Gadis Dengan Kursi Roda

Budaya & Seni

June 1, 2023

Tunggal Rajani

GADIS berusia 20-an tahun itu hanya menatap kosong ke pesawat televisi yang bunyinya berisik menyala. Kekosongan yang sangat sunyi. Hanya derit roda pada roda kursi yang sesekali terdengar.

Cindy, nama gadis itu. Ia telah dua tahun lebih duduk di kursi roda ini. Sebelumnya, ia adalah gadis yang periang dan sesekali suka memamerkan barang-barang mewahnya di media sosial.

Kecelakaan itu. Pada suatu malam, ketika ia benar-benar dalam kondisi mabuk, dan terjatuh dari tangga.

Secepat bunyi sirine ambulan berdenging di kepala, dokter jaga dan perawat yang sibuk. Selama hampir dua pekan lamanya di rumah sakit. Dan, inilah  yang kini ia dapatkan: sebuah kursi roda.

Tulang bagian belakangnya patah.

Harusnya, aku ceritakan tentang Cindy sebelum ia berada di kursi roda. Meskipun berat, tapi, ok. Mari kita bercerita.  

Cindy adalah sama seperti gadis remaja lainnya. Itu kesan pertama ketika aku melihatnya. Ia suka bergosip dengan teman-temannya, menelusuri media sosial, dan terus-menerus menggunakan ponselnya. Namun, Cindy memiliki rahasia kotor yang dia sembunyikan dari orang lain. Sesuatu yang dimulai bak polosnya remaja putri usia belasan.

Suatu hari ketika Cindy sedang men-scroll story dan post di Instagram. Lalu, ia melihat postingan dari influencer yang nge-top saat ini. Influencer itu mengiklankan situs web tentang tempat, yang dengan iming-iming, para gadis dapat menghasilkan uang dengan mudah.

“Hanya mengobrol live saja. Kenapa tidak?” pikir Cindy.

Yup, ia mendaftar di link yang ada di bio influencer itu. Tidak masalah, ini khan hanya mengobrol dengan lawan jenis. Toh, Cindy juga telah terbiasa ngobrol di kolom direct message dengan teman-temannya.

Lalu, ia mendaftar, dan memiliki profil sendiri. Alicia, demikian namanya di profile yang memampangkan wajahnya itu. Dengan senyuman khas masa kini, dengan kedua bibir yang sedikit dimonyongkan ke arah depan. Yah, semua orang suka berpose seperti itu.

Jebakan, dan Cindy tidak menyadari itu. Karena tempat itu adalah private. Antara orang per orang saja, dan harus memiliki akun.

Ia tengah meneken kontrak kerja untuk profesi yang belum ia mengerti konsekwensi ke depannya. Prostitusi online, demikian deskripsinya. Cara cepat untuk menghasilkan uang dengan hanya menggenggam ponsel. Meskipun Cindy berasal dari keluarga kelas menengah dan tidak kekurangan secara materi.

Tapi, inilah saat dimana hedonisme berkuasa. Ketika materi menunjukan status sosial seseorang.   

Awalnya, semua berjalan tenang, setenang riak air di tengah sungai yang menuju ke bantaran. Cindy hanya menemani pria-pria kesepian yang mencari teman ngobrol di situs online. Bagi Cindy yang masih belia, tentu saja uang hasil cuap-cuap di video itu pun cukup lumayan.

Cindy pun mulai berubah. Ia begitu royal untuk membeli perlengkapan rias, baju-baju baru dan interior kamarnya. Sebab kamar Cindy adalah juga studio live-nya.

Tapi, kemudian, seorang klien memintanya untuk lebih intim lagi dalam obrolan itu. Tentu saja engkau mengerti apa yang ku maksud, jika engkau telah dewasa.

Cindy ragu-ragu menerima tawaran itu. Tapi klien-nya menyatakan akan membayar lebih dari biasanya.

Ketika Cindy mengatakan okay, maka jelas tidak ada lagi jalan untuk kembali baginya.

Cindy sudah melewati batas, dan terus berjalan semakin jauh saja. Ia mulai berani kopi darat dengan klien-nya. Kebutuhannya semakin banyak. Make up, pakaian baru, tas, sepatu, juga ponsel baru seperti memaksanya untuk tetap bekerja. Itu semua terjadi hanya dalam hitungan beberapa bulan saja.

