Syair Perang Mengkasar

Daulat

May 23, 2025

Encik Amin*

Sketsa “Perang Mengkasar” tahun 1666 hingga 1669. (credits: Wiki Commons)

Encik Amin adalah seorang keturunan Melayu-Mengkasar. Ia pernah menjadi juru tulis Sultan Gowa. Pengalamannya sebagai juru tulis kerajaan Gowa membuat ia banyak mengetahui tentang sejarah dan kejadian di istana Kerajaan Gowa. Syair ini, pertama kali berjudul “Syair Sipelman”, yang ditulis oleh Encik Amin pada bulan Juni tahun 1669 hingga Juni 1670.

SEGALA puji dipanjatkan kepada Allahu taala, Nabi Muhammad dan keluarga serta Sultan Gowa beserta keluarga.

Cerita ini mengisahkan tentang sebab terjadinya peperangan yang berkepanjangan di Mengkasar. La Tenri Tatta Putra raja Arung Pone diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Gowa. Putra Arung Pone diangkat sebagai anak oleh Sultan Gowa bermula saat Sultan Gowa akan mengajak Arung Pone untuk menerima ajaran Islam. Ajakan Sultan di tolak oleh Arung Pone karena alasan tatanan adat kerajaan Bone yang sudah kuat dan tak dapat diubah tanpa persetujuan dewan adat tujuh. Sultan murka dan menyerang Bone atas penolakannya untuk diislamkan. Sultan menggugat perjanjian yang pernah disepakati oleh Gowa dan Bone yang berisi bahwa “jika Bone mendapat kebaikan maka wajib untuk membaginya ke Gowa, bila Gowa mendapat kesusahan maka Bone wajib membantunya dan sebaliknya.”

Saat kerajaan Gowa menerima ajaran Islam maka Sultan berharap akan disusul oleh kerajaan sahabat dan kerajaan kecil lainnya yang berada dibawa taklukan Bone. Arungpone tetap bersikukuh tak mau menerima ajakan Sultan Gowa. Arungpone beralasan bahwa mereka tidak didukung oleh Dewan Hadat Tujuh.

Sultan murka dan mengerahkan pasukan untuk menyerang Bone. Perang berkecamuk dan Bone dibumihanguskan. Seluruh penduduk berlarian masuk hutan. Rumah-rumah habir terbakar. Arung Pone ditangkap dan diasingkan ke Bantaeng. Putra baginda yang masih belia dan masih perlu pengasuhan dibawa oleh Sultan masuk istana raja Gowa.

Putra Arung Pone yang bernama La Tenritatta diasuh dengan kasih sayang dari pelayan istana. Beliau diasuh oleh Karaeng Pattingalloang. Orang-orang Gowa bahkan tidak mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak angkat Sultan. Perlakukan Baginda seperti memperlakukan putra beliau. Banyak yang mengira anak tersebut adalah Putra Mahkota Kerajaan Gowa.

Suatu waktu pada masa keemasan kerajaan Gowa, Sultan mengumpulkan para anggota Dewan Adat Sembilan. Sultan melaporkan tentang keadaan kerajaan Gowa yang semakin kuat dan jaya. Kerajaan Gowa menjadi kunjungan para pedagang Eropa sehingga kerajaan Gowa semakin kaya dengan pemasukan upeti dan cuke.

Benteng pertahanan Kerajaan Gowa telah selesai dibangun dan berjejer dari Utara ke Selatan. Banyaknya benteng pertahanan menandakan bahwa tidak ada lagi yang dapat mengalahkan kerajaan adidaya Gowa. Benteng Pannyua, Benteng Somba Opu, Benteng Ujung Pandang, Benteng tamalatea, Benteng Tallo, Benteng Barombong semuanya berdiri kokoh untuk memantau pelayaran yang masuk ke dermaga. Benteng tempat untuk mengitai pergerakan musuh dari laut.

Sultan Gowa dengan bersemangat mengutarakan bahwa tidak ada lagi yang mampu mengalahkan kerajaan Gowa. Sudah tujuh puluh dua kerajaan telah ditaklukkan oleh kerajaan Gowa. Semua tunduk pada Sultan. Upeti dan hadiah setiap tahun berdatangan di istana.

