Nasionalisme Para Ratu Pattani

Daulat

June 30, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi perempuan mengenakan mahkota. (credits: pexels)

Pattani Darussalam, adalah sebuah kesultanan Melayu Islam di Thailand selatan dan Malaysia utara. Kesultanan yang beribukota di kota Mahligai Jeram di wilayah Yarang ini didirikan pada tahun 1502, dan kemudian menjadi bagian Kerajaan Siam pada tahun 1902. Berikut adalah sekelumit kisah tentang empat ratu Pattani, untuk pembaca Amira.

PUTRI Ijau naik takhta sebagai ratu pertama Pattani pada tahun 1584. Setelah kematian ayahnya, Sultan Manzur Syah, pada tahun 1572, Putri Ijau dan kedua adik perempuannya, yakni Putri Biru dan Putri Ungu, harus mengalami trauma selama 12 tahun.

Mereka menyaksikan saudara laki-laki dan sepupu saling bunuh dalam pertarungan memperebutukan takhta. Konflik akhirnya selesai, setelah seluruh ahli waris laki-laki tewas terbunuh, dan membuka jalan bagi kenaikan Putri Ijau.

Ketiga saudara perempuan ini, yakni Putri Ijau, Putri Biru dan Putri Ungu. Ketiganya saling bergantian menjabat sebagai Ratu Patani dari tahun 1584 hingga tahun 1635.

Tetapi, Ratu Ijau dan saudara-saudara perempuannya yang berhasil naik takhta, mengutip Geocities, hanyalah ratu boneka. Di belakang mereka ada menteri laki-laki yang cakap yang memerintah atas namanya tanpa partisipasi ratu yang sebenarnya.

Pelancong Prancis, Nicholas Gervaise, pada tahun 1680-an menulis bahwa Ratu Ijau tidak diizinkan untuk ikut masuk ke dalam urusan rahasia kerajaan.

Pendapat Gervaise yang dikutip dalam “Hikayat Pattani”, menyatkaan bahwa Ratu Ijau harus puas dengan penghormatan yang secara resmi diberikan oleh seluruh rakyat kepadanya sebagai penguasa. Dan para menteri tidak memberikan kekuasaan kepadanya untuk memilih pejabat tingginya sendiri. Tetapi, tentu saja, para pejabat tinggi itu tidak pernah menolak pemberian dari para ratu, jika itu terkait dengan kesenangannya.

Di masa pemerintahan para ratu, Pattani mencapai kemakmuran terbesarnya dari perdagangan maritim dengan Eropa, Jepang dan sekitar Asia Tenggara. Dengan harga komoditas bahan makanan yang berada pada titik terendah sepanjang masa, yang mampu menyenangkan orang kaya dan miskin di bawah pemerintahannya.

Petani pun menikmati proyek irigasi yang diprakarsai dan diawasi oleh para ratu.

Masjid Kersik, Pattani. (credits: Public Domain)

Meskipun kerap dinyatakan sebagai “ratu boneka”, ketiganya mampu selamat dari beberapa upaya kudeta di tengah situasi politik yang selalu berfluktuasi.

Seluruh orang yang menantang kekuasaan mereka “ditangani” dengan cara yang “berbeda”. Dan, setelah ditangani, tidak seorang pun rakyat Pattani yang melihat para penentang itu. Hilang, atau dihilangkan?

Para ratu adalah penguasa yang cakap yang tahu bagaimana memainkan politik internal dan regional. Dengan kata lain, kemakmuran Kesultanan Pattani adalah karena para ratu.

Ratu Ijau memerintah selama 31 tahun. Sebelum meninggal, ia menyerahkan takhta kepada saudara perempuan keduanya, Putri Biru.

Ratu Biru memimpin kerajaan selama tujuh tahun. Setelah itu, takhta kesultanan diserahkan kepada saudara perempuan ketiga, Putri Ungu. Ratu Ungu memerintah selama 12 tahun.

Diantara ketiganya, hanya Ratu Ungu yang menikah. Ia menikah dengan Sultan Abdul-Ghafur Mohaidin Syah dari Kerjaan Pahang, Semenanjung Malaya.

Terkait pemahaman Ratu Ijau tentang politik regional, tentu saja lebih dari yang dipahami oleh para menterinya. Ratu Ijau yang meminta Putri Ungu menikah dengan Sultan Pahang.

Ini mengingat hubungan erat antara Pahang dan Johor pada saat itu, dan juga mempererat hubungan dengan Johor, pusat politik kuat lainnya di semenanjung.

Ratu Ijau melakukan retrospeksi, dan beralih untuk berkonsentrasi pada penguatan hubungan dengan kerajaan tetangga. Sebab karena Pattani menjadi relatif mandiri dari pengaruh Ayutthaya, kerajaan pedalaman yang kuat.

Ayutthaya berjuang melawan Burma dan Kamboja dari tahun 1564 hingga 1590-an.

