Sisir Emas Yang Hilang

Lifestyle

March 1, 2025

Junus Nuh

Ilustrasi Sisir Emas dari China. (credits: eBay)

“Tetapi, ibarat tingginya pohon kelapa,

Hanya minyaknya saja yang membaluri rambut Putri.

Selebihnya, tertinggal di dalam tidur,

Dan menjadi mimpi budak-budak bujang di dusun.”

TERDAPAT sebuah makam tua di Pulau Putri. Makam berusia, mungkin, lebih dari 100 tahun.

Makam itu berada di bawah kerindangan sebuah pohon rengas (gluta) yang merunduk, di dataran berbentuk pulau kecil di Desa Pangkalan Lampan, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering llir (OKI) Provinsi Sumatera Selatan.

Penduduk lokal biasa menyebutnya: Makam Keramat Puyang Putri.

Makam itu diapit oleh dua makam lainnya. Kedua makam itu, adalah makam dua orang pemuda. Pertama adalah pemuda berikat kepala putih, dan yang kedua adalah pemuda berkalung tasbih.

Keramat, dalam artian, sesuatu yang disakralkan, dan dihormati. Sehingga, meskipun kini tempat ini kerap menjadi objek wisata, tetapi setiap pengunjung harus mengikuti pantangan yang tidak boleh dilanggar.

Yakni; tidak berbicara kotor dan tidak berbuat tidak senonoh.

Ataupun, memperlakukan makam dengan cara menunjuk dengan jari telunjuk ke arah makam. Karena, itu artinya: tidak sopan dan tidak menghargai leluhur.

Puyang Putri, mengutip “Cerita Rakyat Nusantara”, sewaktu masih muda belia, adalah gadis yang tercantik di dusunnya. Kulit wajah Putri seibarat kelopak bunga mawar yang sedang mekar merah merekah.

Puyang, adalah sebutan sopan untuk seseorang yang setara dengan: nenek atau buyut perempuan.

Dikisahkan, Putri memiliki sebuah sisir yang terbuat dari bahan logam emas (berlambang Au).

Suatu ketika, Putri sedang mandi berlulur kembang tujuh warna dan melangih rambutnya yang panjang terurai, hitam dan lebat. Melangih adalah tradisi meminyaki rambut bagi perempuan dengan menggunakan minyak kelapa.

Ia ditemani oleh dua orang dayang.

Suasana Desa Pangkalan Lampan. (credits: @hobijalan)

Pada saat sedang menyisir rambut, sisir emas itu terlepas dari tangannya. Dan jatuh ke sungai. Air beriak menyambut jatuhnya sisir emas itu.

Sisir, yang kemudian memberikan kisah panjang yang tragis. Tentang Putri, dan tentang persumpahan.

Wajah Putri pun berubah menjadi pucat pasi.

“Tolong, sisirku jatuh ke sungai,” kata Putri kepada kedua dayangnya.

Kedua dayang itu berusaha untuk mendapatkan kembali sisir emas itu. Kedua menyelam ke kedalaman air sungai.

Tetapi, air sungai yang sedang pasang, dan hujan yang turun deras semalam telah membuat air sungai menjadi tinggi. Usaha mereka berdua sia-sia.

“Kami tidak berhasil,” kata seorang dayang.

Lalu, Putri berniat untuk mencari sendiri. Namun berusaha dicegah oleh kedua dayang.

Hingga, mereka pun pulang ke rumah. Sambil berpikir cara terbaik untuk mendapatkan sisir emas itu kembali.

Tetapi, sesampai di rumah, Putri masih bermuram, memikirkan sisir emas yang hilang.

Sisir emas itu adalah peninggalan almarhum ibunya. Sisir itu, adalah mahar perkawinan dari ayahnya untuk ibunya.

Hilangnya sisir emas itu berarti bahwa Putri tidak mampu untuk merawat benda pusaka peninggalan orangtuanya.

Hampir sama seperti kisah-kisah legenda, sayembara akan melengkapi pemaknaan sejarah Nusantara.

Lalu, diadakanlah sayembara. Sesiapa yang dapat menemukan sisir emas milik Putri yang hilang, akan mendapat hadiah.

