Sirih Pinang Kerajaan Puteri Jambe (2)

Daulat

November 22, 2024

Jon Afrizal

Sungai Batanghari yang membelah Kota Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

KERAJAAN Melayu “kembali” hadir pada abad ke-15 Masehi. Pada waktu itu, kerajaan ini diperintah oleh Puti Selaro Pinang Masak (1460 Masehi hingga 1480 Masehi).

Kerajaan yang dipimpin oleh Puti Selaro Pinang Masak ini, adalah cikal bakal dari Kesultanan Jambi.

Sebelum era ini, telah ada Kerajaan Malayu (Melayu) yang beribukota di Dharmasraya. Kerajaan Melayu lama adalah tempat asal Dara Petak dan Dara Jingga, dua puteri Melayu yang dibawa ke Majapahit.

Dan, Puti Selaro Pinang Masak adalah penerus dari trah Kerajaan Melayu.

Pada saat ia memerintah, namanya dikenal luas, terutama di Pulau Jawa. Mengutip Anastasia Wiwik S dalam Melayu Jambi, Suatu kajian Sejarah Etnis, banyak perantau dari Jawa datang dan pergi ke Kerajaan Malayu Jambi.

Masyarakat Jawa kala itu, menyebut kerajaan yang dipimpin oleh Puti Selaro Pinang Masak ini dengan sebutan: Kerajaan Puteri Jambe. Kata Jambe, mengacu kepada kata Pinang Masak, atau buah pinang yang telah matang.

Yakni, nama raja perempuan yang memerintah di Jambi kala itu; Puti Selaro Pinang Masak.

Hubungan antara Kerajaan Melayu Jambi dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa telah berlangsung lama. Puti Selaro Pinang Masak adalah keturunan dari Adityawarman.

Adityawarman adalah pendiri kerajaan Melayupura, yang kemudian dikenal berwujud sebagai Pagarruyung.

Ibu dari Adityawarman adalah Dara Jingga (Puti Reno Merak). Ia, selanjutnya, lebih dikenal dengan sebutan Bundo Kandung, yang memiliki arti: ibu dari segala kaum.

Dara Jingga telah dibawa ke Majapahit. Bersama saudaranya, Dara Petak, keduanya menikah dengan bangsawan Majapahit.

Setelah ekspedisi Pamalayu, Adityawarman yang adalah juga bangsawan Majapahit, kemudian mendirikan Melayupura, jauh di pedalaman Sumatera. Ini, agar terhindar dari kapal-kapal Majapahit yang memburunya.  

Puti Selaro Pinang Masak juga biasa dianggap sebagai “Ibu Orang Jambi”.

Sedangkan “Ayah Orang Jambi” adalah Datuk Paduko Berhalo, atau yang memiliki nama Ahmad Barus II.

Prasasti Talang Tuo di kaki Bukit Seguntang, Kota Palembang, Sumatera Selatan. (credits: wiki commons)

Berhalo adalah nama sebuah pulau kecil, yang kini berada di Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Berhalo, kerap juga disebut dengan mana: Pulau Hantu.

Di pulau inilah kapal yang membawa Ahmad Barus II berlayar ke wilayah Palembang, dihempas badai. Seperti penamaan orang pada masa lalu, yang selalu dikaitkan dengan nama tempat, maka, Ahmad Barus II pun lebih dikenal dengan Datuk Paduko Berhalo.

Ahmad Barus II, juga dikenal dengan nama Tok Putih atau Panglima Alang Daik Hitam. Sama seperti ayahnya, Syeikh Sultan Ariffin Sayyi Ismail, makamnya berada di Pualu Besar, negeri Melaka, Malaysia.

Datuk Paduko Berhalo adalah peletak dasar keIslaman dalam Kerajaan Melayu Jambi. Sehingga, Kerajaan Jambi pun kemudian beralih nama menjadi Kesultanan Jambi.

Letak ibukota Kerajaan Puteri Jambe kala itu adalah di tepi pantai Ujung Jabung.

Dapat juga disebutkan, mungkin, letaknya adalah di Pulau Berhala, ataupun di sekitarnya. Meskipun, butuh penelitian lebih lanjut untuk klaim ini.

Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia menyebutkan wilayah Jambi bersama dengan Palembang termasuk daerah yang paling awal disinggahi oleh pedagang Muslim dari Arab.

Dengan Sungai Batanghari, yang melintasi Jambi, bermuara ke Selatan Malaka di Lautan Cina Selatan. Dikarenakan letak geografis Jambi yang berada di persimpangan Selat Malaka, maka membuat perairan Jambi telah lama dikenal sebagai the favoured commercial coast (pantai niaga yang disenangi) oleh pedagang dari Cina, India, dan Arab.

Posisi Jambi dalam perdagangan menjadi semakin penting dengan memudarnya pengaruh Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-13.

Adapun berdirinya Kerajaan Puteri Jambe adalah pada masa ketika Kerajaan Majapahit mulai runtuh, pada tahun 1478.

