Pesantren, Boarding School ala Indonesia

Inovasi

March 22, 2024

Junus Nuh

Anak-anak di Pulau Jawa sedang membaca al-Quran, diperkirakan tahun 1910. (credits : Universiteit Leiden)

PESANTREN adalah tradisi sekolah berasrama yang telah ada sejak lama di Indonesia. Juga sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Mengutip Ensiklopedia Islam, kata “pesantren (santri)” berasal dari bahasa Tamil­ yang berarti “guru mengaji”. Menurut sumber lain, kata “santri” berasal dari bahasa India yakni shastri , yang berakar dari kata shastra,  yang artinya adalah “buku suci”, “buku agama”, atau “buku ilmu”.

Lembaga pesantren di Sumatera Barat disebut “surau”, sementara di Aceh dikenal dengan “dayah”, dan di Jawa dan daerah lainnya disebut dengan “pondok”.

Jika membandingkan dengan lembaga pendidikan lain, maka pe­santren memiliki kekhususan. Para santri­ atau murid tinggal bersama kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks.

Mereka dapat menumbuhkan ciri-ciri khas pesantren. Seperti hubungan­ yang akrab antara santri dan kiai, kepatuhan­ dan ketaatan­ santri kepada kiai, kehidupan­ mandiri dan sederhana para santri, se­mangat gotong royong dalam suasana­ penuh­ persaudaraan, dan kehidupan­ disiplin dan tirakat­ para santri.

Umumnya, sebuah pesantren memiliki­ sarana dasar, yakni; masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal­ para santri, dan ruangan belajar.

Terdapat dua versi tentang asal usul berdirinya pesantren di Indonesia. Pertama, bahwa pesantren­ berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tasawuf. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan bagi kaum sufi.

Ini karena, faktnya, penyiaran­ Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak­ dilakukan para guru sufi yang melaksanakan amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tasawuf mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama 40 hari dalam 1 tahun dengan cara tinggal bersama sesama murid atau santrinya dalam sebuah­ langgar untuk melakukan ibadah di bawah bimbingan kiai.

Untuk keperluan suluk, para kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di bagian kiri atau kanan langgar. Selain itu, para murid juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang­ ilmu pengetahuan agama Islam.

Pada perkembangan selanjutnya, aktifitas pengajian yang bersifat terbatas ini berkembang menjadi lembaga pesantren.

Sedangkan versi kedua, bahwa pesantren diadopsi dari sistem pendidikan yang dilakukan oleh penganut Hindu di Nusantara. Sebab, faktanya, jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, sistem pendidikan jenis ini telah ada di negeri ini.

Pada masa itu, lembaga ini bertujuan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader penyebar Hin­du. Tradisi penghormatan murid kepada guru, yakni pola hubungan yang tidak didasarkan pada materiil, tentu sebagiannya juga bersumber dari tradisi Hindu.

Fakta lain juga menunjukkan­ bahwa pesantren­ bukan sepenuhnya berakar dari tradisi Islam. Seperti tidak ditemukannya lembaga­ pesantren­ di negara berpenduduk mayoritas Islam lain. Tetapi, memang, lembaga semacam pesantren banyak di­temukan dalam masyarakat Hindu dan Buddha, yakni di India, Myanmar, dan Thailand.

Keberadaan­ pesantren di Indonesia baru diketahui lebih jelas setelah disebutkan pada karya Jawa klasik. Serat Cabolek dan Serat Centhini, mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah dijumpai banyak pesantren besar, yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik di bidang fikih, teologi, dan tasawuf, serta menjadi pusat penyiaran Is­lam.

Data Departemen Agama 1984/1985 menyebutkan pesantren di Indonesia pada abad ke-16 berjumlah 613 pesantren, tetapi tidak diketa­hui secara pasti tahun berapa pesantren-pesantren itu didirikan­. Sedangkan menurut pemerintah­ Hindia Belanda, bahwa pada 1831 di Indonesia terdapat sebanyak 1.853 lembaga pendidikan Islam tradisional dengan­ jumlah murid mencapai 16.556 orang.