Yakni; jika perempuan, akan diangkat sebagai saudara kandung. Dan, jika ia laki-laki, akan menjadi suami Putri.

Pilihan terakhir, untuk laki-laki, adalah dengan pertimbangan, bahwa menjaga keberadaan sisir emas itu agar tidak hilang telah menjadi satu baktinya kepada kedua orangtuanya.

Pun, jika ada orang yang dapat membantunya, apapun keadaan orang itu akan ia terima, sebagai bakti terhadap kedua orangtuanya.

Putri adalah tali jiwa, ikatan bagi hati setiap budak-budak bujang, atau, remaja laki-laki atau laki-laki yang belum menikah, di dusun itu. Mereka selalu berandai-andai untuk mempersuntingnya.

Suasana senja di Desa Pangkalan Lampan. (credits: @pangkalanpampan)

Tetapi, ibarat tingginya pohon kelapa, hanya minyaknya saja yang membaluri rambut Putri. Selebihnya, tertinggal di dalam tidur dan menjadi mimpi budak-budak bujang.

Ketika pengumuman sayembara itu disebar ke seluruh dusun, budak-budak bujang, menegakan daun telinga mendengarnya. Kesempatan baik, tentunya, yang tak dapat untuk dilewatkan begitu saja.

Pada hari-H pelaksanaan sayembara, seluruh penduduk dusun berkumpul di pinggir sungai, tempat dimana sisir emas itu jatuh menghilang.

Terlihat lima pemuda, empat diantaranya mengenakan ikat kepala. Mereka akan mengikuti sayembara.

Masing-masing mengenakan ikat kepala: berwarna hitam, bercorak batik, berwarna merah, dan berwarna putih.

Sedangkan satu pemuda, yang tidak mengenakan ikat kepala, ia mengalungi lehernya dengan seuntai tasbih.

Selalu ada tokoh protagonis dan antagonis. Baik dan jahat. Benar dan salah.

Keempat pemuda berikat kepala terlihat terlalu berambisi dan terlalu percaya diri, sebagai kata lain dari: sombong. Sedangkan pemuda berkalung tasbih tampak begitu tenang.

Secara bersamaan, kelima pemuda pun menyelam ke dalam air sungai untuk menemukan sisir emas milik Putri.

Setelah beberapa saat, darah pun memerahi aliran sungai. Pemuda yang mengenakan ikat kepala hitam muncul ke permukaan. Menyerah. Ia diserang seekor buaya.

Selanjutnya, giliran pemuda yang mengenakan ikat kepala bercorak batik yang muncul. Sama, ia menyerah karena diserang seekor ular.

Kemudian, muncul lagi pemuda yang mengenakan ikat kepala merah. Ia menyerah karena diserang sesuatu berwujud seperti rambut yang lebat dan panjang.

Hanya dua orang pemuda saja yang masih berada di dalam sungai. Pemuda dengan ikat kepala putih, dan, pemuda berkalung tasbih.

Setelah lama menunggu, tiba-tiba, kedua pemuda muncul secara bersamaan. Pemuda berikat kepala putih dan pemuda yang berkalung tasbih. Keduanya sama-sama menggenggam sisir yang sama: sisir emas.

Putri pun tercekat. Dua orang pemuda, dan ia pun menggundah hati. Pikirnya berkecamuk.

“Aku tidak mungkin bersuamikan dua orang lelaki,” katanya.

Diatas keriuhan itu, happy ending adalah akhir yang mustahil, pada kisah ini.

Sama seperti orang-orang Melayu pada umumnya, Putri pun mengangkat sumpah.

“Atas nama Tuhan. Langit, tanah, rimba dan seisi sungai adalah saksi persumpahanku. Sebagai sesal dari wujud janji yang tak ku laksanakan. Maka, sejak saat ini, hingga nafasnya terhenti, aku tidak akan menerima pinangan siapapun.”*

*Ditulis ulang dari “Sisir Emas Puyang Putri” di buku Antologi “Cerita Rakyat Nusantara”

avatar

Redaksi