Pak, Aku Pulang
Budaya & Seni
April 16, 2024
Tunggal Rajani
RINTIK hujan dinginnya menusuk tulang geliga. Di stasiun, kereta api terakhir, subuh ini. Sembari menunggu jemputan.
Kelelahan menempuh perjalanan. Jauh. Tiga hari perjalanan panjang menuju: senyum bapak.
Aku telah sangat lama merantau. Meninggalkan kenangan indah bersama bapak. Sejak 20 tahun lalu.
Kini, kulitnya mengkeriput, matanya lamur menatap, rambutnya tak lagi penuh, dan giginya mulai keropos.
Tongkat besi yang selalu ia bawa berkeliling rumah. Yah, hanya di dalam rumah saja.
Asbak di rumah selalu bersih. Bapak tidak lagi membakar rokok kretek. Juga tidak lagi menyeruput kopi panas.
Komplikasi penyakit telah menghuni tubuhnya sejak tiga tahun terakhir.
“Kamu pulang, nduk,” kata bapak.
Lebaran kali ini, adalah lebaran yang sebenarnya bagiku. Sejak aku remaja, aku telah berada di perantauan. Dan sejak itu juga, sosok bapak tidak pernah hadir di saat Lebaran.
Hari ini adalah hari terakhir berpuasa Ramadhan. Ketika kami; aku, suamiku dan anakku mencium tangan bapak.
Bapak menciumi anakku. Cucunya, dimana darah yang mengalir di tubuh anakku adalah juga darahnya.
“Sini, le, duduk sama simbah,” kata bapak.
Aku seperti sedang menunaikan janjiku sendiri. Ambisi yang selalu ada setiap saat, ketika di perantauan. Untuk bersama bapak di hari Lebaran.
Bunyi bedug takbiran, dan petasan yang bersahutan, menyesak di dadaku. Malam ini.
Ini adalah malam takbiran. Aku teringat ketika ku tinggalkan kota kecil ini. Berurai tangisanku di dalam kendaraan menuju perantauan. Menatap jendela belakang bus yang seperti tega meninggalkan bapak jauh di belakang.
Bapak, bagiku adalah istimewa. Ia yang kerap menyisir rambutku sewaktu aku kecil. Sambil berpesan, “Jagalah martabatmu.”
Bapak juga yang menemaniku olahraga setiap pagi. Aku mengendarai sepeda roda dua mengitari persawahan yang luas membentang di pinggiran kota.
Sementara, bapak, berlari di sampingku.
Hari ini adalah hari Lebaran. Dan bapak semakin terlihat lelah.
Setegar apa pun aku di perantauan, ternyata ketegaran itu luluh lantak, di sini.
Memang, keputusanku untuk pulang kali ini, adalah untuk bapak. Sehingga, meskipun kota ini menyajikan pemandangan yang indah, tapi tidak ada keindahan lain selain duduk bersama bapak.
Sambil bercerita tentang banyak hal yang ringan dan lucu. Seolah mengisi waktu-waktuku yang kosong sebelumnya, tanpa bapak.
Aku merasa hampa. Dan, limbung. Mungkin, ini adalah yang terakhir.
Tetapi, semoga saja tidak.
Sementara kewajban terhadap pekerjaan yang tertunda karena liburan, menunggu kami di tanah rantau. Seolah tak mengerti dan tak pernah ingin mengerti.
Hingga tiba saat untuk pergi; pulang ke tanah rantau.
Pagi itu dingin. Air pegunungan yang tertumpah jatuh di tubuhku.
Dingin.
Sedingin hatiku.
Mungkin, ini adalah kali terakhir aku melihat bapak. Dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun, dan dengan jauhnya jarak yang terbentang antara kami.
“Doa bapak tak pernah putus untukmu, nduk.”
Kedua matanya menatapku. Meskipun pandangannya kabur. Tatap mata merindu.
Dan, aku, hanya mampu berharap. Sama seperti harapan, ketika ku kuatkan niatku untuk menjenguk bapak.
Tapi, kereta api tak mau menunggu lagi. Meskipun hanya sekejap. Melaju terus membelah alam. Hening, dan dingin.
Doa terbaik untuk bapak.*
Kisah ini adalah fiksi. (Redaksi)