Penjaga Hutan Mangrove Di Kampung “Orang Bunian”
Lingkungan & Krisis Iklim
September 12, 2024
Jon Afrizal/Kuala Tungkal, Tanjungjabung Barat
Sebuah sisi di Pangkal Babu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Menjaga hutan bakau ini, adalah juga menjaga hidup kami sendiri. Jika hutan bakau ini rusak, kehidupan kami pun akan ikut rusak.”
AHMADI (68) adalah orang pertama yang bertempat tinggal di kawasan hutan mangrove yang disebut Pangkal Babu. Terletak di sebuah kuala; sebuah kawasan bertemunya pasir putih dengan lumpur, sungai dengan laut, dan, air asin dengan air tawar, di Dusun Bahagia Desa Tungkal I Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjungjabung Barat.
Sebagai lelaki berdarah Bugis yang terkenal pemberani, ia telah membuktikannya. Kawasan yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan darat dari Kota Kuala Tungkal, ibukota Kabupaten Tanjungjabung Barat ini, dikenal sebagai kampung “Orang Bunian”.
Jika menggunakan Bahasa Indonesia, maka Pangkal Babu adalah juga berarti: Pusat (pangkal) Barang Bunian (babu).
Ahmadi sendiri telah berkegiatan di sana sejak tahun 1985 lalu.
Berdasarkan tuturan warga lokal, kampung Orang Bunian adalah tempat sekelompok orang yang sengaja dihilangkan oleh dukun pada masa lalu untuk menghindari peperangan dengan kelompok tertentu.
Pada masa lalu, setiap penduduk lokal yang ingin mengadakan perhelatan, akan meminta dipinjamkan alat-alat pecah belah kepada Orang Bunian. Selain piring dan gelas, juga alat-alat memasak lainnya.
“Tapi sekarang tak bise lagi. Banyak manusie yang tidak mau mengembalikan apa yang mereka pinjam dari Orang Bunian,” kata Ahmadi.
Masyarakat Melayu, baik itu di pesisir, di dataran rendah dan tinggi, yang berdiam di Sumatera dan Malaysia Barat memiliki sebuah mitologi yang hingga hari ini masih bertahan. Orang bunian atau bunian adalah sebuah mitologi, yang menggambarkan sejenis makhluk halus.
Orang Bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi. Seperti di hutan, dan lain sebagainya. Umumnya wilayah yang dulu telah ada manusia, namun kemudian ditinggalkan dalam jangka waktu lama.
Beberapa kisah tentang orang-orang yang hilang di dusun-dusun, selalu dikaitkan dengan mitologi Orang Bunian. Seperti menikah dengan Orang Bunian, misalnya.
Umumnya, hitungan secara ruang dan waktu jauh berbeda dengan manusia. Jika, menurut cerita penduduk, seseorang yang hilang dan menikah dengan Orang Bunian telah memiliki anak keturunan, dan kemudian, ia pulang kembali ke dunia nyata, ternyata waktunya hanya beberapa menit saja, dari waktu awal ia hilang.
Sebuah mitologi, yang masih berkembang, anggaplah itu kearifan lokal. Dan tidak ada guna untuk diperdebatkan. Sebab setiap kelompok masyarakat juga memiliki mitologi masing-masing. Sebagai sebuah budaya yang telah hadir sejak lama.
Warga Kota Kuala Tungkal sendiri percaya dengan mitologi itu. Dan, meskipun kini kawasan itu telah dinyatakan sebagai kawasan wisata mangrove, tapi, masih banyak yang berpesan sambil berbisik kepadaku, “Pulang lah sebelum gelap malam hari turun.”
Sebagai bentuk penghargaan terhadap sebuah local wisdom, aku pun sedikit bertanya tentang hal itu.
“Anak (: anda) dengan saya,” kata Ahmadi memastikan keadaanku.
Kali pertama aku datang ke sana, di sekitar tahun 2019. Di saat hutan ini baru saja digagas menjadi wisata mangrove oleh pemerintah setempat.
Ahmadi, penyelamat hutan mangrove Pangkal Babu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Dusun Bahagia tempat Ahmadi berdiam adalah rumah-rumah panggung selayaknya warga Melayu di pesisir. Sebuah dusun yang asri, yang dilingkupi dengan pepohonan jenis mangrove.
Tidak itu saja, tak jauh dari dusun yang asri itu juga ditemui sebuah palung yang penduduk lokal menyebutnya “lumpur hidup”.
Menurut penduduk, palung adalah sesuatu tempat yang sangat ditakuti bagi para nelayan atau perahu dan kapal yang melintasinya. Sebab mereka dapat tersedot ke kedalaman air laut.
Tetapi, kisah-kisah berbau metafisika ini malah digunakan oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab untuk membabat tanaman mangrove di sana dan mengkomersilkannya.
“Alasan ituIah yang membuat saya bertempat tinggal di sini,” kataya.
Tak jarang, katanya, ia harus berhadapan dengan para penjahat lingkungan itu. Berbekal sebilah parang, ia pun menghalau mereka.
