“Nanggap Jaran Kepang” Di Kayu Aro
Budaya & Seni
December 2, 2024
Jon Afrizal
Pementasan atraksi Kuda Lumping (Nanggap Jaran Kepang) di Kayu Aro Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. (credits: youtube)
PADA mulanya, di kitaran tahun 1925-an, masyarakat di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur didatangkan ke Kerinci, oleh pemerintah kolonial Belanda. Dikarenakan kegigihan dalam bekerja, mereka dipekerjakan sebagai Koeli Kontrak.
Mereka bertugas membuka lahan perkebunan di daerah Kebon Baru. Yakni sebuah areal di Lekuk 50 Tumbi Gunung Raya.
Namun pekerjaan membuka lahan perkebunan itu terhenti karena para pemuka adat di sana merasa keberatan. Sebab, areal yang hendak diubah jadi perkebunan itu adalah kawasan hutan lebat.
Hutan itu adalah daerah tangkapan air dan huluan dari Sungai Lempur. Air dan alirannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengairi sawah masyarakat Gunung Raya.
Sehingga, mengutip M. Sholikul Huda dalam Strategi Etnis Jawa Di Era Desentralisasi, Belanda pun membuka lahan baru di kawasan yang sekarang disebut Kayu Aro. Dengan menambah lagi jumlah pekerja, yang didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara itu, beberapa Kepala Keluarga (KK) yang telah ada di sana tetap tinggal di Kebon Baru. Hingga hari ini, persebaran keturunannya telah menyebar hingga ke wilayah Batang Merangin.
Wilayah perkebunan teh Kayu Aro dibuka oleh perusahaan Belanda Namlodse Venotchaaf Handle Veriniging Amsterdam (NVHVA) pada tahun 1925 . Proses pembukaan areal perkebunan ini membutuhkan waktu tiga tahun, yakni dari tahun 1925 hingga 1928.
Sedangkan penanaman perkebunan teh pertama dimulai pada tahun 1929, dan pabrik Teh Kayu Aro didirikan pada tahun 1932.
Koeli Kontrak dari Pulau Jawa didatangkan secara dua gelombang. Setelah kedatangan di tahun 1925, gelombang terakhir adalah pada tahun 1937.
Kedatangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur ini, seperti yang dinyatakan oleh Friska Muflihun Soleh dalam History Of Java Ethnic Migration In Kayu Aro District, Kerici, Jambi, adalah berhubungan dengan kebijakan pemerintahan kolonial untuk pembangunan perkebunan dan desa inti.
Desa inti pertama dibangun pada tahun 1905 di Gegongtataan. Lalu, di Wonosobo pada tahun 1921.
Seterusnya di Way Semangka. Dan pada tahun-tahun berikutnya berlanjut ke banyak daerah, termasuk Palembang dan Jambi.
Gunung Kerinci (3.805 mdpl), dilihat dari Kersik Tuo, Kayu Aro, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. (credits: google maps)
Pekerja dari Jawa yang menjadi Koeli Kontrak, kala itu, disebut Jakon (Jawa Kontrak).
Mereka inilah yang selanjutnya diberikan hak untuk mengelola tanah. Sebagian dari mereka diberikan rumah-rumah yang berada di dalam areal perkebunan.
Hingga hari ini, rumah-rumah itu masih berdiri. Umumnya adalah rumah dari kayu, dan semi permanen.
Dipilihnya Kayu Aro sebagai areal perkebunan oleh pemerintah Belanda, adalah berdasarkan topografi Kabupaten Kerinci yang berupa pegunungan dan perbukitan, dengan ketinggian antara 500 hingga 1.500 mdpl. Dengan iklim di rata-rata sejuk dengan suhu 16 hingga 32 derajat Celcius.
Saking mencintai dan rasa “memiliki”, Belanda kerap menyebut kawasan ini dengan sebutan Our Own Land, dalam bahasa Inggris.
