Pak Belalang
Budaya & Seni
February 14, 2025
Raja Haji Yahya bin Raja Syed Muhammad Ali*

Jalan Utama Chenderiang, Perak. (credits: geopractice)
ADALAH sebuah negeri yang bernama Halban Condong yang diperintah oleh seorang raja yang bernama Raja Indera Maya. Di pinggir kerajaan itu berdiam satu keluarga miskin, Pak Belalang, istrinya, dan seorang putranya yang bernama Belalang.
Pada suatu musim kemarau, keluarga peladang itu sangat kesusahan. Hidup mereka terancarn karena sulitnya mencari sesuap nasi. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menunggu guratan takdir.
Karena itu, Pak Belalang kedatangan ilham. Ia menyuruh anaknya mencuri seekor kerbau dan menyembunyikannya di semak belukar.
Apabila pemilik kerbau itu kasak-kusuk mencari kerbaunya, Pak Belalang akan menyuruh si Belalang menghubunginya dan menyarankan agar minta tolong kepada Pak Belalang menujum kerbau yang hilang itu. Dengan cara demikian, mereka akan beroleh uang dan kehidupan mereka akan tertolong.
Tipu muslihat Pak Belalang itu dilaksanakan oleh si Belalang dan benarlah apa yang dikatakan Pak Belalang. Dengan senang hati pemilik kerbau itu mengharapkan kebaikan hati Pak Belalang mencarikan kerbaunya. Sejak itu, Pak Belalang terkenal sebagai juru tenung.
Pada suatu hari Raja lndera Maya kecurian tujuh peti yang berisi intan, emas, derham, dan beberapa barang berharga lainnya. Raja lndera Maya bertitah agar para pengawalnya mencarikan juru ramal yang mampu menangkap pencuri harta yang raib itu.
Orang bendang yang pernah kehilangan kerbau memberi tahu baginda bahwa Pak Belalang pandai menenung. Pak Belalang dipanggil menghadap baginda.
Kendati iImu ramalnya sungguh-sungguh tidak ada, Pak Belalang menyanggupi perintah baginda mencarikan harta yang hilang itu. Untuk itu, Pak Belalang membeli beras, minyak, dan tepung untuk dibuatkan roti.
Setiap Pak Belalang menceburkan adonan roti itu ke dalam kuali selalu terdengar bunyi “cur”. Seiring dengan itu, mulutnya meluncurkan hilangan, “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh!” sebanyak roti yang dicelupkan ke wadah penggorengan itu.

Satu sisi Chenderiang, Perak. (credits: blogger)
Suaranya terdengar hingga menyeruak ke tengah halaman. Secara kebetulan kawanan pencuri harta raja itu melewati halaman rumah si juru ramal palsu itu.
Ucapan Pak Belalang yang menghitung roti itu terdengar jelas oleh para pencuri itu. Serta-merta mereka ketakutan karena merasa perlakuannya telah diketahui oleh Pak Belalang. Kemudian, mereka menyerahkan diri dan harta curiannya kepada Pak Belalang.
Berselang tiga bulan setelah peristiwa itu, tiga buah kapal merapat ke dermaga. Kapal itu membawa beberapa ekor anak itik yang baru menetas.
Nakhoda kapal itu menantang dan menguji kepandaian Raja Indera Maya bagaimana caranya mengetahui jenis kelamin anak itik yang baru ditetaskan itu. Jika raja itu dapat meramalkan jantan betinanya, ketiga buah kapal beserta isinya menjadi miliknya.
Sebaliknya, jika tidak berhasil, Kerajaan Indera Maya menjadi milik juragan kapal itu.
Pak Belalang dititahkan raja untuk memecahkan persoalan yang pelik itu. la memutar otaknya dan ilham baru muncul.
Lalu, ia berkayuh menuju ketiga kapal tersebut. Maksudnya untuk mendengarkan apa saja yang dipercakapkan oleh juragan kapal itu dan istrinya.
Kebetulan pula percakapan suami istri itu sekitar jawaban tentang jantan betinanya anak itik yang akan dinujum oleh Pak Belalang. Setelah merasa memperoleh jawaban persoalan tentang anak itik itu, akhirnya si juragan kapal mengakui kemangkusan ilmu Pak Belalang.
Suatu ketika datang pula tujuh buah kapal. Nakhodanya membawa sebuah kayu yang panjangnya kira-kira sehasta. Bentuknya bulat serta licin.
Nakhoda kapal minta agar Raja Indera Maya menentukan yang mana ujung dan pangkal kayu aneh itu. Teka-teki kayu bulat panjang itu juga diserahkan kepada Pak Belalang untuk dicarikan jawabannya.
Dengan taktik yang terdahulu, Pak Belalang pergi berenang-renang menghampiri kapal itu. Niatnya sama, yaitu untuk mencuri dengan apa yang dipercakapkan oleh juragan kapal itu dengan istrinya.
Tidak disangka-sangka percakapan mereka juga sekitar jawaban teka-teki mengenai ujung dan pangkal kayu itu.
Setelah Pak Belalang menemukan apa yang dicari, ia pun pulanglah dengan amat girang. Pak Belalang makin dikagumi orang, termasuk Raja Indera Maya, karena kehebatannya menujum.

