Banjir Di Jambi Era Kolonial
Lingkungan & Krisis Iklim
February 3, 2025
Jon Afrizal/Kota Jambi
Banjir di Jambi tahun 1931. (credits: Universiteit Leiden)
1931. Pada tahun itu, Kota Jambi tercatat pernah mengalami banjir. Ini sepertinya, mungkin saja, adalah dokumentasi pertama tentang banjir di Kota Jambi, secara visual.
Sebab, belum ditemukan dokumentasi visual terkait banjir di Kota Jambi di era sebelum tahun itu. Jika pun mungkin ada, adalah cerita lisan, yang patut untuk dicermati tahun tepatnya kejadian.
Pada tahun yang sama, 1931, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) atau Royal Dutch Airlines membuka rute penerbangan Amsterdam – Batavia seminggu sekali. Rute ini dibuka dengan menggunakan enam pesawat terbang.
Pada saat itu Kota Jambi berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan disebut: Residen Jambi. Tanggal pasti terjadinya banjir masih belum jelas.
Namun, beberapa catatan berbahasa Inggris menggunakan kata disaster (bencana) untuk kondisi banjir 1931. Meskipun, tidak diketahui, apakah terdapat korban jiwa atau tidak.
Beberapa catatan berbahasa Belanda yang ditemukan hanya menyebutkan tahun “1931”. Dan belum juga diketahui apakah banjir itu terjadi berulang kali atau hanya satu kali saja.
Juga, belum diketahui berapa luasan wilayah yang digenangi banjir kala itu.
Banjir kala itu, kira-kira setinggi 30 centimeter. Adalah sama, atau dapat dikatakan rata-rata tinggi air banjir yang kerap terjadi sejak tahun 2000-an. Yakni setelah prosesi penggundulan hutan-hutan di Provinsi Jambi dilakukan.
Jika ingin merujuk kepada jabatan pemimpin, maka masa itu Keresiden Jambi dipimpin oleh Residen J.R.F Verschoor Van Niesse (1928-1931). Ia adalah Residen Jambi yang ke-10.
Dan, Residen Jam bi ke-11, W.S. Teinbuch (1931-1933), yang memperbaiki jika ada kerusakan, baik bangunan ataupun jalan, juga fasilitas publik, yang terjadi akibat terjangan banjir pada tahun 1931 itu.
Banjir di Jambi tahun 1931. (credits: Universiteit Leiden)
Dari visualisasi Universiteit Leiden, banjir menyerang sekitaran kota. Tepatnya, tidak beberapa jauh dari rumah Residen. Tidak terdapat laporan bahwa rumah Residen juga ikut diserang banjir.
Rumah Residen Jambi, adalah yang kini menjadi Rumas Dinas Gubernur Jambi di Jalan Raden Pamuk.
Yang diserang banjir adalah gedung sekolah dan perkantoran. Yakni di wilayah yang sekarang disebut Jalan Raden Mattaher, dari kantor Brimob, yang sewaktu era kolonial adalah Kantor Residen, hingga menuju ke Rumah Sakit Bratanata, yang pada masa kolonial disebut “ziekenhuis”.
Kawasan ini, adalah kawasan Kota Lama, tempat pemerintahan kolonial berpusat. Atau, yang bias disebut dengan seputaran kawasan Pasar Kota Jambi saat ini, menuju ke arah kawasan Tanjung Pinang dan Talang Banjar.
Beberapa photo memotret Sungai Maram, yakni sungai terdekat dengan pusat pemerintahan kala itu. Juga, memotret Sungai Batanghari yang melintas tepat di seberang rumah Residen Jambi.
Selain itu, juga terdapat Danau Sipin saat ini, yang adalah waduk alami dari sekian banyak anak sungai di kawasan Sipin dan Telanaipura. Tertera tulisan “Soengai Sipin” untuk aliran itu.
Kota Jambi, dilintasi oleh aliran Sungai Batanghari, dengan panjang sekitar 800 kilometer. Sungai Batangari bersumber dari Gunung Rasan (2585 mdpl), Nagari Aie Dingin, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat.
Hulu Sungai Batanghari hingga ke Danau Di Atas, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, dan mengalir ke selatan sampai ke wilayah Sungai Pagu.
Aliran sungai ini melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Yakni Kabupaten Solok Selatan, dan Dharmasraya.
Banjir di Jambi tahun 1931. (credits: Universiteit Leiden)
Juga, melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jambi. Yakni Kabupaten Bungo, Tebo, Batanghari, Kota Jambi, Muarojambi, dan Tanjungjabung Timur.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari adalah DAS terbesar kedua di Indonesia. Dengan sekitar cacthment area (daerah tangkapan air) seluas 44.710 kilometer persegi.
Selain itu, Sungai Batanghari memiliki sungai-sungai lain yang mengalir ke dalamnya.
Yakni; Batang Gumanti, Batang Bangko, Batang Sangir, Batang Momong, Batang Pangian, Batang Timpeh, Batang Siek, Batang Jujuan, Batang Tebo, Batang Tabir, Batang Tembesi, dan seterusnya.
Dengan kondisi ini, adalah masuk akal jika Kota Jambi mengalami banjir pada tahun 1931 itu.
Tetapi, tentu saja, tidak dapat menjadi pembenaran, bahwa banjir yang sama tetap terjadi hingga saat ini, adalah karena sebab geografis saja.
Karena, pertumbuhan penduduk, penggundulan hutan secara ugal-ugalan dan mengkonversinya menjadi perkebunan sawit skala besar belum lah terjadi di era kolonial.*