Alam Dan Struktur Adat Orang Serampas

Inovasi

December 13, 2025

Aulia Tasman gelar Depati Muara Langkap*

Seorang anak perempuan di Serampas. (credits: Serampas Beyond the River)

“Nenek moyang Orang Serampas adalah Nenek Sigindo Balak dan Nenek Tigo Silo.”

SERAMPAS adalah nama komunitas masyarakat adat yang tinggal di lima desa sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

David Neidel dalam kajiannya yang berjudul “The Garden of Forking Paths: History, Its Erasure and Remembrance in Sumatra’s Kerinci Seblat National Park” menyebutkan bahwa negeri Pamuncak Tengah (: Alam Serampas) mempunyai sejarah Panjang. Ini terlihat dari “Buku Stambuk (ledger book) Tanjung Kasri” yang diperkirakan telah berusia lebih dari 800 tahun, atau diperkirakan sekitar tahun 1173 Masehi.

Bahwa daerah ini telah memiliki wilayah dengan kepemimpinan secara adat yang hidup dalam komunitas yang masih berpencar. Artinya dalam kurun waktu tersebut masyarakat Serampas ini telah mulai hidup menetap dalam bentuk komunitas kecil yang berpencar di antara dusun-dusun. Sedangkan sebelumnya, hidup jauh lebih tua lagi ribuan tahun yang lalu, telah ada manusia yang hidup secara nomaden dan tinggal di goa-goa batu.

Profesor Dominik Bonatz dari Universitas Free Berlin dan beberapa peneliti yang melakukan penggalian benda-benda arkeologis di sekitar Renah Kemumu menyebutkan bahwa desa-desa di Serampas telah dihuni oleh manusia sejak lama. Diperkirakan antara abad ke-11 hingga abad ke-13 masehi, Orang Serampas telah mendiami wilayah ini.

Nenek moyang Orang Serampas yang paling dikenal adalah Nenek Sigindo Balak yang dimakamkan di Tanjung Kasri dan Nenek Tigo Silo yang dimakamkan di Renah Kemumu.

Sebelum adanya Undang-undang Pemerintahan Desa (UU No. 5/1979), desa yang dihuni Orang Serampas tergabung dalam sebuah ikatan yang disebut marga Serampas. Daerah ini lama terisolir dari pusat kota kabupaten. Akses jalan mulai lancar baru beberapa tahun terakhir.

Akses menuju Desa Renah Alai adalah yang paling dekat jika dijangkau dari Kota Bangko, ibukota Kabupaten Merangin. Dari Bangko menuju desa Renah Alai hanya berjarak 97 kilometer. Sementara jarak yang memisahkan antara satu desa dengan desa lainnya di Serampas berkisar hanya antara 5 hingga 15 kilometer.

Saat ini orang Serampas tinggal di desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tiga desa yang pertama lokasinya terdapat di pinggiran TNKS. Sementara dua desa terakhir terletak di dalam kawasan TNKS.

Dulunya Serampas hanya terdiri atas tiga desa saja, yaitu Renah Alai, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tambahan dua desa yang baru; Lubuk Mentilin dan Rantau Kermas, berasal dari desa Renah Alai yang belakangan berkembang menjadi tiga desa otonom yang terpisah.

Suasana di Serampas. (credits: Serampas Beyond the River)

Menurut Annabel Gallop, dokumen “Piagam Serampas” berisi fatwa-fatwa kerajaan yang meliputi tiga kategori. Yakni; persoalan batas-batas milik pusaka penerima dari dekrit itu, urusan pemerintahan dan pencacahan hukum harus ditegakkan, dan hukuman untuk pihak yang melanggar aturan ini, dan, daftar hak prerogative kerajaan, dengan menyertai daftar hukuman untuk ketidak-kepatuhan.

Keberadaan Orang Serampas tak dapat dipisahkan dengan sejarah Jambi yang dulu merupakan satu kerajaan besar Sumatera bagian tengah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar dengan gelar Sultan Agung Seri Ingalaga, ia menerbitkan piagam-piagam sebagai pengakuan batas wilayah adat suatu marga.

Piagam-piagam ini akhirnya menjadi barang peninggalan pusaka bagi setiap kalbu (kemudian berubah menjadi: marga). Begitupula halnya dengan Orang Serampas yang memiliki beberapa piagam dari pihak Kesultanan Jambi.

Saat ini, kehidupan orang Sarampas tidak jauh berbeda dengan komunitas masyarakat lain yang ada di provinsi Jambi, namun masyarakat Serampas dalam pemanfaatan ruang wilayah mempunyai kearifan sendiri. Orang Serampas membagi tanahnya sesuai dengan penggunaannya masing-masing.

Kebijakan adat yang diimplementasikan melalui konsep “tanah ajum tanah arah” ini memiliki peranan penting bagi kehidupan Orang Serampas. Mereka menyakini bahwa tanah adalah warisan dari nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan.