Sejak keanehan ini terjadi, orangtua Cindy pun telah mengawasinya. Akhirnya, pada malam itu, kedua orangtuanya memaksa Cindy untuk membuka kunci layar ponsel-nya, membaca isi chat dan juga galeri.

“Oh, Tuhan. Cindy, kamu sudah keterlaluan!” kata Papa.

Lalu, ponsel Cindy pun ditahan orangtuanya. Meskipun ia masih boleh pergi ke sekolah, tetapi, jika berada di rumah, ia sangat diawasi baik oleh Papa maupun Mama.

Hampir dua pekan itu terjadi, dan Cindy seperti sedang berpura-pura menjadi anak gadis yang baik.

Padahal, dalam hatinya, ia masih memiliki uang di rekening bank. Dan uang itu, sebentar lagi akan berubah menjadi ponsel dengan kamera depan yang ciamik.

Cindy telah terjebak, dan sepertinya tidak ingin keluar dari jebakan itu. Di ponsel baru yang selalu ia silent itu, ia kembali loggin di akunnya.

I’m Back,” katanya pelan, sambil tersenyum, sinis. Seolah kesinisan itu adalah untuk kedua orangtuanya.

Tanda lonceng terlihat di bagian depan layar ponselnya. Ia buka notifikasi itu, dan ternyata seorang pria bernama Mark sedang ingin bersama dengannya di sebuah tempat.

Tepat sekali, waktu itu adalah jadwal eskull bagi Cindy. Ia membawa serta perlengkapan make up dan, ehm, pakaian yang keren di dalam tas punggungnya.

Sesampai, di sebuah toko waralaba, ia membeli air kemasan, dan tidak lupa untuk meminta ijin untuk menggunakan toilet untuk beberapa saat. 

Taaraa. Pakaian yang ia kenakan pun telah berubah. Lebih baik, tetapi riasan wajahnya membuat ia tampil sangat dewasa.

Cindy dan Mark bertemu di sebuah rumah yang telah ditentukan. Awalnya , Cindy kikuk, karena Cindy tahu bahwa Mark adalah tetangganya. Tetapi, Mark berusaha mencairkan suasana. Tetesan whiskey dan cola serta es batu cukup membuat situasi sangat akrab, sekali.    

Setelah pekerjaanya selesai, dan setelah tidak ada pembatas lagi antar kedua tetangga, Mark menawarkan uang lebih. Cindy berpikir, ia harus kembali bekerja.

Tapi, Mark dengan sikap yang gentle dan dandy kembali mengajak menggenggam whiskey dan cola serta es batu di tangan masing-masing. Sungguh sebuah party bagi mereka berdua, dan hanya ada mereka saja di sana.

Kala itu, keduanya sedang duduk di ruangan di depan kamar. Namun, Mark seperti terburu-buru turun ke bawah dengan melewati tangga.

Hampir 10 menit menunggu, dengan kondisi gelas yang tidak pernah kosong, karena Cindy selalu menambah minuman yang baunya menusuk kedua lubang hidung itu. Lalu, Cindy berpikir untuk mencari Mark.

Langkah Cindy telihat gontai, mabuk. Tubuhnya seolah ringan bergerak ke kiri dan ke kanan. Mulutnya mulai menceracau memanggil nama Mark.

Tepat di anak tangga pertama, tubuhnya limbung dan tidak sempat berpegangan. Hanya dalam hitungan detik, Cindy pun telah berada di lantai satu. Terjatuh. Terbaring diam tak bergerak.

Cindy mengerang pelan merasakan sakit di bagian punggung ketika ambulan membawanya ke rumah sakit. Selama hampir dua pekan di rumah sakit dengan perawatan intensif, akhirnya Cindy boleh pulang ke rumah.

Hanya saja, tulang punggung bagian belakang-nya patah. Dan tidak ada hal yang lebih menggembirakan selain menggunakan kursi roda. Meskipun hanya di bagian dalam rumah. Dan sesekali di teras rumah, hingga hari ini.

Sementara Mark, tetangganya dan juga klien-nya, sekarang entah berada di mana.

Cindy hanya memahami, di usia 22 tahun ini, baginya adalah kehidupan tanpa masa depan yang kini tengah ia jalani. Dan, itu adalah akibat dari jebakan yang ia sadari untuk masuk dan tidak berniat untuk keluar, dulu. *

Kisah ini adalah fiksi. Nama-nama tokoh dan kejadian adalah fiksi. (Redaksi)

avatar

Redaksi