Daerah Patok Empat adalah daerah awal pemukiman orang-orang Jawa, yang selanjutnya menyebar ke daerah-daerah lainnya. Disamping dipekerjakan sebagai penanam teh, ada juga sebagian dari orang-orang Jawa yang menjadi pengurus pabrik.
Bagi pengurus pabrik atau tenaga administratif, disediakan rumah-rumah oleh pengelola perkebunan. Setiap dari mereka tersebar ke delapan afdeeling (distrik).
Akibatnya, hingga kini, generasi tua penduduk Kayu Aro masih akrab dengan sebutan afdeeling ketimbang desa.
Adapun penduduk Jawa di Kayu Aro, hingga hari ini, memang tidak membedakan ragam budaya Jawa yang bermacam ragam untuk mendefinisikan anggota komunitas Jawa di sana.
Meskipun, mereka terafiliasi secara genealogis maupun sosial dengan budaya Jawa, yang dicirikan dengan atribut-atribut umum orang Jawa. Seperti; bahasa, dialek, warna kulit, bentuk wajah, dan seterusnya.
Persebaran masyarakat Jawa di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi secara mayoritas berada di dua lokasi. Yakni di Kerinci Hilir, di Kecamatan Batang Merangin, dan di Kerinci Mudik di Kecamatan Kayu Aro, Kayu Aro Barat, dan Kecamatan Gunung Tujuh.
Sementara, mengutip BPS Kerinci tahun 2010, penduduk Jawa di Kayu Aro berjumlah 36.513 jiwa, dan di Batang Merangin sejumlah 23.057 jiwa.
Orang Jawa Kerinci di Kayu Aro selalu berusaha untuk memelihara adat dan budaya aslinya. Meskipun tidak sama persis, tetapi usaha mereka tampak jelas untuk mengupayakan agar budaya mereka adalah sama layaknya orang Jawa di pulau Jawa.
Dalam hal ritual adat, misalnya. Masyarakat Jawa di Kerinci selalu menyelenggarakan upacara Malem Siji Suro (malam 1 Syuro) untuk memperingati tahun baru Jawa/Hijriyah.
Masyarakat Jawa juga menyelenggarakan acara Sedekah Bumi atau slametan untuk keselamatan desa.
Terkait upacara tertentu, misalnya, pernikahan orang Jawa Kerinci di Kayu Aro, masyarakat pun Nanggap Jaran Kepang (mementaskan kesenian Kuda Lumping). Kerap kali, pementasan ini dihadiri oleh masyarakat di sekitarnya, meskipun dari suku yang berbeda.
Sehingga, pembauran, dalam hal ini, adalah hal yang telah lama ada.
Dalam kesehariannya, penduduk menggunakan bahasa Jawa dan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, antar orang Jawa di Kerinci. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko, yakni bahasa Jawa tingkat rendah dan bahasa Jawa bagi sepantaran.
Sedangkan, untuk acara-acara adat tertentu misalnya penyampaian maksud dalam kenduri Sedekah Bumi digunakan bahasa Kromo Inggil, yakni bahasa Jawa tingkat tinggi.
Pun ketika saat berada di masjid dan mushala. Hingga hari ini, masih banyak ditemui, ceramah dari para ustadz adalah menggunakan bahas Jawa Kromo Inggil.
Namun, penggunaan bahasa Kromo yang biasa digunakan oleh masyarakat Jawa di pulau Jawa untuk menghormati orang tua atau orang lain, jarang ditemukan.
Begitu juga saat orang Jawa berbicara dengan wong kampung (sebutan oleh orang Jawa Kerinci untuk penduduk Kayu Aro yang berasal dari suku Kerinci) mereka menggunakan bahasa Jawa. Atau, kadang juga menggunakan bahasa dialek Kerinci Siulak.
Dapat dikatakan, bahasa Jawa di Kayu Aro sudah menjadi bahasa keseharian bagi penduduk. Meskipun suku bangsanya berlainan sama sekali.
Bahkan, penggunaan bahasa Indonesia hampir jarang ditemui. Sebab, masih terdapat penduduk yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan fasih.*