Putri Ungu memiliki seorang anak perempuan, bernama: Putri Kuning. Ratu Kuning memerintah selama 50 tahun lamanya.

Politik yang aman memerlukan kemakmuran ekonomi. Pattani adalah sebuah pelabuhan terbaik di sepanjang pantai timur semenanjung Malaya.

Kerajaan ini berdagang dengan Cina dan India, Siam, Malaya dan Indonesia. Dimana lada dapat dibawa dari negeri tetangga oleh pedagang Cina, dengan imbalan tekstil dan porselen mewah.

Pada saat yang sama, tekstil India dibawa ke Pattani dengan imbalan emas, rempah-rempah dan bahan makanan.

Ratu Ungu tahu pernikahannya dengan sultan Pahang adalah untuk mengamankan kemakmuran politik dan ekonomi bagi Pattani. Cinta bukan bagian dari itu semua.

Satu sudut di Pattani, Thailand. (credits: Public Domain)

Baginya, pernikahan itu adalah untuk “cinta terhadap tanah air”.  

Pun demikian dengan anaknya, Putri Kuning, yang kemudian menjadi ratu. Ratu Biru menjodohkan Putri Kuning dengan seorang bangsawan dari Siam, Okya Decho.

Okya Decho adalah putra penguasa Ligor, atau Nakhon Si Thammarat, pejabat tinggi kerajaan Ayutthaya.

Setelah Ratu Biru meninggal, maka Ratu Ungu pun pada tahun 1624, mengatur agar Putri Kuning menikah lagi, kali ini dengan Sultan Johor.

Memang, Patani di bawah pemerintahan Ratu Ungu mengadopsi kebijakan anti-Siam. Konsekwensinya, Ratu Ungu menolak untuk disebut dengan “Phra Chao” sebagai gelar kerajaan Siam.

Dan, ketika mengetahui Putri Kuning menikah lagi, Okya Decho yang marah meminta izin dari raja Siam untuk memimpin pasukan Siam menyerang Patani.

Ratu Ungu mendapat dukungan dari Kerajaan Pahang, dan Pangeran Johor yang memimpin pasukannya untuk membantu Pattani.

Pasukan Siam yang tidak terbiasa dengan perang laut, yang dipimpin oleh Okya Decho, kalah dalam waktu satu pekan.

Setelah naik takhta pada tahun 1635, kisah cinta Putri Kuning, sepertinya, ter-metadata dengan Sultan Johor. “Hikayat Pattani” menyebutkan Pangeran Johor telah “melanggar” Ratu Kuning.

Namun, Ratu Kuning mengetahui bahwa kekasihnya telah menjalin hubungan dengan seorang penyanyi istana. Bahkan, Pangeran Johor berencana untuk memberikan gelar kerajaan kepada sosok penyanyi itu.

Menteri dan rakyat berpihak pada Ratu Kuning. Dan, mereka secara sukarela “menyelesaikan” masalah itu, untuk Ratu Kuning.

Lantas, Ratu Kuning meminta bawahanya untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Johor. Pangeran selamat ke Johor, dan tidak pernah terlihat lagi di Pattani.

Terlepas dari sebegitu kacaunya kehidupan pribadinya, Ratu Kuning tidak pernah melupakan tugasnya sebagai penguasa Pattani. Selama masa pemerintahannya, Pattani tetap berada di era kejayaan perdagangan internasional.

Ratu memerintahkan anak buahnya untuk memperluas muara Sungai Pattani dan mengeruk jalur pasang sungai untuk menyambut tongkang kargo yang berlabuh semakin banyak.

Teluk Pattani bersinar dengan lampu dari sampah pedagang siang dan malam. “Hikayat Pattani” mencatat bahwa ratu terakhir ini tidak hidup dari pendapatan kerajaan. Ratu Kuning mendapatkan penghasilan dari tanaman di kebunnya sendiri, memberi makan dan berpakaian dari keuntungan bunga dan sayuran. Selain itu, ia mengubah harta pribadinya menjadi milik kerajaan.

Tidak seperti ibunya, yang memusuhi Ayutthaya, Raja Kuning memutuskan untuk berteman dengan kerajaan yang lebih besar dengan berkunjung pada tahun 1641. Ratu Pattani disambut oleh Raja Prasat Thong dari Siam. Mereka membangun kembali hubungan dan Siam berjanji untuk mengakhiri campur tangannya di Pattani, setidaknya selama pemerintahan Raja Kuning.

Namun, satu dekade kemudian, Kuning dipaksa untuk meninggalkan takhta oleh Raja Sakti dari Kalantan yang melakukan kudeta pada tahun 1651, setelah Ratu Kuning gagal menangani konflik internal antara sultan dan pangeran lain. Dalam perjalanannya untuk mencari perlindungan ke Johor, ratu terakhir Pattani meninggal di dekat pantai Kalantan. Jenazahnya dimakamkan di sebuah desa kecil bernama Kampung Pancor.

Pun, rasa “cinta terhadap tanah air” juga terkubur di sana.*

avatar

Redaksi