Ketika Hukum Ditetapkan Di Bhumi Kurinci
Hak Asasi Manusia
July 24, 2024
Jon Afrizal
Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang menggunakan aksara Melayu. (credits: Uli Kozok)
“Ini anugerah titah Sanghyang Kemitan kepada penguasa di Bumi Kerinci sepanjang Kerinci, beserta hulubalang, para patih, pemuka agama, punggawa, …… perkampungan pendatang, desa-desa, daerah bawahan, jangan tidak taat kepada dipatinya masing-masing. Barang siapa tidak taat pada dipati didenda dua seperempat tahil. Bila penghulunya panggil rapat desa dia tidak turun, tidak turun dia ke rapat desa, memancing keributan, didenda satu seperempat tahil.”
NASKAH Tanjung Tanah, berbeda dengan banyak naskah-naskah era lampau lainnya yang ditemukan di Sumatera. Naskah ini tidak ditulis dengan menggunakan huruf Jawi, melainkan memakai aksara pasca-Palawa yang masih serumpun dengan aksara Jawa Kuno.
Aksara ini, kenyataanya, masih belum diteliti dengan sempurna. Namun, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa aksara yang paling mirip adalah aksara yang digunakan pada prasasti-prasasti Adityawarman yang bertuliskan aksara Malayu, sesuai dengan istilah yang diciptakan De Casparis.
Sementara naskah-naskah Melayu pada umumnya, yang hingga kini diketahui, hampir semuanya menggunakan kertas, baik kertas Arab maupun kertas Eropa.
Sedangkan naskah Tanjung Tanah, berbeda, karena tidak ditulis pada kertas Arab atau Eropa. Melainkan ditulis pada kertas daluwang.
Kertas dluwang (daluang atau jeluang) adalah kertas yang dibuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar. Daluang adalah sebutan untuk tumbuhan Broussonetia papyrifera maupun produknya, yang berupa lembaran dari pepagan (kulit kayu) yang dipakai sebagai bahan untuk berbagai keperluan.
Kertas ini digunakan oleh masyarakat di pulau Jawa sejak abad ke-7, terutama di Ponorogo. Selanjutnya berkembang pesat pada periode sejarah Islam. Kertas ini digunakan sebagai pengganti kertas lontar yang sebelumnya digunakan sebagai media tulis.
Kertas daluang ponoragan telah dipakai untuk menulis naskah kuno kerajaan-kerajaan Nusantara, menulis Al-Qur’an di pesantren, dan bahan baku wayang.
Uli Kozok, ahli bahasa Indonesia dari Universitas Hawaii dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua” menyatakan bahwa naskah Tanjung Tanah dikeluarkan oleh kraton Dharmasraya, yang juga dikenal sebagai kerajaan Malayu, pada abad ke-14 Masehi. Undang-Undang ini bertujuan untuk menetapkan hukum dan aturan di bhumi Kurinci (tanah Kerinci).
Karena ditulis dalam aksara Sumatra Kuno pra-Islam, maka, katanya, ini adalah manuskrip Melayu tertua yang masih ada. Jika, katanya, hasil analisis karbon-14 dikaitkan dengan data-data sejarah, maka kemungkinan besar bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis pada paruh kedua abad ke-14.
Terbukti oleh penanggalan secara radiokarbon, naskah Tanjung Tanah berusia seratus tahun lebih tua daripada naskah yang selama ini dianggap sebagai naskah Melayu tertua. Yakni, kedua surat Sultan Abu Hayat dari Ternate yang berhuruf Jawi; dengan tahun 1521 dan 1522 Masehi.
Jika dikaitkan dengan penggalan sejarah perdagangan, maka adalah tidak mungkin jika kerajaan Melayu pra Islam yang berfokus pada perdagangan dengan dunia luar tidak mengembangkan tradisi pernaskahan.
Dan, naskah ini juga menjelaskan budaya tulisan di Pulau Sumatera. Yang telah hadir sejak menggunakan batu bapahek sebagai prasasti Suroasu hingga penggunaan kertas dluwang pada naskah ini.
Sejauh ini, masih terdapat anggapan bahwa aksara hanya digunakan di Sumatera era lampau dengan menggunakan batu sebagai media tulisan saja. Dan, dengan temuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah ini, diketahui bahwa peradaban di era Melayu Dharmasraya pun telah menggunakan kertas dluang sebagi media tulisan.
Yang, tentunya, bersamaan ataupun juga berhubungan dengan peradaban tulisan di kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa pada masa itu.
“Terdapat kesinambungan sejarah penulisan dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam. Bahwa keberaksaraan, juga dalam bentuk tradisi pernaskahan, telah kokoh berakar di alam Melayu sebelum masuknya agama Islam ke kawasan Nusantara,” demikian ditulis Uli Kozok.
Mengutip M. Ali Surakhman di laman kemdikbud, naskah Undang-Undang Tanjung Tanah berbahan kertas dluang ini ditemukan pertama kali oleh Petrus Voorhoeve, seorang pegawai bahasa era Kolonial Belanda pada 1941.
Berdasarkan laporan Petrus Voorhoeve itu, naskah Tanjung Tanah lalu dicatat sebagai salah satu daftar naskah kuno Kerinci berkategorikan tambo Kerinci oleh Koninklijk Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde (KILV) di Leiden, Belanda.
Selanjutnya, Uli Kozok yang berkunjung ke Kerinci pada tahun 1999 hingga 2004. Kunjungan ini bertujuan untuk meneliti paleografi aksara pada naskah di Sumatra.
Uli Kozok mendapatkan naskah Undang-Undang Tanjung Tanah berbahan kertas dluang ini pada bulan Juli 2002. Ia mendapatkannnya dari seorang penduduk di Tanjung Tanah, Mendapo Seleman, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Sungai Penuh.
Sama sepeti laporan Petrus Voorhoeve, naskah itu tidak terdampak oleh perang, revolusi, kobaran api, atau gempa bumi. Sehingga masih dalam kondisi “baik” dan “dapat dibaca”.
Buku Uli Kozok ini, adalah lebih lengkap dari laporan Petrus Voorhoeve. Pada waktu itu, Petrus Voorhoeve melaporkan bahwa naskah ini adalah sebagian beraksara rencong, dan halaman lainnya beraksara Jawa Kuno.
Sementara, Uli Kozok dengan penelitiannya, secara lengkap menyatakan bahwa naskah Undang-Undang Tanjung Tanah adalah naskah Melayu tertua yang pernah ditemukan, dan meneliti tentang hukum dan aturan yang tetapkan di bhumi Kurinci.*