Sosok Ahmadi memang tokoh yang disegani di sana. Ia pun memanfaatkan pengaruh itu untuk menularkan semangat menjaga lingkungan kepada para penduduk dusun yang datang dan menetap kemudian.
“Hutan bakau ini harus tetap dijaga. Jika tidak, dusun kami yang akan digerus air laut,” katanya
Ahmadi adalah ketua dari 25 orang penduduk setempat yang bergabung dalam Kelompok Tani “Hutan Bakau Lestari”. Kelompok yang terbentuk sejak 2002 ini bertujuan untuk menyelamatkan hutan mangrove di kawasan ini.
Pada awalnya, ia hanya memiliki empat kader saja. Tetapi sekarang, tidak hanya keempat orang itu saja. Sebanyak 100 orang warga dusun itu juga telah bergabung dalam kelompok tani untuk turut serta menjaga kawasan mangrove.
“Jika hutan mangrove tak dilindungi, maka sekitar 100 hektare perkebunan kelapa di dusun ini akan hilang digerus air laut,” kata Lami (48).
Lami adalah penerus Ahmadi. Seorang kader yang dimana telah diturunkan ilmu menjaga mangrove dari Ahmadi kepadanya.
Penduduk di sana adalah petani kopra. Setiap tiga bulan sekali, para pemilik kebun menjual setidaknya 5 ton kopra ke pengumpul di Kota Kuala Tungkal. Kopra dihargai seharga IDR 3.000 per kilogramnya.
Abrasi di kawasan ini cukup serius, sekitar 500 meter per tahun. Sehingga warga pun bergotong-royong untuk menanami areal pesisir yang berlumpur itu serapat mungkin dengan bibit-bibit baru yang mereka usahakan sendiri.
Terdapat sekitar 10 jenis tanaman mangrove di sini. Beberapa diantaranya berhadapan langsung dengan air laut, seperti bakau, api-api dan pidada. Sedangkan yang mengarah ke darat adalah jenis-jenis nipah.
Suburnya tumbuhan mangrove, juga memberikan keuntungan lain bagi warga. Ikan jenis belanak dan kakap, juga udang dan kepiting pun berkembangbiak dengan baik dan dapat ditangkap untuk laukpauk sehari-hari.
Sejak terbentuk, kelompok ini pun melakukan pembibitan sebanyak 1.000 hingga 2.000 bibit tumbuhan bakau per bulannya. Setiap satu bibit dijual dengan harga IDR 5.000 kepada pemerintah kabupaten dan beberapa warga lainnya.
Pihak pemerintah kabupaten pun menjadikan kelompok ini sebagai mitra penyelamat lingkungan dengan berbagai skema bantuan dan perhatian.
Tetapi, sejak 2014, kawasan ini berada di bawah Kementrian Kelautan dan Perikanan itu, dan terputuslah bantuan-bantuan.
Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi sebagai perpanjangan tangan kementerian pun seolah tak serius lagi dengan mereka.
Sewaktu itu, Bupati Tanjungjabung Barat, Safrial mengatakan bahwa pemerintah harus bijak melihat persoalan ini.
Untuk mendorong terjaganya hutan mangrove dan kelompok ini, maka pemerintah kabupaten pun telah menetapkannya sebagai wilayah strategis untuk konservasi dan pariwisata.
Sekitar IDR 11,5 miliar dana dari APBN dan APBD dikucurkan untuk kawasan Pangkal Babu sejak tahun 2018 lalu.
Tahapan awalnya adalah dengan menanam kembali sekitar 25 persen dari total 17.000 hektare kawasan pesisir yang telah rusak. Kegiatan ini dimulai sejak 2018 lalu, sekitar 3.000 hektare.
Dilanjutkan pada tahun 2019 ini sekitar 4.000 hektare. Kemudian 10.000 hektare dapat dicapai di tahun 2020.
Kunjunganku baru-baru ini ke Pangkal Babu, masih menyisakan memori di tahun 2019 lalu. Sebuah kawasan yang terisolasi, sama seperti sebelumnya.
Wisata yang “Berat Di Ongkos”, demikian kira-kira.
Sebab, perjalanan yang jauh dari Kota Jambi menuju Kuala Tungkal, dan harus pula terhenti di ruas jalan menuju ke lokasi.
Untuk menuju lokasi wisata mangrove Pangkal Babu, sekitar 5 kilometer dari ruas jalan aspal Tungkal I, pengunjung harus menyewa ojek sepeda motor. Biayanya sekitar IDR 70.000 per motor.
Karena jalanan menuju ke lokasi tidak dapat dilalui kendaraan roda empat.
Belum lagi, jika bicara soal fasilitas pribadi; seperti toilet dan penginapan, misalnya.
Tetapi, jika pemerintah telah menetapkan kawasan ini sebagai areal wisata, terlepas dari siapapun yang bakal datang, karena itu adalah wisatawan. Maka pengembangan tidak harus berhenti di sini saja.
Wisata, sebab, tidak memulu bicara soal keindahan alam saja. Tapi juga sarana dan prasarana, struktur dan infrastruktur. Juga kesiapan sumber daya manusia di sana.*