Pak Kumis Dan Nancy

Budaya & Seni

June 11, 2023

Tunggal Rajani

PAK Kumis tertidur di sudut ruangan. Suhu kamar yang hangat membuat ia betah berlama-lama menggelungkan badannya. Sementara di balik tirai jendela, tetes hujan merintik dari senja tadi.

“Sudahlah. Sepertinya kita tidak jadi keluar malam ini.” Terdengar seorang wanita, berusia 50-an tahun berbicara pelan kepada Pak Kumis. Seperti sedang meminta maaf, karena mereka tidak jadi pergi sore ini. Sebab, sudah menjadi kebiasan mereka, untuk berjalan-jalan menikmati udara sore, berdua. Mungkin dua hari, atau tiga hari sekali.

Nancy, perempuan yang berbicara itu, sedang duduk bersila di atas tempat tidurnya. Sambil menggerakan jari-jarinya di laptop, sesekali ia membetulkan letak kacamatanya yang turun menuju pertengahan batang hidungnya.

Nancy adalah seorang penulis novel populer. Ia telah menjalani profesi ini lebih dari 15 tahun lamanya. Banyak genre novel yang ia tulis, dan dengan banyak nama yang ia gunakan. Sebab,ia tidak begitu peduli dengan nama. Tergantung, agency yang membayar tulisannya.

Tapi, jika engkau adalah penikmat novel lokal, engkau akan mendapati beberapa nama yang punya arti sama, baik itu dalam bahasa lokal maupun dalam bahasa asing : kucing.

Pak Kumis, yang bersama Nancy, adalah seekor kucing jantan. Ia adalah kucing lokal, dan tidak pernah terlibat dalam dunia certificate.

Pak Kumis telah dipelihara oleh Nancy selama sekitar tiga tahun lamanya. Ini adalah kucing yang kesekian yang telah dipelihara Nancy, silih berganti. Kucing-kucing sebelumnya telah jatuh sakit dan mati, sesuai dengan batas usia mereka.

Pak Kumis diadopsi Nancy dari sebuah sudut jalan di kota ini. Sewaktu itu, Pak Kumis terlihat berbaring lemah, mungkin karena pertempuran antar kucing. Sebut saja ini adalah sebuah kemungkinan, karena tidak ada penyelidikan terkait alasan yang tepat mengapa Pak Kumis terbaring lemah, sementara seekor kucing yang lebih besar berlari pergi ketika Nancy datang ke tempat itu.

Tetapi, Pak Kumis jauh berbeda dengan kucing-kucing lainnya. Hanya Pak Kumis yang  diadopsi ketika berusia dewasa. Selebihnya, diadopsi Nancy sejak dari usia sangat muda, atau mungkin baru terlahir beberapa hari saja.  

Sehingga, adalah kerepotan tersendiri bagi Nancy dalam menghadapi tingkah polah Pak Kumis. Pak Kumis mengasah kuku dimanapun ia suka. Dan juga menyemprotkan air berbau pesing dimanapun. Juga, suka menggali-gali areal manapun  di rumah, atau tepatnya ruangan kamar mereka. Maka, tempat yang sama yang pernah ia gali pun akan kembali dikotorinya.

“Pak Kumis sudah berusia dewasa. Hingga sulit ku ajari,” gumam Nancy suatu waktu.

Tetapi, Nancy adalah seorang penyabar. Ia begitu sabar menghadapi kenyataan, yang bahkan aku sendiri pun tak sanggup untuk menjalaninya.

Aku mengenal Nancy di sebuah agency. Sesekali bertegur sapa, dan sesekali bertukar cerita, hanya cerita remeh temeh saja. Nancy, yang selalu menggendong kucing setiap datang ke agency.

Dari beberapa orang sahabat, aku mendengar tentang kehidupan Nancy, sekitar 20 tahun yang lalu. Ketika pada suatu malam semua orang terteriak kata yang sama: kebakaran.

Nancy, suaminya dan tiga orang anaknya yang masih balita berada di sebuah rumah yang tengah dikelilingi lidah api. Membara, dan seolah menerangi langit di atas gang kecil tempat mereka tinggal.

Empat unit rumah terbakar dan saling menyambarkan api. Dan, raungan mobil pemadam kebakaran seolah tidak pernah hilang dari benak Nancy. Hingga kini.

Demi Tuhan, haruskah juga ku ceritakan bahwa, di rumah mereka, kini hanya tinggal Nancy yang masih ada?

Dengan sedikit uang yang tersisa, Nancy pun berjuang untuk tetap waras dan dan hidup sebagaimana mestinya. Butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk itu. Dan butuh banyak kucing yang ia gendong dan dekap, silih berganti. Juga tetesan air mata.

Sewaktu masih utuh, keluarga Nancy adalah penyayang kucing. Tepatnya, ia dan suaminya. Dengan nama-nama yang mereka berikan, dengan beragam warna dan perawakan yang datang silih berganti.

Itu menjadi alasan mengapa hanya kucing yang ia pelihara hingga hari ini. Dan, bersyukur, Nancy tidak lagi terpuruk dalam kepedihan dan isakan.

Nancy, adalah wanita tegar. Sosok yang dapat mengalahkan dirinya sendiri. Terkadang, aku berpikir begitu.

Emosi dalam diri Nancy tercurah melalui jari-jarinya. Menjadi novel-novel, yang mungkin engkau juga pernah membacanya. Menjadi penyembuh kepedihan masa lalunya.   

Nancy menggantungkan hidupnya dari bayaran novel yang ia tulis. Dengan waktu kerja selama tujuh hingga 10 jam di depan laptop setiap hari, ia dapat menyelesaikan novel atau novellete setiap dua atau tiga bulan sekali. Atau mungkin juga cerita pendek.

Dengan pola kerja yang demikian, terkadang Nancy lengah. Wajar saja, adalah sifat manusia untuk lengah.

Sewaktu itu jendela kamar terbuka. Nancy ingin agar udara masuk ke kamar sembari ia bekerja. Sebab terlalu banyak air conditioner tentu saja tidak baik bagi kesehatannya.

Mungkin sekitar tiga jam, mungkin. Ketika Nancy menyadari bahwa sedari tadi ia tidak mendengar suara Pak Kumis.

Panik. Nancy memanggil nama Pak Kumis. Bergerak dari segala sudut di ruangan kamar. Lebih dari 15 menit.

Hingga akhirnya ia melihat ke jendela yang terbuka.

Tepat di belakang kamar mereka adalah kebun milik pemilik bangunan. Tak begitu terawat, meskipun beberapa sayuran dapat saja dimanfaatkan setiap hari.

Nancy, mulai gemetar. Panik dan merasa bersalah. Ia melangkah mengitari kebun itu. Hingga sepasang kakinya menuju ke tembok pembatas, dan terdapat rerumputan hijau.

Di sana, ia melihat, kucing berwarna hitam kecoklatan, dengan warna putih di bagian kepalanya, sedang sibuk menggali-gali dan menutupi sesuatu di bentangan rumput hijau.

“Pak Kumis. Oh, dear.” Suara Nancy terdengar lemah. Ia menangis.

Nancy pun menggendong Pak Kumis. Membawanya kembali ke kamar. Dan menutup kembali jendela yang terbuka.

“Berjanjilah, untuk tidak pergi lagi,” kata Nancy kepada Pak Kumis.*

Kisah ini adalah fiksi. Nama-nama tokoh dan kejadian adalah fiksi. (Redaksi)

avatar

Redaksi