Di Rumah Aina

Budaya & Seni

May 21, 2023

Novita Sari

AKU tidak pernah berpikir untuk hidup di rumah orang asing selama bertahun-tahun, tanpa ikat kekeluargaan, bahkan belum mengenal sama sekali sebelumnya. Kau tahu, tidak ada yang lebih menyedihkan dari memiliki keluarga yang gagal, sedang kau harus terus hidup, bekerja, dan terlihat baik-baik  saja.

Kukira aku sudah kehilangan semuanya jauh sebelum aku lahir, sampai semua itu membawaku menginjakkan kaki ke rumah ini. Rumah yang cukup besar untuk ditinggali dua orang, aku dan seorang nenek tua bernama Aina. Saat pertama kali menginjakkan kaki kesini, dengan tatapan kosong aku memperhatikan tiap sudutnya. Pohon alpukat besar bagian belakang, pohon pisang sembatu tumbuh subur di samping rumah, kumpulan kayu bakar yang berjejer rapi, tiga batang cabe rawit putih, daun sirih yang memanjat dinding, sereh, dan pohon belimbing wuluh yang berbuah lebat.

Dua hari setelah kamar kos ku dimaling oleh orang-orang sialan saat tengah malam tempo hari, seorang tetangga mengenalkanku dengan nenek Aina  yang baru genap 40 hari ditinggal mati suaminya. Aku tidak pernah membayangkan untuk berpindah ke rumahnya, tapi berkat permintaan tetangga itu, aku luluh juga.

Hidup bersama perempuan tua tidak semenyenangkan yang aku pikir, memang aku dapatkan tempat tinggal yang layak, kasur yang empuk, fasilitas mencuci dengan mesin, bahkan makanpun aku tak repot memasak. Setiap pagi, jam 06.00 wib selalu ada sarapan yang tersedia, kadang nasi goreng kecap, bakwan jagung, godok-godok pisang, atau ubi rebus. Tidak ada yang salah, kecuali rasanya yang hambar mengikuti lidah seorang perempuan tua.

Tidak hanya itu, lauk makan siang di rumah ini juga bisa ditembak. Sayur lodeh dengan potongan terong dan kol, kangkung terasi, sup kentang dan wortel, serta sambal tahu dan tempe sesekali. Tidak ada masalah sebenarnya, aku juga bisa menyesuaikan, lidah orang susah sepertiku sudah dapat menangkap apa saja yang masuk ke dalam mulut dan mendorongnya masuk perut. Hanya kebiasaannya yang memasak tanpa gula dan penyedap yang membuat semuanya terasa aneh.

Perbincangan kami di rumah hanya sebatas basa-basi pertanyaan tentang pekerjaanku, apakah nenek sudah makan hari ini, atau yang paling sering membicarakan berita di televisi yang sawang sinawang berganti. Tentang pencurian, pemerkosaan, kebakaran, atau korupsi. Lebih dari itu, aku hanya lebih sering melihat nenek Aina duduk di ruang tengah, pada sebuah kursi tua bermotif bunga berwarna merah. Tatapannya seringkali kosong, matanya menerawang, seperti ada banyak hal dikepalanya yang mengajak bercerita.

Aku hanya tidak menyangka akan menuliskan ini, sebuah pengakuan yang kutulis sendiri setelah aku membunuhnya begitu saja. Setelah hampir 3 tahun tinggal di rumahnya, sore hari di bulan Maret, angin bertiup cukup kencang, cuaca di luar gelap seakan segera turun hujan, aku mengasah pisau petok di dapur. Sejak 1 jam yang lalu, nenek Aina duduk di kursi memandang foto besar mendiang suaminya yang dipajang di ruang tengah. Aku tahu dan paham, ia benar-benar ingin menyusulnya, maka kubantu untuk segera mewujudkan itu.

Kau pasti bingung, bukan? Seseorang yang menumpang dengan tega membunuh orang yang sudah membantunya, mengizinkan rumahnya untuk ditinggali, bahkan tak sedikitpun kau membaca cerita miring tentang nenek Aina sejak awal tadi. Itulah masalahnya, kau terlalu cepat memberikan penilaian, tanpa tahu apa yang sebenarnya ada di balik ini.

Aku membunuhnya dengan menggorokkan pisau yang sudah kuasah, kugorok begitu saja saat dia belum lagi menoleh kearahku. Pelan-pelan sekali, aku menikmati kuncuran darah di lehernya, disertai bau amis, dan suara-suara sengau pesakitan. Ini bukan sesuatu yang sulit, apalagi aku sering melihat adegan itu dalam film. Pisau itu jatuh ke lantai tak lama setelah tubuh perempuan itu terkulai lemas di lantai.

Akan kuceritakan padamu, duduklah, kau perlu mendengarnya sebentar. Nenek Aina dulunya adalah gadis biasa, dia tinggal di desa Lolo Kecil, Kab. Kerinci. Dulu dia adalah gadis yang paling banyak disukai oleh pemuda di kampung itu, akan tetapi satu-satunya yang ia kasihi hanya Paiman. Seorang pemuda desa sebelah yang sering lewat di desa itu, karena membantu orang tuanya bertanam kopi.

Hingga kabar kedekatan keduanya terdengar di telinga orang tua Aina, ada satu kebiasaan tak tertulis disana, sebagai bagian dari ketinggian martabat keluarga, ialah menikahkan anaknya dengan mereka yang berbaju dinas. Sedangkan Paiman, jauh dari itu semua, ia hanya seorang pemuda biasa. Maka kabar itu dibalas dengan perjodohonan Aina dengan Ripin, seorang pegawai di kantor pemerintahan Kabupaten. Pernikahan itu tidak dapat ditolak Aina, semua keputusan ada pada ninik mamak keluarga besarnya, hingga pernikahan di helat besar-besaran, tarian rentak kudo digelar selama tiga hari tiga malam. Ia pun diboyong hidup di Kota karena Ripin dipindahtugaskan kesana.

Sedangkan Paiman, ia harus nelangsa mendengar kabar itu, selama bertahun-tahun ia hidup dalam kemurungan, tidak ada lagi terang di wajahnya. Sejak terakhir kali bersungut-sungut melihat Aina dibalik pepohonan ketika pesta pernikahan, Paiman seakan bersumpah untuk tidak akan menyentuh perempuan manapun. Hingga ia akhirnya dinikahkan juga dengan seorang perempuan bernama Minah, mereka berdua lalu keluar dari desa dan menyambung hidup di kota.

Tidak ada cinta yang lahir dari keterpaksaan, meski Paiman sudah berusaha untuk menerima semuanya, akan tetapi semua tetap tidak berjalan dengan baik. Paiman malas-malasan bekerja, bahkan sejak putri pertamanya lahir, ia seperti acuh dengan anak itu. Lama kelamaan mulai terjadi cek-cok dan pertengkaran, hingga kedua suami istri itu saling membunuh. Di hadapan bayi yang berumur 7 bulan itu, darah-darah mengalir, segala jerit menusuk telinganya, yah, bayi itulah penulis cerita ini. Kupikir ini tidak terlalu berlebihan, apalagi ini hanya untuk membayar tahun-tahun sulit yang pernah kurasakan.*

Tulisan ini adalah karya fiksi. Nama tokoh, tempat, dan kejadian adalah fiksi (redaksi).

avatar

Redaksi