“Sodakoh Kupat” Melintasi Jaman

Hak Asasi Manusia

April 17, 2024

Jon Afrizal/Ungaran, Jawa Tengah

Suasana “Sodakoh Kupat” di Wujil, Ungaran, Jawa Tengah. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

05.30 WIB. Tak lama setelah pelaksaan sholat Subuh, bedug dan kentongan di Mushola Nurul Jannah, Wujil, Ungaran dipukul pelan, teratur dan terus menerus. Dari pengeras suara mushola diumumkan bahwa pagi ini akan dilakukan “Sodakoh Kupat”. Bagi siapapun warga yang hendak ikut, dipersilahkan untuk hadir.

Satu per satu warga mulai mendatangi. Umumnya laki-laki.

Tangan mereka membawa nampan atau rantang. Isinya adalah ketupat dan lauk pauk. Seperti opor ayam dan dendeng daging sapi, dan tak lupa juga kerupuk.

Pukul 05.45, “Sodakoh Kupat” pun dimulai. Diawali dengan pembacaan tahlil dipimpim oleh imam mushola dan diikuti oleh seluruh jemaah yang hadir.

Setelah itu, makan bersama. Masing-masing jemaah membuka makanan yang mereka bawa. Terkadang, mereka saling bertukar lauk pauk.

Setelah makan bersama, makanan yang belum sempat dimakan akan dipertukarkan oleh masing-masing jemaah. Untuk dibawa pulang, bagi anggota keluarga yang tidak sempat ikut “Sodakoh Kupat”.

“Sodakoh Kupat” atau “Kupatan” atau “Syawalan” dilakukan pada hari ketujuh di bulan Syawal. Tradisi ini, umum dilakukan oleh penganut Islam di Pulau Jawa.

Mengutip arrahim.id, “Syawalan” adalah upacara selamatan. Yakni pengutamaan budaya persamaan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan antar sesama penganut Islam. Yang dapat dilihat dari duduk bersama dan makan bersama, serta saling berbagi.

Sementara pemilihan hari ketujuh di bulan Syawal, adalah sebagai Bakdo Cilik (hari raya kedua). Yakni setelah umat muslim melakukan ritual puasa enam hari pada bulan Syawal.

Kupat (ketupat), bagi masyarakat Jawa selalu dikaitkan dan berkaiatan dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga lah yang berperan mentradisikannya.

Kupat adalah permaknaan dari ngaku lepat (mengakui kesalahannya). Yakni upaya untuk saling meminta dan memberi maaf sesama manusia.

Kupat yang berisi beras yang dimasak hingga berbentuk kenyal ini dibungkus dengan janur daun kelapa. Yang dimaknai dengan sejatine nur (nur sejati). Atau, dapat pula diartikan dengan ja’a nur (telah datang cahaya).

Ini melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan selama bulan suci Ramadhan. Sehingga secara pribadi mereka kembali kepada kesucian manusia (fitrah) yang bersih seperti bayi yang baru lahir.*

avatar

Redaksi