) ini sebenarnya dilakukan setiap hari Jum’at di setiap pekan. Tetapi, sangat bergantung dengan kondisi mereka.

Terkadang mereka mandah (mencari sesuatu di hutan) dan berbagai keperluan lainnya.

Warga Dusun Semerantihan tampak antusias menyambut petugas kesehatan. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

Keesokan harinya, kami kembali bergerak menuju Dusun Semerantihan. Dusun ini diisi oleh indigenous people Talang Mamak. Cukup berbeda terkait sambutan yang kami terima.

Warga Dusun Semerantihan terlihat antusias menyambut para petugas. Mulai dari anak-anak, remaja, ibu hamil dan lansia terlihat akrab dengan para petugas.

Herni Kurnia, perawat dari PT ABT yang ditempatkan di sana mengatakan umumnya penyakit yang mereka hadapi di sini adalah penyakit kulit, demam, pilek dan batuk.

“Tetapi untuk beberapa kasus, juga didapati penderita diabetes,” kata Herni.

Tentu saja, dalam kunjungan-kunjungan ini dilakukan sosialisasi. Yakni memberikan pemahaman terhadap pola hidup sehat.

Selain obat-obatan, perusahaan juga memberikan ransum tambahan bagi anak-anak. Ini agar asupan gizi mereka terpenuhi dalam proses tumbuh kembang.

Sebab kesehatan adalah hak semua orang. Bicara tentang keadilan iklim, tentu kelompok mereka adalah yang terdampak perubahan iklim.

Sebagai penjaga hutan di bagian tengah Sumatra, seperti yang tergambar di dua buku lawas tadi, tentu bukan hanya tugas pengelola restorasi ekosistem saja untuk memberikan layanan kesehatan. Tetapi semua pihak, baik itu pemilik cerobong asap maupun pemerintah.*      

avatar

Redaksi