Sang Penakluk Petir

Budaya & Seni

November 29, 2024

Jon Afrizal

Ilustrasi kilat dan petir. (credits: pexels)

“GANDRIK, aku iki putune Ki Ageng Selo”. Ini adalah pepali yang dipercaya dapat melindungi seseorang dari sambaran petir.

Pepali, dapat diartikan sebagai nasihat lisan seorang guru keagamaan kepada muridnya terkait hal-hal yang seharusnya dihindari. Selanjutnya, nasihat lisan ini ditulis ulang oleh murid-muridnya dan menggubahnya dalam bentuk tembang macapat dengan menggunakan bahasa Jawa.

Pohon gandrik atau kandrik atau kanyerea (Bridelia monoica), bagi masyarakat Desa Sela Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, adalah sesuatu yang sakral. Pohon gandrik berkaitan dengan nama Ki Ageng Sela atau Kiyai Ngabdurahman.

Ia adalah tokoh spiritual dari Sela yang hidup di masa Sultan Trenggana di Kesultanan Demak, pada awal abad ke-16 Masehi. Ia memiliki nama kecil Bagus Songgom.

Ki Ageng Sela adalah keturunan Ki Ageng Getas Pandawa, dan memiliki trah raja-raja Majapahit.

Hingga saat ini, masih banyak yang berkeyakinan, bahwa pohon gandrik dapat digunakan sebagai penangkal petir. Sebagai sebuah bentuk dari keyakinan, tentu, tidak perlu untuk diperdebatkan.

Tawangharjo adalah satu dari 19 Kecamatan di Kabupaten Grobogan. Kecamatan ini berada di jalan lintas Purwodadi – Blora, yang adalah jalur alternatif Pantura (Pantai Utara) Jawa Tengah, dari Semarang ke Surabaya.

Terdapat delapan dusun di Desa Selo. Yakni: Selo Krajan, Kebondalem, Tanen, Kauman, Pulo, Plumpungan, Ngrampakan, dan Drono.

Gandrik (Bridelia monoica). (credits: gbif)

Adapun makam Ki Ageng Selo adalah 12,3 kilometer dari pusat Kota Grobogan.  Perjalanan ke makam Ki Ageng Selo dapat melalui Jalur Utara (Purwodadi-Blora) Perempatan Ngantru, Tawangharjo. Atau juga dari Jalur Selatan (Jalan Danyang – Kuwu) Desa Gatak Sembungharjo.

Ki Ageng Selo, mengutip desa-selo, setelah bertani di sawah, Ki Ageng Selo lalu bertapa di hutan, gua, dan gunung. Ia tidak mementingkan harta dunia. Hasil panen sawahnya selalu dibagi-bagi dengan tetangga yang membutuhkan.

Selanjutnya, Ki Ageng Selo mendirikan perguruan Islam. Satu diantara murid-muridnya adalah Mas Karebet. Mas Karebet, selanjutnya dikukuhkan menjadi Sultan Pajang bergelar Hadiwijaya.

Ki Ageng Selo pernah melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Namun dalam tes, ia kalah dengan seekor banteng.

Pada suatu ketika, saat Ki Ageng Selo mencangkul di sawah, cuaca sedang mendung dan berlanjut dengan turunnya hujan, disertai dengan kilat dan petir.

Petir dan kilat (bledheg) pun menyambar Ki Ageng Selo. Tapi, Ki Ageng Selo berhasil menangkapnya, dan mengikatnya di pohon gandrik. Setelah ditangkap, bledheg berwujudseorang laki-laki tua.

Ki Ageng Selo, selanjutnya, menyerahkan bledheg kepada Sultan Demak. Bledheg diletakkan didalam kerangkeng, dan dipertontonkan untuk umum, di alun-alun Kota Demak.

Dikarenakan berbahaya, masyarakat pun dilarang untuk mendekati bledheg. Tapi, tanpa diketahui seorangpun, datanglah sosok perempuan tua memberi air minum kepada bledheg. Diperkirakan, sosok perempuan tua itu hendak menyelamatkan bledheg yang berada di kerangkeng.

Terdengar suara keras menggema, persis seperti suara geledek. Setelah suara itu bergema, hilanglah kedua laki-laki dan perempuan tadi.

Kisah ini berhubungan dengan Masjid Agung Demak. Mengutip pariwisata.demakkab, pada saat bledheg yang ditangkap Ki Ageng Selo dipertontonkan untuk umum, Raden Fatah memerintahkan Ki Ageng Selo untuk melukiskan rupa bledheg.

Saat lukisan baru sampai ke tahap kepala, dan sosok prempuan tua telah memberikan air minum untuk menyelamatkan bledheg.

Pada akhirnya, lukisan ini, kemudian diabadikan dalam bentuk ukiran pada sebuah pintu di Masjid Agung Demak. Pintu ini biasa disebut Lawang Bledheg (Pintu Petir).

Lawang Bledheg dijadikan memet atau candra sengkala berdirinya Masjid Agung Demak. Yakni “Naga mulat saliro wani” atau dibaca menjadi 1388 tahun Saka.

Tahun 1388 tahun Saka ini adalah tahun berdirinya Masjid Agung Demak.

Meskipun, kisah bledheg ini adalah benar berwujud demikian atau tidak, hanya Allah yang megetahuinya. Tapi, setidaknya, dapat menjadi pengingat akan keesaan Allah, sang pencipta.

Semasa hidupnya, Ki Ageng Sel berkeinginan agar keturunannya menjadi raja. Keinginnya itu terwujud pada cicitnya.

Cicitnya, bernama Sutawijaya, adalah pendiri kerajaan kedua atau Kesultanan Mataram. Sutawijaya berkuasa pada tahun 1587.*

avatar

Redaksi