Penelitian Van den Berg pada 1885 menunjukan terdapat sebanyak 14.929 lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Dimana, sekitar 300 di antaranya adalah lembaga pesantren.

Bahkan pada 1910 beberapa pesantren, seperti Pesantren Denanyar, Jombang, mulai membuka pondok khusus untuk santri wanita. Lalu, pada 1920-an pesantren di Jawa Timur, seperti Pe­santren Tebuireng  Jombang dan Pesantren Singosari  Malang, mulai mengajarkan pelajaran umum, antara lain bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung,­ ilmu bumi, dan sejarah.

Beberapa pesantren yang terkenal pada masa pemerintahan kolonial Belanda antara lain adalah Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Wo­nokoyo Probolinggo, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Tegalsari Jawa Timur, Pesantren Gontor Ponorogo, Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Manba’ul Ulum Solo, Pesantren al-Munawwir Yogyakarta, Pesantren al-Khairiyah Banten, dan Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

Sedangkan di luar Pulau Jawa, yakni Pesantren Tengku Haji Hasan Aceh, Pe­santren Masrurah Medan, Pesantren Tanjung Sungayang Padang, Pesantren Nurul Iman Jambi, Pesantren al-Qur’aniyyah Palembang, Pesantren Syamsul Huda Jembrana Bali, Pe­santren Nahdlatul Wathan Lombok, Pesantren al-Khairat Palu Sulawesi Tengah, Pesantren As’adiyah Wajo Sulawesi Selatan, dan Pesantren Syekh Muhammad­ Arsyad al-Banjari Matapawa­ Kalimantan Selatan.

Pesatnya perkembangan pesantren sejak zaman Belanda disebabkan oleh para ulama dan kiai mempunyai kedudukan yang kukuh di lingkungan kerajaan dan keraton. Yakni sebagai penasihat raja atau sultan. Sehingga pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian dari para raja dan sultan.

Bahkan beberapa pondok pesantren didirikan atas dukungan keraton. Seperti Pesantren Tegalsari Jawa Timur yang diprakarsai Susuhunan Paku Buwono II sebagai raja Mataram yang memerintah pada tahun 1704 hingga 1719.

Selain itu, kebutuhan umat Islam terhadap sarana pendidikan­ yang mempunyai ciri khas keislaman juga semakin meningkat. Sementara sekolah Belanda pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja.

Juga, transportasi antara Indonesia­ dan Makkah yang semakin lancar sehingga memu­dahkan para pemuda Islam dari Indonesia menuntut­ ilmu ke Makkah. Sekembalinya ke tanah air, mereka biasanya langsung mendirikan pondok pesantren­ di daerah asalnya dengan menerapkan cara belajar seperti yang dijumpainya di Mekah.

Pada masa itu, setiap pesantren memiliki kekhususan tertentu, dan membuatnya berbeda dari pesantren lain. Seperti kekhususan pada disiplin ilmu yang diajarkan kiainya. Misalnya pada disiplin ilmu bahasa Arab, hadis, fikih, tafsir, tasawuf,­ dan sebagainya.

Ketika sistem madrasah diadopsi oleh pesantren, maka terjadi perubahan penting dalam pengelolaan pe­santren. Ini dilakukan sebagai penyeimbang terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah­ yang memakai sistem pendidikan barat.

Melalui sistem madrasah, maka pesantren pun mencapai banyak kemajuan. Pada 1940-an terdapat beberapa­ pesantren­ yang ikut menyelenggarakan jenis madrasah klasikal yang dikem­bangkan oleh pemerintah­.

Sehingga, dengan sis­tem ini, maka jenjang pendi­dikan­ di pesantren juga ikut menyesuaikan­ diri dengan­ jenjang ibtidaiyah, tsanawiyah,­ dan aliyah. Pesantren­ juga meng­alami perubahan kuri­kulum dengan ditambah­kannya sejumlah pela­jaran non agama.

Meskipun peng­ajaran kitab Islam klasik; de­ngan metode sorogan dimana seorang santri secara individual belajar pada seorang kiai, dan wetonan dimana para santri secara berkelompok belajar pada seorang kiai tetap dipertahankan.

