Berdamai Dengan Hujan
Budaya & Seni
May 5, 2023
Jon Afrizal
SETIAP hujan datang, aku selalu teringat kepadamu. Sebuah kenangan yang hingga tahun-tahun berlalu pun tak bisa ku lupakan. Setiap hujan datang.
Malam ini hujan datang lagi. Membawaku menelusuri indahnya wajahmu di photo berframe hitam yang hingga kini masih ku simpan di lemariku. Ya, setiap hujan datang.
“Datanglah ke pestaku besok,” katamu waktu itu.
Oh. Aku telah jauh tertinggal di rentetan kisah hidupmu, rupanya. Bahkan aku tak lagi bisa mengenali potongan rambutmu yang biasanya tergerai sebahu itu.
Tentu saja aku tak datang. Mestikah ku tunjukan kepura-puraanku kepadamu, ayahmu, ibumu serta adik-adikmu? Kepada lelaki klimis yang akan duduk disampingmu, mengisi hari-harimu selanjutnya? Tidak.
Waktu yang terus berjalan telah membawaku kepada seorang gadis manis berjilbab merah muda. Begitulah, setiap saat ketika kami bertemu, ia selalu mengenakan jilbab berwarna sama.
Sebenarnya ini bertentangan dengan naluri kelaki-lakianku. Aku menyukai wanita berbusana konvensional, maksudku, tak berjilbab. Tapi waktu dan ruang dapat mengubah apapun.
Tepat sekali, ketika kami berdua dikurung hujan lebat dan berteduh di sebuah toko buku yang biasa kami kunjungi di setiap akhir pekan. Aku ingat kamu.
Mataku tak lagi tertuju ke buku-buku yang tersusun rapi di rak, melainkan jauh menembus kaca jendela toko itu. Berbaur dengan hujan yang seolah turut merasa kehilangan dirimu, seperti aku.
“Buku ini sepertinya cocok untukmu,” suara lembutmu memecah kenanganku.
Engkau memberikan padaku sebuah buku tentang teori bumi datar. Sungguh, aku tersentuh, engkau telah berusaha keras untuk mengerti aku.
Tapi, aku dan hujan itu, dan kamu, serta pertarungan segala macam teori tentang kiri dan kanan, yang berakhir pada segelas kopi pahit yang kita minum berdua secara bergantian? Tuhan, maafkan aku.
Hujan datang kala itu ketika aku bertandang ke rumahmu malam itu. Air kopi pahit dalam mug hitam tinggal terisi setengahnya saja. Dingin.
“Aku akan melanjutkan kuliahku ke kota lain,” katamu seiring guntur dan petir meraung di langit seperti menyambar tubuhku yang kurus.
Pupus.
Aku adalah orang yang tak pernah percaya dengan hubungan jarak jauh. Jarak pun kian terbentang di antara kita berdua. Menjauh. Dan semakin menjauh.
Lalu ku dengar engkau telah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Pada suatu ketika di saat kita bertemu, aku tak bertanya. Engkau pun sepertinya enggan untuk menjelaskannya.
“Bang, jadwal makan siang ini,” rengekmu setelah selesai berurusan dengan kasir toko buku itu.
Hujan telah reda. Ada pelangi membentang indah di langit kota. Indah, seindah wajahmu yang hanya bermake up seadanya. Tuhan, oh, celakanya aku.
Gadis berjilbab merah muda ini, dan seluruh tingkahnya kian menyudutkanku.
Ia makan dengan tenang dan diam. Sudut mataku tak pernah sedikitpun lepas dari wajahnya. Wajah yang dapat membuat Ken Arok pun tertunduk malu.
“Jaga mata itu,” katamu sambil tersenyum, setelah selesai makan. Ampun, ketahuan juga.
Semakin tersudutlah aku. Tak tahu hendak bicara apa. Tapi engkau begitu pintar mencairkan suasana.
“Setelah kau baca buku itu, aku ingin membacanya,” katamu. “Tidak untuk mempercayainya, tapi hanya sekedar menambah wawasan.”
“Untuk apa? Engkau sudah cukup menawan,” kataku seolah salah dengar.
Engkau pun tersipu malu. Senyummu dikulum lipgloss.
“Ada yang akan ku ungkapkan padamu, tapi tidak untuk saat ini,” kataku sambil mengangkat gelas kopi dan menyeruput isinya. Seakan ingin menelan seluruh kenangan.
Engkau hanya diam. Tertunduk. Seolah menyelami sudut terdalam di hati dan pikiranku.
Malam itu, saat hujan datang. Aku berkunjung ke rumahmu. Dengan sinar lampu di ruang tamu yang menyipitkan mataku seperti beban berat di mulutku yang harus ku utarakan.
“Enak kah kopi buatanku? Maukah ku buatkan untukmu setiap hari?” candamu.
“Emm, boleh juga,” kataku.
Hujan tak lagi lebat di luar sana. Tapi rinainya masih terdengar lembut, selembut tatapan matamu.
Ku kuatkan hatiku. Ini saat yang ku tunggu. Tak peduli apapun hasilnya.
“Begini,” kataku gugup.
Memperbaiki posisi duduk.
Menelan ludah berkali-kali, dan melanjutkan pembicaraan, “Maukah engkau mengisi masa mudaku dan menjadi tua bersamaku?”
“Menasehati anak-anak kita ketika mereka nakal, dan membacakan dogeng kepada mereka sebelum mimpi membalut malam?”
Jantungku kian berdegub kencang bagaikan tambur yang dipukul berulang-ulang. Mataku makin sipit tak mampu melawan cahaya lampu, dan rinai hujan seperti memperdengarkan irama aneh yang berasal dari negeri antah-berantah.
Engkau lama terdiam.
Aku.
Sunyi.
Hanya bunyi rinai hujan. Menetes satu per satu.
Menit demi menit.
Lalu, “Katakan itu pada ayahku,” katamu.
Tuhan, seolah tulang-tulang di tubuhku luruh semuanya.
“Baiklah,” kataku berusaha menyembunyikan perasaan senang.
Dan malam ini, saat hujan datang, ku telungkupkan photomu itu. Sekuat niatku berdamai dengan hujan. Dengan masa lalu.
Aku sudah terlalu lelah untuk menapaki rintik hujan. Biarkan ku pinang gadis berjilbab merah muda ini, sebagai tempat untuk berlabuh selamanya. *