Pelaku Samarkan Aktifitas Drilling
Lingkungan & Krisis Iklim
March 2, 2025
Jon Afrizal/Bayung Lencir, Sumatera Selatan

Tiang rig yang menggunakan kayu untuk menyamarkan aktifitas drilling. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
KENDATI telah ditertibkan oleh PPNS Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan pada pekan kedua bulan Februari 2025 lalu, tetapi aktifitas drilling mulai terjadi lagi di KM 52 Desa Sako Suban Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Untuk menyamarkan aktifitasnya, para pelaku tidak lagi menggunakan tiang rig yang berbahan besi. Melainkan, mereka menggunakan tiang rig dari kayu.
Terdapat sekitar empat sumur yang menggunakan tiang rig dari kayu di kawasan ini.
Ini terjadi, karena, sewaktu pembersihan, satu sumur yang dianggap tidak aktif, tidak dirusak atau dihancurkan petugas Gakum. Akibatnya, sumur itu berdiri kembali dengan menggunakan tiang rig dari kayu.
Satu sumur itu, kemudian ditambah dengan tiga sumur baru lainnya. Para pelaku, seperti biasa, beraktifitas ketika malam hari.
Adapun, tiang rig itu ada kayu tebangan yang diambil dari kawasan Hutan Harapan.

Satu tempat berkumpul para pelaku drilling di KM 52, setelah penegakan hukum oleh PPNS Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Jelas saja, terdapat kerugian biodiversity. Kerugian yang dapat menganggu “lingkar kehidupan” di kawasan hutan, untuk ke depannya.
TP Damanik, manager Perlindungan Hutan PT Reki, mengatakan, total areal yang “ditempati” pelaku drilling adalah 50 hektare.
“Tetapi, jika membicarakan dampak, maka dapat meluas menjadi 300 hektare,” katanya belum lama ini.
Dampak ini, tidak hanya pada titik-titik pengeboran saja, Melainkan juga areal yang dibuka, jalur-jalur jalan, dan anak-anak sungai yang tercemar.
Ia mengatakan, manajemen PT Restorasi Ekosistem (Reki) selaku pengelola Hutan Harapan, hingga hari ini tetap memantau lokasi itu. Pihaknya, katanya, terus melakukan koordinasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan.
“Kami telah diamanatkan oleh negara untuk mengelola kawasan hutan negara ini. Maka, ini adalah upaya kami untuk menjaganya,” katanya.

Satu tempat berkumpul para pelaku drilling di KM 52, sebelum penegakan hukum oleh PPNS Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Terkait nama-nama pelaku, pihak Hutan Harapan telah melaporkannya ke pihak yang berwenang.
Terdapat sekitar 10 orang yang melakukan pengeboran di wilayah itu. Meskipun, setiap pelaku dapat memiliki lebih dari satu sumur.
Hutan Harapan, memiliki luasan total 98.555 hektare dan terletak di dua provinsi; Jambi dan Sumatera Selatan.
Hutan Harapan ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan nomor 327/Menhut-II/2010 pada tanggal 25 Mei 2010 seluas 46.385 hektare di Provinsi Jambi, dan, SK Menteri Kehutanan nomor 293/Menhut-II/2007, pada tanggal 28 Agustus 2007, seluas 52.170 hektare di Provinsi Sumatera Selatan.
Terdapat tiga jenis mamalia, satu jenis aves, dan sembilan jenis tumbuhan dengan status Critical Endangered, menurut red list International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Lokasi drilling KM 52 dilihat dari udara. (credits: Hutan Harapan)
“Aktifitas yang menjadi perhatian khusus kami, adalah; pembalakan, perambahan, perburuan, pertambangan, kebakaran hutan, tanaman invasif akasia, dan jalan tambang,” kata Adam Aziz, direktur PT REKI.
Pihaknya pun telah melakukan upaya preemptive, preventif dan penegakan hukum terhadap aktifitas pembalakan, perambahan dan perburuan.
Juga, telah menerapkan skema Perhutanan Sosial (PS) sebagai upaya penyelesaian konflik sosial.
Melalui skema restorasi ekosistem, yang kini disebut dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), kawasan eks logging diperbaiki kembali. Dengan tujuan agar kawasan hutan dataran rendah ini dapat berfungsi kembali dengan baik.
Terutama sebagai daerah cadangan air untuk wilayah perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.*