Seperti yang juga tertera di Tambo Minangkabau, Puti Selaro Pinang Masak yang berada di Pagarruyung pulang kembali ke daerah asalnya, yakni Kerajaan Malayu, melalui jalur Sungai Batanghari. Kerajaan Malayu adalah kerajaan pendahulu yang beribukota di Dharmasraya.

Harus juga dipahami, bahwa wilayah kerajaan di era lampau tidak lah sama persis dengan wilayah pada saat ini. Meskipun di era lampu Dharmasraya adalah wilayah Kerajaan Melayu, tapi kini, Dharmasraya adalah termasuk wilayah Provinsi Sumatera Barat, dan bukan Provinsi Jambi.

Namun, pertalian darah, budaya, tradisi, dan sejarah, tidaklah lekang.

Pada saat itu, raja Malayu yang berkuasa adalah Tan Talanai (1400 Masehi hingga 1460 Masehi). Tan Talanai ingin memperisteri Puti Selaro Pinang Masak. Tapi dengan berbagai cara ia tolak.

Sebelum Tan Telanai wafat, kerajaaan pun diwariskan ke Puti Selaro Pinang Masak.

Dari pernikahan Puti Selaro Pinang Masak dan Datuk Paduko Berhalo, lahirlah empat orang anak. Satu anak perempuan bernama Orang Kayo Gemuk.

Dan tiga anak laki-laki bernama Orang Kayo Pingai (1480-1490), Orang Kayo Pedataran (1490-1500) dan Orang Kayo Hitam (1500-1515). Ketiganya menjadi raja Kesultanan Jambi.

Ali Muzakir dalam Sejarah Kerajaan Jambi mengatakan dengan masuknya Islam ke dalam Kerajaan Jambi, yang dibawa oleh Datuk Paduko Berhalo, telah mengalihkan ritual-ritual pemujaan dan lainnya yang bemuansa animistik dan antropomorfis, ke tata cara Islam.

Ini dapat dilihat pada banyak ritual. Seperti; ritual minta turun air hujan ketika masa kemarau, ritual menjelang panen padi, dan ritual peralihan siklus kchidupan seseorang, serta ritual-ritual lainnya.

Ritual-ritual itu masih tetap dilakukan, dengan menyertakan simbol-simbol yang disyaratkan oleh adat. Seperti semacam sesaji, misalnya.

Tetapi, ritual itu telah dimasukkan juga unsur-unsur yang Islami. Seperti doa, tahlil, baca al-Qur’an dan lainnya.

Bicara tentang Jambe, adalah juga bicara soal pinang sebagai komoditas perdagangan andalan dalam perdagangan di Kesultanan Jambi. Dedi Arman dalam Perdagangan Lada Di Jambi Abad XVI hingga XVII menyebutkan sebelum Belanda datang pada tahun 1615, Jambi sudah menjadi penghasil utama pinang. 

Jambi dikenal sebagai sentra produk pinang. Pinang diperdagangkan secara internasional, yang melibatkan pedagang Portugis, Inggris, Belanda, China, Melayu, Makassar, dan Jawa. 

Masa kejayaan perdagangan pinang, adalah ketika Kesultanan Jambi dipimpin oleh Sultan Abdul Kahar.

Selain pinang, juga diperdagangkan bersama dengan hasil alam lainnya. Seperti lada, emas, gaharu, getah alam merah, getah jernang, dan getah jelutung. 

Pinang bermanfaat bagi kesehatan. Mengutip klikdokter, dalam satu buah pinang mengandung; kalori (339), protein (5,2 gram), lemak (10,2 gram), karbohidrat (56,7 gram), kalium (450 mg), sodium (76 mg), kalsium (400 mg), fosfor (89 mg), zat besi (4,9 mg), vitamin B1 (19 mg), vitamin B2 (10-12 ppm), dan niacin (31,1 mg).

Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 menyebutkan posisi pinang teramat penting bagi bangsa Nusantara. Pinang, adalah sebagai bagian dari instrument ritual.

Pinang hadir sejak dari ritual kelahiran, inisiasi kedewasaan, perkawinan, hingga kematian; dari ritual dan praktik penyembuhan, hingga ritual persembahan kepada roh leluhur.

Meskipun, tradisi Nyirih, yakni mengkonsumsi sirih dan pinang secara bersamaan dengan cara mengunyah telah dimulai sejak zaman neolitikum. Sirih dan pinang telah menjadi kebiasaan masyarakat Asia Tenggara sekitar 3.000 tahun yang lalu.

Tetapi, Nusantara adalah yang utama mengkonsumsinya, ketimbang wilayah lain di Asia Tenggara.

Dan, akan tiba saat, ketika pinang kembali menjadi komoditas dagang utama dengan harga yang “baik” bagi petani. Dan, akan tiba juga saatnya Jambi kembali “dikenal” dengan keutamaannya.

Sejarah yang akan mengulang dirinya sendiri.*

avatar

Redaksi