Dana Karbon, Menuju “Tingkat Tapak”?
Hak Asasi Manusia
May 7, 2025
Jon Afrizal

Keluarga Suku Kubu di Kabupaten Tebo. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
SETELAH hampir enam tahun mengadakan begitu banyak workshop tentang carbon trade, dinyatakan bahwa Provinsi Jambi akan menerima dana karbon sebesar USD 70 juta atau setara dengan IDR 1,1 triliun dari World Bank melalui program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF-ISFL).
Tetapi, tentu saja, masih harus menunggu penandatanganan kesepakatan antara pemerintah Provinsi Jambi dan World Bank, dimana finalisasinya dilakukan oleh menteri terkait.
Dan, belum didapat penjelasan rinci terkait dana sejumlah IDR 1,1 triliun itu. Apakah untuk dalam jangka waktu tertentu, dan bagaimana kebermanfaatannya bagi masyarakat penjaga hutan.
“Pemprov Jambi telah melakukan persiapan penerimaan dana ini. Beberapa kali rapat telah diadakan untuk merumuskan mekanisme pengelolaan dana, termasuk opsi pengelolaan langsung oleh pemerintah daerah atau melalui lembaga perantara,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Jambi, Sudirman, mengutip Merdeka, beberapa waktu lalu.
Sudirman mengatakan, program ini diharap dapat membantu daerah dalam mengurangi deforestasi dan degradasi lahan. Selain juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Dana karbon, katanya, akan difokuskan pada empat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Yakni; KPH Hilir Sarolangun, KPH Bungo, KPH Tanjung Jabung Barat, dan KPH Merangin.

Ilustrasi cerobong asap pabrik di negara maju. (credits: pexels)
Selain itu, juga melibatkan empat Balai Taman Nasional. Yakni; TN Kerinci Sebelat, TN Berbak Sembilang, TN Bukit Duabelas, dan TN Bukit Tigapuluh, serta Balai KSDA Jambi.
Dan, akan pula melibatkan sekitar lima Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Jambi. Yakni; Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perkebunan, dan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan, yang berperan sebagai pelaksana program.
Sejauh ini, sejak dimulainya workshop BioCF-ISFL di tahun 2019 lalu, yang kerap menjadi pertanyaan banyak pihak, adalah, berapa jumlah dan apa kemanfaatan yang dapat oleh masyarakat di “Tingkat Tapak”. Yakni masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan, dan, termasuk juga indigenous people yang hidup di kawasan-kawasan hutan dan menggantungkan hidup dari hutan.
Pertanyaan ini cukup realistis, menimbang, bahwa masyarakat di sekitar kawasan hutan lah yang selama ini berperan dalam menjaga hutan, dan agar karbon tetap ada. Jika hutan tidak ada, maka tidak akan ada karbon, dan Provinsi Jambi tidak akan masuk ke dalam skema carbon trade.
Sebab, apapun program dan istilah yang digunakan, ini adalah skema carbon trade, atau emission trading scheme (ETS). Carbon Trade adalah metode umum yang digunakan negara-negara maju, yang terlebih dahulu telah menggunakan bahan bakar fosil, untuk memenuhi janji mereka berdasarkan Paris Agreement, pada tanggal 22 April 2016.
Dengan skema Carbon Trade, diharapkan perubahan iklim global karena penggunaan bahan bakar fosil dapat ditekan. Dan, juga mempercepat peluang-peluang investasi energi baru, seperti tenaga surya dan energi terbarukan lainnya.
Sehingga, akan menjadi tidak adil, jika masyarakat di “Tingkat Tapak”, yang selama ini membentengi bumi dari pengaruh buruk energi fosil, malah tidak mengetahui apapun tentang skema ini.
Transparansi, bagaimanapun, amat penting. Sebab, bukan hanya Climate Change saja yang harus diantisipasi, tetapi juga Climate Justice.*