Masjid Jamek, Chenderiang. (credits: blogger)
Selang beberapa lama, masuk lagi sebuah kapal Perdana Menteri Askalan Rum ke dermaga. Perdana Menteri itu ingin menghadap baginda dan memohon agar dinujum di mana berada putri Baginda Askalan yang hilang diculik orang.
Tugas ini juga dipikulkan oleh Raja lndera Maya ke pundak Pak Belalang.
Atas takdir Allah, melalui mimpi Pak Belalang beroleh petunjuk dari Nabi Allah, Khaidir. Sang Nabi membisikkan “bacaan” cara menujum tempat putri Raja Askalan itu.
Kali ini Pak Belalang juga bernasib mujur. Berkat wangsit Nabi Khaidir itu. Pak Belalang berhasil memboyong pulang putri itu ke pangkuan ayahandanya, Baginda Askalan.
Syahdan, pada suatu hari Baginda Halban Condong mengajak Pak Belalang berpesiar naik gajah ke dusun durian. Sambil menikmati keindahan alam, sekonyong-konyong masuklah seekor anak belalang ke genggaman baginda.
Seketika itu baginda ingin menguji ilmu terus mata Pak Belalang untuk menujum apa yang ada dalam genggamannya itu.
Pak Belalang terperangah karena ilmu ramalannya sesungguhnya memang tidak ada. Baginda murka karena raut muka Pak Beiaiang menunjukkan keragu-raguan.
Si ahli ramal palsu yang selalu mujur ini menangis dan di pelupuk matanya terbayang anaknya, si Belalang. Ratapnya dengan suara yang terisak-isak, “Matilah aku, … tinggallah engkau, Anakku, … Belalang!”
Ketika mendengar Pak Belalang menyebut nama si Belalang, hatinya amat sukacita karena yang dipegangnya itu memang seekor anak Belalang. Karena itu, Pak Belalang terlepas dari marabahaya.
Pak Belalang sudah menjadi orang kaya berkat pekerjaannya sebagai ahli nujum.
Namun, hatinya selalu khawatir dan waswas kalau suatu waktu baginda mengetahui kepandaian nujumnya hanya karena kebetulan balaka.
Kemudian, ia membakar rumahnya dan berpura-pura menangisi musibahnya itu dihadapan haginda. Katanya, ilmu nujumnya tidak manjur lagi karena kitab-kitabnya sudah hangus termakan api.*
*Kisah ini dinukil dari Buku “Cerita Jenaka” oleh Raja Haji Yahya, Sastrawan Melayu yang lahir pada pertengahan abad ke-19 dan wafat sekitar awal tahun 1930-an, berasal dari Chenderiang, negeri Perak Darul Ridzuan, Malaysia.