Munculnya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada 1958/1959 memberi pengaruh kepada pesantren. Sebab Madrasah Wajib Belajar mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah negeri.

Selanjutnya pada 1965, berdasarkan rumusan­ Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta disepakati perlunya memasukkan pendidikan dan pelajaran keterampilan pada pondok pesantren. Seperti pelajaran tentang pertukangan, pertanian, dan peternakan.

Pada masa Orde Baru pembinaan pondok pe­santren dilakukan pemerintah melalui proyek Pembangunan Lima Tahunan (Pelita). Se­jak Pelita I dana pembinaan pesantren diperoleh dari berbagai instansi yang terkait, dari tingkat pemerintah­ pusat sampai ke pemerintah daerah.

Pada 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengem­bangan pesantren, yaitu mendirikan pondok pesantren model baru, baik oleh masyarakat­ maupun oleh pemerintah,­ dengan nama Pondok Karya Pembangunan (PKP), Pondok Modern, Islamic Center, atau Pondok Pesantren Pemba­ngunan.

Namun, pondok pesantren baru ini mengalami kesulitan dalam pembinaannya karena tidak ada kiai karismatik yang dapat memberikan­ bimbingan dan teladan kepada santrinya.

Selanjutnya banyak pe­santren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah­. Bahkan madrasah yang dibina pesantren­ juga menyesuaikan diri dengan pola madrasah yang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, nomor 3 tahun 1975, yang menetapkan mata pelajaran­ umum di madrasah sekurang-kurangnya 70 persen dari seluruh kurikulum.

Na­mun dengan alasan bahwa kurikulum yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan­ pesantren, banyak juga madrasah di pesantren yang menetapkan kurikulumnya sendiri, seperti Pondok Modern Gontor dan Pesantren Pabelan Muntilan.

Dan banyak pula pesantren besar yang mendirikan perguruan tinggi. Ada yang hanya mendirikan fakultas agama yang berkiblat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan ada juga yang mendirikan universitas dengan fakultas umum dan agama, seperti yang dilakukan Pesantren as-Syafi’iyah dan Pesantren at-Tahiriyah Jakarta.

Pengelolaan pesantren terjalin dalam suatu ga­ris ko­mando; unsur pimpinan, yaitu ketua umum dan direktur pesantren; unsur pembantu pimpinan, yaitu­ kepala SMP-SMA, kepala madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, dan kepala bidang; serta unsur pelaksana, yaitu guru, pembina kampus, dan tenaga administrasi dan karyawan.

Saat ini, pesantren telah bergerak mengikuti jamannya. Istilah yang kini digunakan adalah Pesantren Urban. Meningkatnya perekonomian umat Islam dari periode 1970-an hingga 1990-an, menjadikan pesantren memiliki gedung dan fasilitas fisik yang megah.

Data Departemen Agama RI (Depag), misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren 4.195 pesantreh dengan jumlah santri 677.384 orang. Sementara­ pada 1997 tercatat sebanyak 9.388 pesantren dengan 1.770.768 orang santri.

Pesantren juga berekspansi. Dari rural based institution menjadi pula lembaga pendidikan urban. Hal ini bisa dilihat dari kemunculan sejumlah pesantren urban di Kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, atau suburban Jakarta seperti di Parung, Bogor atau Cilangkap.

Aspek-aspek tertentu dalam sistem pesantren juga diadopsi pada lembaga pendidikan umum. Pengadopsian sistem pengasramaan murid SMU “unggulan”, misalnya. Sejak tahun 1990-an

Untuk merespons perkembangan yang terjadi di luar pesantren, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam kompleks pesantren. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah ketimbang santri yang betul-betul tafaqquh fi ad-din.

Tetapi, yang utama, penyelenggaraan pendidikan di pesan­tren berlandaskan pada ajaran Islam. Sehingga, tujuannya adalah jelas : ibadah untuk mendapatkan ridha Allah. Para santri yang telah dididik untuk menjadi mukmin sejati, diharap dapat menjadi panutan dalam masyarakat dan menyiarkan dakwah Islam.*

avatar

Redaksi