Menjaga Aliran Sungai Di Perbatasan (1)

Lingkungan & Krisis Iklim

May 5, 2025

Jon Afrizal/Bayung Lencir, Musi Banyuasin

Sungai Lalan sedang meluap, karena hujan selama dua hari. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Sungai adalah budaya. Pada sungai, terdapat kehidupan, dan keberlangsungan kehidupan. Berikut adalah catatan perjalanan menyusuri sungai-sungai di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, sebagai satu kesatuan ekosistem. Dalam dua tulisan, untuk pembaca Amira.

SUNGAI Lalan dan Sungai Kandang, adalah dua anak sungai yang terbentang di perbatasan Provinsi Jambi – Sumatera Selatan. Dua anak sungai ini, adalah bagian dari kesatuan ekosistem, yang kini dikenal dengan sebutan “Hutan Harapan”.

Sungai Lalan, tertera secara implisit dalam buku klasik Die Orang Kubu Auf Sumatra yang ditulis oleh B Hagen.

Dan, tertulis secara ekplisit dalam buku To Live As Brothers karya Barbara Watson Andaya. Dalam buku ini, digunakan nama “Air Lalang”.

Kedua buku dari dua penulis ini, sama-sama menceritakan tentang persebaran Orang Suko Pindah. Atau, yang kita menyebutnya dengan sebutan “Orang Batin Sembilan”.

Sungai Lalan dan Sungai Kandang, adalah bagian dari sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Lalan. Sementara sub DAS Lalan, adalah bagian dari DAS Musi, yang berada di Provinsi Jambi.

Mengutip Badan Pengelolaan DAS (BP DAS) Sumatera Selatan, DAS Musi memiliki luasan 7.760.222, 86 hektare. Secara administrasi DAS Musi berada di empat provinsi; Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung.

DAS Musi terbagi menjadi 22 sub DAS. Dan, sub DAS Lalan adalah satu diantaranya.

Sungai Lalan dan Sungai Kandang terhubung dengan dua sungai besar, yakni Sungai Meranti dan Sungai Kapas, yang adalah bagian dari DAS Musi. Kedua sungai besar ini, adalah, bagian hulu sub DAS Lalan, dan masih berada di wilayah “Hutan Harapan”.

Pada tahun 2024, berdasarkan interpretasi citra Sentinel 2A, luas sempadan Sungai Kapas adalah 2.870,7 hektare, dan, sempadan Sungai Meranti seluas 1.152,4 hektare.

Peta Air Lalang (Sungai Lalan) dalam buku “To Live As Brothers” (credits: Barbara Watson Andaya)

Sempadan Sungai Kapas didominasi oleh hutan sekunder tinggi seluas 766,7 hektare, hutan sekunder sedang seluas 1.293,9 hektare, hutan sekunder rendah seluas 244,5 hektare, perkebunan karet seluas 381,2 hektare, dan, semak belukar seluas 83,7 hektare.

Sedangkan sempadan Sungai Meranti didominasi oleh hutan sekunder tinggi seluas 359,9 hektare, hutan sekunder sedang seluas 614,9 hektare, hutan sekunder rendah seluas 40 hektare, lahan didominasi akasia seluas 39,3 hektare, dan, semak belukar seluas 16,3 hektare.

Pepohonan dan vegetasi yang rapat di sepanjang sempadan Sungai Kapas dan Meranti meningkatkan infiltrasi air, dan juga mengurangi laju aliran permukaan yang berpotensi merusak, seperti pengikisan badan sungai.

Sebab, pohon di hutan yang berakar dalam akan menarik air dari lapisan tanah yang dalam, dan mengeluarkannya ke lapisan tanah atas, yang akhirnya digunakan tanaman.

Sungai Lalan memiliki kedalaman dangkal antara 0,6 meter hingga 1,2 meter, dan Sungai Kandang adalah antara 0,6 meter hingga 1,8 meter.

Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen-Geiger, suhu rata-rata tahunan di wilayah perbatasan Provinsi Jambi – Sumatera Selatan adalah 24 derajat Celcius. Dengan suhu tertinggi 26 derajat Celcius pada bulan Juli, dan, suhu terendah 22 derajat Celcius pada bulan Februari.

Dengan curah hujan rata-rata tahunan adalah 2.579 milimeter. Curah hujan tertinggi adalah pada bulan April, yakni 344 milimeter, dan, curah hujan terendah adalah bulan September, sebanyak 99 milimeter.

Sehingga, seperti sungai-sungai di Sumatera dan wilayah beriklim tropis, maka Sungai Lalan akan meluap secara berkala. Terutama pada musim penghujan, atau bahkan ketika hujan turun dalam beberapa waktu lamanya.

Mengutip Cifor, perubahan tutupan lahan antara hutan, padang rumput, dan tanaman terbuka mempengaruhi kemampuan tanah untuk menyerap air. Juga, mempengaruhi kemampuan vegetasi untuk menggunakannya dan mendaur ulang air sungai ke atmosfer.

Sungai Lalan, jika terus menuju ke arah hilir, akan mengarah ke Desa Tanjung Mandiri. Yakni, sebuah desa “yang tiba-tiba muncul” di kawasan hutan, sejak tahun 2010 lalu.

Di Desa Tanjung Mandiri, terdapat anak-anak Sungai Lalan. Sayangnya, anak-anak sungai ini telah mengering. Akibatnya, ekosistem Sungai Lalan menjadi terputus di wilayah ini.

Kekeringan anak-anak sungai ini telah terjadi sekitar 5 tahun terakhir. Penyebab utamanya, tentu saja, adalah pemaksaan perubahan tata ruang. Yakni dari hutan sekunder menjadi perkebunan sawit (Elaeis guineensis) milik perseorangan.

Sehingga, dengan kondisi perkebunan tanaman sawit yang rakus air, yang terjadi, adalah, penduduk di sana tidak lagi menggunakan air dari aliran sungai untuk kebutuhan pokok dan lainnya.

Tetapi, penduduk terpaksa menggunakan sumur bor, bahkan hingga kedalaman di atas 20 meter untuk mendapatkan air.*

avatar

Redaksi