Kejayaan dan masa keemasan kerajaan Gowa berakhir saat Putra Arungpone yang menjadi anak angkat Sultan Gowa tersebut melarikan diri ke Palakka. Beliau meninggalkan istana untuk membawa lari seluruh tawanan perang. Istana menjadi genting. Sultan Murka dan mengerahkan seluruh pasukan kerajaan untuk memburu tawanan perang.

Arung Palakka, Raja Bone ke-15. (credits: arungpalakka)

Dalam pelariannya meninggalkan istana Gowa, Raja Palakka mencari suaka politik. Asal mula terjadi peperangan adalah suatu saat peristiwa bertemu Sipelman dengan putra raja Bugis yang bergelar Raja Palakka.

Raja Palakka yang telah bergerilya mencari perlindungan tiba di Batavia. Sipelman memberitahu Raja Palakka bahwa jika engkau dapat mengalahkan Raja Mengkasar maka kelak engkau akan dilantik menjadi Raja Bugis.

Raja Palakka menyanggupi permintaan Sipelman pimpinan Kompeni Belanda untuk merobohkan Mengkasar dalam sehari. Dibantu oleh 4000 tentara yang terdiri dari orang Bugis, Jawa dan Betawi, Belanda melatih Arung Palakka di Muara Angke. Arung Palakka kemudian dilatih perang dan mengalahkan Patani.

Belanda mengerahkan armada angkatan lautnya menuju Mengkasar membantu Arung Palakka. Orang Mengkasar serentak bersama-sama membantu kekuatan Sultan Gowa untuk menghadang Kompeni Belanda Masuk ke Mengkasar. Perangpun berkobar. Orang Mengkasar yang dipimpin oleh para Karaeng kalah dan menyerahkan diri.

Sultan Ternate hendak membantu Belanda menyerang Mengkasar. Sultan Gowa lain pula berazam menentang Belanda. Perang berkobar lagi dibawa pimpinan Sultan Tallo yang berhasil memukul mundur pasukan Kerajaan Bugis dan pulang dengan kemenangan ke Mengkasar. Bantuan dari Kompeni Belanda mulai datang lagi. Daerah Mengkasar mulai dihujani bedil oleh Kompeni. Utusan Sipelman dihina terus menerus oleh orang Mengkasar. Kompeni terus membedil Kota Mengkasar tanpa henti-hentinya. Mulailah banyak korban berjatuhan pada pihak Mengkasar.

Beberapa lama kemudian pihak Kompeni membuat rumusan perjanjian Bongaya agar Raja Gowa menghentikan perlawanan. Seluruh Karaeng tak bersedia menandatangani perjanjian Bongayya setelah melihat isi perjanjian seluruhnya berpihak pada Kompeni dan sangat merugikan Pihak Kerajaan. Belanda menandatangani perjanjian orang Mengkasar di Bongayya.

Beberapa lama kemudian datang Karaeng menghasut Kompeni Belanda dan menyerang sandera Bone sehingga seluruh tahanan lepas. Perangpun berkobar lagi. Orang Mengkasar mengirim utusan ke Sanderabone. Serangan Kompeni Belanda dapat dipatahkan oleh Orang Mengkasar. Gedung perniagaan Inggris terbakar dan dibumihanguskan oleh bedil Kompeni.

Perang tak henti dan meletus lagi. Seluruh kota Mengkasar terbakar api. Orang Mengkasar mundur ke Gowa. Bedil menghujani kota Mengkasar. Penduduk berlarian ke Timur. Kompeni Belanda membakar lumbung padi Kerajaan Gowa di Bantaeng. Semangat orang Mengkasar tak pernah surut dalam membela tanah air. Hanya setelah seluruh lumbung padi dibumi hanguskan maka mulailah kekuatan berkurang. Orang Mengkassar mulai kalah karena kelaparan.*

*Dinukil secara utuh dari buku “Hikayat Bugis” oleh Kasma F Amin

avatar

Redaksi