Sistem pengelolaan lahan seperti ini adalah gambaran bagaimana mereka menjaga kekompakan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat. Depati sebagai pemimpin adat Serampas memiliki peran penting dalam mengatur masyarakat untuk menguasai lahan sesuai dengan kebutuhan. Dengan konsep ini tidak ada monopoli kepemilikan lahan bagi Orang Serampas.

Pembagian lahan dengan sistem ini mencakup daerah mana yang diperbolehkan dijadikan lahan untuk berladangan dan lahan untuk mendirikan rumah.

Bagi Orang Serampas “tanah ajum” berarti tanah yang diperbolehkan dibuka untuk areal pemukiman penduduk. Sementara “tanah arah” diartikan sebagai lahan yang diperbolehkan dibuka sebagai tempat berkebun dan berladang.

Adapun kriteria lahan untuk berkebun dan berladang adalah yang berada di daerah datar dan berada tidak berada jauh dari aliran sungai. Tanah dengan kondisi basah untuk areal persawahan sementara tanah kering untuk berladang. Semua itu diatur dengan baik oleh depati di Serampas.

Kearifan lokal yang dipertahankan Orang Serampas sangat khas dan unik. Selain menerapkan sistem pengelolaan lahan berupa “tanah ajum tanah arah”, Orang Serampas juga dilarang keras menebang kayu di hulu sungai dan di lembah yang curam. Ini diyakini dapat mengakibatkan bencana alam.

Selain itu, mereka juga tidak dibenarkan menjual lahan kepada orang dari luar Serampas. Apabila itu terjadi, maka orang yang menjual maupun yang membeli akan diusir dari Serampas. Sementara tanah yang diperjualbelikan akan diambil alih oleh desa atau anak negeri.

Sistem Adat

Marga adat Serampas dipimpin oleh depati. Ada beberapa depati yang menangani penduduk di lima desa yang tergabung dalam marga Serampas. Depati adalah orang yang ditunjuk untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan adat isitiadat.

Aktifitas penduduk di Serampas. (credits: Serampas Beyond the River)

Penganugerahan gelar depati di daerah ini sudah ada sejak tahun 1759. Hal itu dibuktikan dengan adanya “Piagam Renah Kemumu” yang dikeluarkan oleh Sultan Jambi, Sultan Anum Seri Indalaga Ahmad Zainuddin.

Adapun depati yang memiliki posisi tertinggi di Serampas adalah Depati Seri Bumi Putih Pemuncak Alam. Dalam menjalankan tugasnya Depati Seri Bumi Putih Pamuncak Alam dibantu oleh seorang depati di setiap desa.

Yakni; Depati Karti Mudo Menggalo memimpin dusun Renah Alai, Rantau Kermas, dan Lubuk Mentilin, lalu, Depati Singo Negoro memimpin Tanjung Kasri, dan, Depati Pulang Jawo memimpin Renah Kemumu.

Menurut satu dari catatan detail yang teruji, pada masa lalu masing-masing wilayah yang termasuk dalam adat Serampas mempunyai pimpinan adat sendiri yang terdiri dari enam depati dan sepuluh ninik mamak. Namun dari lima dusun yang marga Serampas yaitu Dusun Tanjung Kasri, Renah Kemumu, Lubuk Mantilin, Rantau Kermas dan Renah Alai, dusun Renah Kemumu adalah dusun yang secara adat mempunyai kelembagaan yang teratur.

Dimana atas tiga dusun utama: Dusun Tanjung Tilan, Dusun Tanjung Menuang dan Desa Tanjung Agung, masing-masingnya mempunyai “balai adat”, dan diperintahkan oleh satu atau beberapa depati – semuanya dibawah pimpinan Depati Pulang Jawa. Sebagai dusun induk berkembang, kelompok orang-orang dusun yang mempunyai ladang pada jarak secara signifikan jauh membentuk dusun kecil yang dikenal dengan “talang”.

Dusun-dusun ini mempertahankan hubungan dengan desa asli tetapi diperintah oleh “ninik mamak”. Pengecualian untuk peraturan ini adalah Dusun Tanggo Betung, yang karena jaraknya terpencil dari dusun-dusun lain, diperbolehkan mempunyai depati sendiri.

Menurut adat yang terbiasakan sejak dulu, negeri Serampas mempunyai adat yang kuat, dan di samping itu mereka juga mempunyai ikatan yang kuat dengan negeri-negeri disekitarnya, khususnya dengan negeri Lempur Kerinci. Dikarenakan adanya hubungan sejarah dan keterkaitan leluhur dengan khususnya Lempur menyebabkan dua komunitas adat ini mempunyai sistem kekeraban yang hampir mirip.

Suatu hal yang sangat dekat hubungan kekarabatan itu adalah mengenai sistem adat dan pemerintahan adat. Dikarekana terdapatnya hubungan leluhur antara kedua belah pihak, sehingga dalam pelaksanaan adat sering saling membantu satu dengan lainnya.

