Amuk “Salindang Mirah” Di Tungkal (1)

Daulat

January 20, 2025

Jon Afrizal

Ilustasi Selendang Merah. (credits: mardigrasspot)

Dikisahkan tentang sebuah masjid di Bram Itam. Tentang para Tuan Guru yang memimpin rakyat. Dengan selendang berwarna merah menyilang di tubuh. Sewarna darah yang mengalir di tubuh setiap manusia. Sebagai kehidupan yang harus terus bergerak, di Kuala Tungkal. Redaksi kisahkan kembali, dalam dua tulisan, untuk pembaca Amira.

KUALA Tungkal adalah kota lama. Kota yang kini adalah ibukota Kabupaten Tanjungjabung Barat ini terhubung pada jalur perdagangan antara Jambi, Indragiri, dan Selat Melaka. Pada itu, agama Islam berkembang.

Semangat Pan Islam yang telah berkembang sejak era 1900-an di Nusantara, adalah sumber kekuatan utama untuk melawan ketertindasan dari kolonialisasi Belanda.

Efek lanjutan dari Perang Banjar (1863 –1906), antara Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan dengan Belanda, karena monopoli perdagangan batu bara oleh Belanda, telah membuat banyak warga Banjar di sepanjang Sungai Barito untuk Madam Ke Jambi’.

Sebuah jalur lama, yang telah mereka kenal. Dari Sungai Barito menuju gugusan pulau-pulau kecil di Selat Melaka, dan akhirnya sampai ke Kuala Tungkal.

Tungkal adalah muara, pertemuan aliran Sungai Tungkal atau yang juga dikenal dengan nama: Sungai Pengabuan, dengan perairan Selat Melaka.

Satu catatan kolektif yang masih diingat penduduk lokal, adalah kedatangan 16 orang suku Banjar dari Kalimantan Selatan pada tahun 1902. Dan dilanjutkan dengan kedatangan 56 orang lainnya.

Mereka masuk dari Selat Melaka menuju ke Sungai Tungkal. Lalu, terus menuju ke arah dalam ke kawasan gambut di Bram Itam.

Hubungan kekerabatan antara Tungkal dengan Kesultanan Johor telah terjadi sejak tahun 1700-an. Yang terkait dengan sejarah peperangan segitiga antara Kesultanan Jambi dengan Kesultanan Johor dan Kesultanan Indragiri.

Dimana, pada masa perdagangan lada, Tungkal adalah pelabuhan yang diperebutkan, sebagai pintu keluar masuk perdagangan.

Masjid Pasar Rebo Bram Itam. (credits: lektur kazanah)

Hubungan kekerabatan ini, kemudian masih terus berlangsung. Hingga suatu masa, ketika terjadi agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1949, dan pada saat yang sama Johor, Malaysia sedang berperang melawan komunis yang ingin berkuasa.

Salindang Mirah atau Salindang Habang adalah di Kuala Tungkal. Sebutan dalam dialek Banjar untuk Barisan Selendang Merah (BSM). Dan, pasukan Belanda (KNIL) kala itu pun menggunakan baret berwarna merah.

Sementara, Tentera Sabil Selempang Merah (TSSM) atau Angkatan Selendang Merah (ASM) juga sedang sama-sama berjuang di Johor dan membantu askar Melayu di Kuala Lumpur. Dengan pola yang sama, menyelempangkan Selendang Merah ke tubuh mereka.

Dan, akan terlihat perbauran antara kedua kekuatan para militer rakyat ini, di Kuala Tungkal dan Johor.

Islam adalah sebuah kesatuan, yang bukan hanya menjadi sebuah keyakinan individu saja. Tapi juga rasa kesamaan. Ini adalah semangat Pan Islam yang muncul pada masa itu.

Mengutip Cheah Boon Kheng dalam bukunya Red Star Over Malaya, adalah Abdul Qadir Jailani, pemimpin tarekat Qadiriyah, yang mana Panglima Salleh bin Abdul Karim termotivasi untuk membentuk Tentera Sabil Selempang Merah. Kala itu, gerakan ini disebut juga Pergerakan Melayu Semenanjung (PMS).

Dari Bagan, mereka menyerang kekuatan komunis yang terpusat di Batu Pahat.

Panglima Salleh dikenal dengan “Ayat Empat”, sebuah amalan yang bersumber dari al-Qur’an, yang kerap digunakan oleh penganut tarekat di sana. Dan, “Ayat Empat” itu juga yang kemudian digunakan oleh para askar Selempang Merah untuk berperang melawan komunis.

Panglima Salleh juga adalah orang yang membawa ajaran “Wirid Khaujakan” di Johor.

Maka, para kyai yang memimpin gerakan ini, juga biasa disebut Tuan Guru. Yakni sebuah sebutan penghormatan yang biasa digunakan oleh penganut tarekat untuk menyebutkan imam atau pemimpin di sebuah kelompok.

Kembali ke Kuala Tungkal. Dari sebuah masjid di Pasar Rebo Bram Itam, masjid itu kini disebut dengan nama “Masjid al-Istiqomah”. Dengan bangunan yang masih cenderung asli, sama seperti bangunan awal yang diperkirakan dibangun tahun 1918.

Masjid yang terletak di di Desa Pantai Gading, Kecamatan Bram Itam itu, kini menjadi cagar budaya, melalui Keputusan Bupati Tanjungjabung Barat nomor 8/Kep.Bup/DIKBUD/2023 tentang “Cagar Budaya Kabupaten Tanjungjabung Barat”.

Masjid Pasar Rebo Bram Itam didirikan oleh dua tokoh ulama. Yakni; Kyai Abdul Wahab dan Kyai Abdurrahman Siddiq (Tuan Guru Sapat). Selanjutnya, satu dari putera kedua kyai ini, yakni Kyai Muhammad Ali Wahab, diwasiatkan untuk melanjutkan kegiatan keagamaan di masjid ini.

Kyai Abdul Wahab adalah anak dari Syekh Muhammad Ismail Bin Syekh Muhammad Thahir Al-Alabi Al-Banjari. Kyai Abdul Wahab memiliki banyak kerabat di Kampong Tongkang Pecah, Batu Pahat, Johor Bahru, Malaysia. Yang berasal sama dari Kalimantan Selatan, dan adalah juga suku Banjar.

Pembelajaran dari Kyai Salleh, akhirnya mencetuskan perlawanan yang sama. Dimana beberapa askar Tentera Sabil Selempang Merah kemudian menularkan perjuangan mereka di Masjid Pasar Rebo Bram Itam, dan menyusun rencana bersama kaum pribumi Tungkal.

Masjid adalah markas. Yakni sebagai tempat berkumpul. Dan, hingga kini, kata “markas” masih digunakan oleh para penganut beberapa aliran dalam agama Islam sebagai kata penunjuk tempat atau kata lain dari masjid.

Dan pada masjid itu, ditularkan rasa kesamaan perjuangan. Meskipun, harus diakui, memuat persaingan positif antara Salindang Mirah Kuala Tungal dan Tentera Sabil Selempang Merah di Johor, yang sedang sama-sama berjuang.*

avatar

Redaksi