Legenda Datuk Sipin
Budaya & Seni
March 16, 2023
Jon Afrizal
“Dulu, dulu sekali. Sewaktu itu orang belum menamai suku dan bangsa. Sewaktu itu, matahari belum pernah bertemu bulan.”
Demikian kisah dimulai, tepat saat anjing melolong mengidikkan bulu roma, malam itu. Mata mulai terbelalak, setelah gelas kopi yang airnya telah habis itu, dibalikkan. Asap dupa kemenyan digantikan tembakau keretek.
Dari dua belah bibir itu, mengurailah sebuah cerita.
Tersebutlah seorang pengelana, yang kemudian disebut anak keturunannya sebagai “Datuk Sipin”.
Ia adalah seorang environmentalist. Ia suka berkelana ke banyak tempat, yang sewaktu itu adalah hutan, dan suka berdialog dengan Pohon Tembesu.
Datuk Sipin memakan apa yang secara tulus diberikan oleh alam. Ia hanya mengambil secukup isi perut mengeluarkan sendawa.
Hari itu, siang dan terik, dan Datuk Sipin sedang berada di tengah semak belukar, atau yang kini diistilahkan sebagai hutan sekunder.
Ia melihat perdu yang biasa dinamai dengan “Markisa Hutan”, yang dalam bahasa ibunya disebut “Keletup”.
Dipetiknya satu buah Keletup yang berukuran sebesar ujung kuku jempol orang dewasa itu. Berwarna kehijauan, di antara duri-duri.
Ketika buah Keletup itu hendak ia gigit dengan geliginya yang putih itu, maka, tanpa disangka, buah Keletup berubah menjadi seorang perempuan muda.
Rambut perempuan itu lurus lujur berwarna hitam pekat. Alisnya bersusun selayak iringan semut berjalan, bibirnya ranum selayak warna merahnya bunga kembang sepatu, matanya bulat sesempurna bulan kala purnama.
Datuk Sipin terkesima, dan diam tak bicara.
Kisah punya cerita, Datuk Sipin pun menikahi Puteri Keletup, demikian si perempuan kemudian disebut, tanpa saksi tak berwali.
Mereka memiliki tiga belas orang anak dan tiga belas orang cucu. Dan, sewaktu itu, belum dikenal penamaan sebuah tempat pun.
Datuk Sipin adalah seperti laku cenayang. Ia mampu melihat, melalui instingnya, ke sekian ribu tahun ke depan.
Selayak guru silat, ia hanya memilih satu dari tiga belas orang anaknya, sebagai orang yang dianggap pantas mengemban seluruh isi pikirannya yang jauh ke ribuan tahun ke depan itu.
Selayak Paulo Freire, ia menyatakan bahwa pendidikan adalah pembebasan. Sehingga, ia pun mengajarkan nalar sebagai penyeimbang insting kepada murid sekaligus anaknya itu.
Ia telah melihat, bahwa masa depan penuh dengan konflik, termasuk konflik kepentingan dan konflik tenurial.
Maka, diajaknyalah anaknya itu, yang kemudian diwajibkan untuk menggunakan nama yang sama dengannya, ke sebuah sungai kecil untuk memancing ikan Betok.
Ikan Betok dipancing dengan menggunakan tajur yang berasal dari rambut Puteri Keletup, dan duri perdu Keletup sebagai kailnya.
“Umpannya adalah niat,” demikian Datuk Sipin berkata kepada anaknya.
Menjelang umpan dimakan Ikan Betok, Datuk Sipin pun menuliskan sebuah traktat. Berupa berbagai perjanjian untuk sesama anaknya. Tujuannya agar tidak bertikai antara satu dengan lainnya.
Traktat itu ditulisnya dengan menggunakan ujung kuku dari jari telunjuk, di atas air yang mengalir. Tujuan Datuk Sipin, yang berpikiran maju ke ribuan tahun ke depan itu, sangat jelas.
“Sampai dimanapun air ini mengalir, maka di sanalah ujung pencarianmu,” katanya.
Itu artinya, sejenis batas wilayah, jika kita menggunakan pola pembagian batas kabupaten/kota saat ini.
Akhir dari air yang mengalir itu adalah yang kini dikenal dengan Danau Sipin. Tetapi, Datuk Sipin telah melihat jauh ke ribuan tahun ke depan.
Maka, karena air itu menetes ke (sungai) Batanghari dan terus menghilir hingga ke Laut China Selatan, seolah “pencarian” anak-anaknya “tanpa ujung”.
Meskipun, selanjutnya, terdapat satu kawasan bernama Sipin Ujung, tetapi, tetaplah awalan dari itu semua, adalah tempat dimana Datuk Sipin dan anaknya memancing Ikan Betok tadi.
Tetapi, seorang yang melihat jauh ke ribuan tahun ke depan tentunya tidak sebanding dengan tiga belas orang anaknya yang hanya manusia biasa itu. Itulah sifat para guru silat, yang tidak bisa untuk menurunkan satu ilmu sebagai “penutup” bagi muridnya.
Bukan, bukan karena Datuk Sipin tidak mau. Melainkan muridnya yang tidak sanggup menerima beban ilmu tadi.
Selepas hari menjelang makan siang, Datuk Sipin bersama anaknya pun pulang. Mereka membawa tiga belas ikat Ikan Betok. Masing-masing ikat berisi tiga belas Ikan Betok.
Puteri Keletup pun memasak ikan itu, dibantu oleh anak-anaknya. Para cucunya mendapat peran mencari ubi jalar dan merebusnya.
Siang itu, setelah makan siang, setelah sendawa berbunyi. Datuk Sipin jatuh terkulai, mangkat.
“Kuburku adalah kubur Pohon Tembesu. Tempat Burung Hantu berbunyi.” Demikian terjemahan bebas dari tempat Datuk Sipin dimakamkan.
Satu pesan yang selalu diingat dan diikuti para anak keturunannya, adalah “Jangan sebut namaku sebagai sebuah kesombongan.”
Maka, hingga hari ini, tidak ada satu pun anak keturunannya mau mengaku sebagai trah Datuk Sipin. Mereka hanya diam.
Namun, ada pesan yang lain yang juga diikuti para anak keturunannya, yaitu, “Hak adalah hak dan jangan mengelakkan hak.”
Sehingga, meskipun kawasan Sipin kini telah terpaksa bernama aneh, yaitu “Pertigaan Berbentuk Perempatan Sipin”, namun, si anak yang muridnya tadi, yang juga bergelar dan tersebut sebagai Datuk Sipin, juga telah menurunkan ingatan tentang tempat Datuk Sipin memancing Ikan Betok sesuai kisah itu.
“Hiduplah selayak Pohon Tembesu. Lebarlah kanopi seiring akar tunjang yang dibantu akar serabut.”
Demikian pesan terakhir yang disebut Datuk Sipin. Bahwa, tak seorang pun dilarang untuk berteduh di bawah rindangnya pohon. Bahwa semakin besar sebuah pohon, akan semakin kuat dia berdiri.
Bahwa satu akar tunjang tak akan mampu untuk mencari makan. Tetap dibutuhkan akar serabut.
Bahwa hidup hanyalah sebatas perut yang kenyang mengeluarkan sendawa. Setelah itu mati. Mirip dengan kematian Sang Datuk Sipin, awal dari trah Sipin dan guguk Sipin.
Sungguh, betapa bijaksananya Datuk Sipin yang berpikiran melihat jauh ke ribuan tahun ke depan itu.*
Artikel ini pertama kali diterbitkan di kilasjambi.com