Frans Dan Alex Mendur “Mengejar Cahaya” Kebebasan

Hak Asasi Manusia

May 7, 2023

Jon Afrizal

Tugu Pers Mendur di Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. (sumber : bbc.com)

“IPPHOS termasuk golongan yang sudah lama mengerti dan justru oleh karena media ini mengerti, maka dengan segala kerendahan hati izinkan media ini menyampaikan harapan rakjat, agar Pemerintah dan
para pemimpin supaja dalam setiap tindakannja, disesuaikan dengan djiwa dan semangat paramadna, tau jang mana harus dipentingkan, lebih realis dan djangan terlalu fantastis!” (editorial redaksi IPPHOS edisi 18, Th IX, Maret 1962)

PHOTO jurnalistik Indonesia tidak dapat lepas dari nama Frans dan Alex Mendur. Photographer yang telah membingkai sekian banyak peristiwa penting pada saat-saat awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Satu photo, yang sering kita lihat adalah peristiwa pembacaan teks Proklamasi Indonesia. Peristiwa penting, yang setelah beberapa bulan kemerdekaan berjalan, baru dapat dilihat photo-nya. Photo itu adalah karya Frans Soemitro Mendur, adik dari Alex Impurung  Mendur.

Dikutip dari buku dengan judul yang sama, yang ditulis oleh Wiwi Kasiah (1986),  mereka berdua berasal dari Kawangkoan, Sulawesi Utara, sekitar 45 kilometer dari Kota Manado.

Alex belajar photography dari Anton Nayoan, kerabat dekatnya yang juga telah membawanya merantau ke Pulau Jawa pada usia 15 tahun.

Alex juga telah mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS), sebuah kantor berita photo  yang berpusat di Jakarta. Awalnya IPPHOS beralamat di Jalan Tanah Abang. Lalu berpindah ke sebuah gedung tua eks kantor dagang Belanda di Jalan Hayam Wuruk nomor 30 Jakarta.

Sebelumnya, ia berkerja di perusahaan photography milik perusahaan Inggris di Bandung. Dari sinilah praktek-praktek photography diasahnya. Kemudian, ia berpindah ke perusahaan Kodak milik Jerman di Jakarta.

Ia pun pernah bekerja untuk De Java Bode, sebuah media berbahasa Belanda di Batavia (Jakarta), pada usia 25 tahun. Dengan gaji 85 gulden per bulan, ia pun dapat mencicil kendaraan roda empat yang harganya waktu itu 300 gulden.

Sama seperti jurnalis photo pada umumnya, selalu ada ideologi yang ditanam dibenaknya. Sebuah ideologi yang mengedepankan kepentingan orang banyak ketimbang diri sendiri.

Sehingga, ia pun menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan informasi yang akurat, meskipun harus menghadapi banyak rintangan. Alex mereportase kejadian meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1933.

Dengan resiko nyawa menghadapi lahar panas,  juga dibawah ancaman “ditembak” oleh pemerintah Belanda. Tetapi, selalu ada cara untuk menjunjung ideologi itu. Agar publik mengetahui kondisi terkini letusan Gunung Merapi.

Alex adalah mata publik. Meskipun hanya menggunakan Contess  Nettel dengan film 9 x 12  tanpa range finder. Tetapi, reportase tetap harus sesuai konteks.

Ia pun menularkan ilmu photography-nya kepada adiknya, Frans Soemarto Mendur. Frans, luwes dalam pergaulan di tingkat elite politik. Sehingga beruntung dan dapat mem-frame peristiwa pembacaan teks Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Cikini, Jakarta.

Keduanya terbiasa dengan news value, mana photo yang dibutuhkan oleh banyak orang dan layak jual. Tetapi, jurnalisme tidak melulu terkait harga yang dibayar dari kerja saja. Melainkan juga tentang memberikan informasi yang akurat dan seimbang kepada publik.

Poto peristiwa Pembacaan Teks Proklamasi karya Frans Mendur. (dok IPPHOS/ANRI).

Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), photo karya Frans, yakni pembacaan teks Proklamasi itu terbit pertama kali di harian Merdeka pada 20 Februari 1946, setelah lebih dari enam bulan berjalannya kemerdekaan. Sayangnya, film negatif sebagai catatan visual photo bersejarah itu telah hilang. Beberapa orang menyatakan film itu ikut hancur pada saat dokumen-dokumen milik kantor berita Antara dibakar pada kerusuhan 1965.  

Terkait kisah Frans yang legendaris dengan kamera Leica-nya, ia mendapatkan informasi awal tentang peristiwa pembacaan naskah proklamasi itu dari sebuah sumber di media Djepang Asia Raja. Pagi Jum’at di bulan Ramadhan itu, bersama Alex, mereka berdua bergerak menuju rumah kediaman Soekarno itu.

Keduanya secara lincah berhasil lolos melewati penjagaan tentara Jepang, dan sampai di titik liputan, Jalan Pegangsaan nomor 56. Hari masih menunjukan pukul 05.00 WIB. Acara bersejarah akan berlangsung pukul 10.00 WIB.

Dan, photographer yang hadir saat itu hanya Alex dan Frans Mendur!

Frans hanya memiliki tiga lembar plat film, yang artinya ia hanya dapat memotret tiga photo saja. Maka, jadilah tiga photo bersejarah. Yakni Soekarno sedang membaca teks Proklamasi, pengibaran bendera Merah-Putih oleh anggota PETA (Pembela Tanah Air) Latief Hendraningrat, dan suasana para pemuda yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu.

Frans memahami ia harus menyelamatkan diri, setelah meliput peristiwa itu, karena tentara Jepang sedang mencarinya. Negatif film 6 x 6  ia kubur di tanah di dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Djepang Asia Raja. Ketika tentara Jepang mengintrogasinya, ia mengatakan bahwa negatif film telah diambil oleh Barisan Pelopor.

Sebuah trick, untuk tetap menjaga informasi penting agar sampai kepada publik. Jika tidak, tentu saja tidak ada dokumentasi terkait pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Tetapi, adalah sama seperti jurnalis-jurnalis pada umumnya, kerap dilupakan. Frans meninggal pada tahun 1971, dan Alex meninggal pada tahun 1984.

Namun, apapun hal baik yang telah dilakukan, akan selalu ada dan nyata hasilnya. Pada 9 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi keduanya penghargaan Bintang Jasa Utama.

Pun, tentang kritik yang menunjukan sikap netral keduanya, yang menjadi pembuka pada awal tulisan ini. Sebagai citra independensi setiap jurnalis.

Adalah benar petuah dalam dunia jurnalistik, bahwa jurnalis tidak berpihak, melainkan kepada kebenaran.*

avatar

Redaksi