Secara kelembagaan, komunitas adat Serampas jauh lebih dulu eksis dibandingkan dengan komunitas adat Lempur (: Lekuk 50 Tumbi Lempur) yang secara otonomi mempunyai hak wilayat adat setelah pemekaran dari wilayah kedepatian Rencong Telang pada pertengahan abad ke 18 Masehi. Dimana pada waktu itu Depati Talago, atas nama Depati Rencong Telang, memekarkan wilayahnya untuk diberikan kepada masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

Sehingga sewaktu penobatan Depati Agung pertama maka untuk penentuan batas-batas wilayah yang akan diberikan kepada kedepatian Lekuk 50 Tumbi Lempur, Depati Talago mengundang Pamuncak Alam Serampas, Sungai Tenang dan Tamiai untuk berunding. Sehingga disepakatilah wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur yang tertuang dalam naskah yang disebut “Ingat Inang Depati Agung”, yang berisi batas-batas wilayah untuk kedapatian baru Lekuk 50 Tumbi Lempur.

Sejak saat itu, Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur secara aktif menjemput gelar-gelar depati dan ninik mamak dari wilayah Rencong Telang, Muara Langkap, Sribumi Putih (Serampas) dan Purwo Menggalo (Sungai Tenang) untuk disangkutkan di lembaga adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Penjemputan gelar adat ini terdiri dari tiga macam sifat kelembagaan sesuai dengan “balai” tempat menjemput gelar adat.

Ketiga balai itu mempunyai sifat yang berbeda.

Suasana di Serampas. (credits: Serampas Beyond the River)

Pertama, setiap gelar adat yang dijemput dari Balai Perangin di Tanjung Banuang, seperti Depati Pulang Jawo, Depati Parbo, Depati Permai, dan lainnya mempunyai sifat “bunga sekaki kembang dua” (:  gelar-gelar itu digunakan di dua kelembagaan adat pada waktu yang bersamaan), artinya gelar itu bisa langsung disangkutkan di Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tanpa harus menjemput kembali setelah pemakaiaannya. Dan ada pula yang digunakan untuk sekali pakai saja, kalau ingin memakai pada periode berikutnya harus dijemput kembali ke Balai Perangin.

Sebagai catatan, gelar Dapati Parbo hingga penelitian oleh Zainal Arifin tahun 2002 ternyata masih digunakan di Lembaga Adat Serampas di Renah Kemumu. Padahal pada akhir abad ke 19 sudah dijemput oleh Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur dan digunakan satu pemakaian di Lempur, kemudian akhir tahun 1800-an di bawa ke Lembaga Adat Lolo hingga saat ini.

Kedua, gelar-gelar adat yang dijemput dari Balai Pandak (Bunta) di Tanjung Tilan, maka gelar-gelar adat itu mempunyai sifat semuanya “bunga sekaki kembang dua”, digunakan di dua lembaga adat yang berbeda dan selamanya akan tersangkut langsung di Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, tanpat harus menjemputnya kembali. Depati-dapati yang masuk dalam kelompok ini antara lain Deapati Cahaya Negeri, Depati Mudo Jaremeh, Depati Karamo, Depati Kertau, Dapati Singo Lago dan lainnya.

Ketiga, gelar-gelar adat yang dijembut dari Balai Panjang di Tanjung Alam mempunyai sifat hanya digunakan sekali di satu tempat yang berbeda. Jika masa pemakiannya sudah berakhir maka gelar-gelar itu akan kembali dengan sendirinya ke Balai Panjang, dan apa bila ingin menyandangkan kembali, maka gelar itu harus dijemput kembali.

Sifat lainnya adalah tidak digunakan di dua tempat, jika sudah dibawa ke Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur maka tidak tidak boleh disandang di Alam Serampas atau Alam Sungai Tenang pada waktu yang bersaman. Gelar-gelar adat ini antara lain Depati Naur, Depati Suto, Depati Gento Nyalo dan lainnya.

Namun perubahan mendasar yang terjadi sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang “pemerintahan desa”, yang menyebabkan sistem pemerintahan adat dibekukan dan tidak digunakan lagi.

Konsekuensinya, adalah, sejak itu banyak lembaga-lembaga adat yang tidak berfungsi lagi di Alam Serampas, Sungai Tenang bahkan di Alam Kerinci lainnya. Lembaga-lembaga adat ini seolah-olah mati suri, karena tidak punya wewenang lagi dalam pemerintahan.

Konsekuensi lainnya, adalah, bagi gelar-gelar adat yang tadi sifatnya sekali pakai, yaitu gelar yang dijemput di Balai Panjang di wilayah Kedepati Rencong Telang, Muaro Langkap, Serampas dan Sungai Tenang bila habis masa pemakaiannya di Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, menyebabkan gelar-gelar itu tidak lagi kembali ke lembaga adat asalnya. Ada yang tidak digunakan lagi ditempat asal, dan ada pula yang menggunakan dengan sistem “bunga sekaki kembang dua”.*

*Dinukil, diedit tanpa mengurangi arti, dan dipublished kembali dari portal pribadi almarhum Aulia Tasman, sebagai penghormatan atas upayanya untuk mencatatkan kembali adat sejarah lampau.

avatar

Redaksi