Karhutla Dan Banjir; Efek Buruk Mengubah Bentang Alam

Lingkungan & Krisis Iklim

May 3, 2023

Jon Afrizal/Kota Jambi

Genangan banjir terjadi di banyak wilayah di Kota Jambi, Senin (1/5). (credit tittle : Junus Nuh/amira.co..id)

SECARA bersamaan, Provinsi Jambi menghadapi dua kejadian; kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan banjir. Kondisi ini, menurut para ahli disebut Climate Change (perubahan iklim), dimana telah terjadi perubahan yang signifikan pada musim yang tidak semestinya. Musim penghujan akan terjadi lebih cepat dari waktu biasanya, atau bahkan terjadi dalam waktu yang lebih lama dari biasanya. Begitu juga, sebaliknya, dengan musim kemarau.

Pada tahun-tahun di bawah dekade 1990-an, musim penghujan biasanya terjadi pada bulan September hingga Februari. Sementara musim kemarau terjadi pada bulan Maret hingga Agustus. Itu adalah sebuah keniscayaan yang ada di benak kita.

Sekarang, dapat dirasakan sendiri, pada bulan April, yang seharusnya telah masuk musim kemarau, tetapi hujan dapat terjadi setiap saat, terutama pada sore hingga malam hari. Atau, ketika merasakan suhu begitu panas dan tidak bersahabat, secara tiba-tiba langit mendung dan hujan pun turun.

La Nina, demikian kondisi cuaca saat ini  disebut oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Saat La Nina terjadi, angin berhembus lebih kencang dari biasanya (: angin pasat) di sepanjang khatulistiwa di atas Samudera Pasifik, dari Amerika Selatan menuju Asia. Sehingga membuat air hangat berkumpul di lepas pantai Asia, dan mengakibatkan naiknya permukaan air laut.

Kita tinggalkan sejenak definisi-definisi ini, dan mari, melihat kondisi real di sekeliling kita, yakni banjir di Kota Jambi, dan karhutla di kabupaten-kabupaten yang berada di areal gambut, yang terjadi secara serentak pada pekan ini.

Provinsi Jambi memiliki semboyan “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”. Lurah, dalam bahasa lokal (: Melayu) memiliki arti tanah yang cenderung rendah atau lembah yang berada di antara tanah yang tinggi. Kita juga mengenal pepatah lama, yakni “Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun.”

Masyarakat di Kota Jambi sebelum era smartphone dan digitalisasi mengenal rumah panggung sebagai tempat hunian. Begitu juga di kabupaten-kabupaten lainnya. Tujuannya adalah untuk menghindari banjir sungai Batanghari dan anak-anak sungainya, serta untuk menghindari binatang buas yang keluar dari hutan dan masuk kampung.

Dengan kondisi Sungai Batanghari yang selalu meluapkan airnya pada setiap tahun, atau per lima tahun sekali terjadi banjir besar, maka permukaan air pun bahkan telah berada di dalam rumah-rumah panggung. Kondisi ini sering dianggap secara kelakar sebagai bebersih rumah. Lantai rumah-rumah panggung yang terbuat dari papan akan dipenuhi lumpur yang dibawa oleh aliran air sungai. Ini adalah penggambaran tentang betapa tingginya permukaan air ketika Sungai Batanghari meluap.

Sungai Batanghari tidak memiliki batu-batu sungai di bagian dasarnya, melainkan lumpur. Sehingga permukaan air Sungai Batanghari cenderung berwana cokelat susu, dan tidak jernih seperti sungai di huluan Jambi yang dasarnya berbatu. Sebut saja seperti sungai-sungai di huluan yang dekat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). 

Dikarenakan tidak adanya batu-batu di sungai, maka tidak juga dijumpai bangunan candi yang murni berasal dari batu sungai. Candi Muara Jambi yang berada sekitar 26 kilometer dari Kota Jambi adalah susunan batu batu, kecuali pada makara, yang merupakan batu sungai.

Sementara lurah atau lembah adalah daerah yang selama ini patut dihindari untuk didiami karena selalu bergenang air (rawa). Ilmu modern menyebutnya sebagai daerah resapan air.

Begitu pula dengan sekian banyak anak-anak sungai yang berada di Kota Jambi, yang bermuara ke Sungai Batanghari. Kota Jambi memiliki nama-nama daerah yang diawali dengan kata “sungai”. Seperti Sungai Asam, Sungai Maram dan seterusnya.  

Tetapi, pertumbuhan penduduk adalah keniscayaan untuk sebuah kota. Juga, urbanisasi, atau perpindahan penduduk dari kota-kota di luar Kota Jambi juga menyebabkan berkembangnya sebuah kota. Sementara penduduk yang sejak dulu ada pun terus berketurunan.

Maka, kapasitas suatu kawasan untuk menampung penduduk tentu akan bertambah juga. Daerah-darah yang dulu tidak tersentuh dan hanya semak belukar pun telah pula menjadi tempat hunian.

Daerah seperti Simpang Rimbo, misalnya. Simpang adalah pertemuan beberapa ruas jalan. Sementara Rimbo adalah rimba atau hutan. Itu kondisi di bawah era 1980-an. Tetapi, kini, jika anda berada di kawasan Simpang Rimbo, silahkan lihat sendiri, daerah mana lagi yang adalah rimbo itu.

Rimbo beton, yang akan anda lihat, tentunya. Jejeran rumah-rumah dengan lantai di dasar tanah, dan bukan rumah panggung.

Juga, termasuk mmebangun rumah toko (ruko) yang melulu adalah semen dan tanpa areal tempat air dapat meresap ke tanah. Dan, air hujan yang turun dari “pancuran” ruko akan memilih drainase sendiri.

Drainase yang baik adalah persoalan di Kota Jambi. Saluran yang akan membawa air menuju tanah dan menjadi air tanah, atau menuju ke muara, yakni Sungai Batanghari.

Orang Rimba, atau Suku Kubu di Taman Nasional Bukit Duableas (TNBD) menyebut kondisi ini dengan sebagai meroboh halom, atau arti harfiahnya adalah mengubah bentuk alam. Seperti, yang dulu hutan tetapi kini telah menjadi perkebunan mono kultur, atau tanah yang dulu ceruk rendah sekarang telah ditimbun dan menjadi datar, dan seterusnya.

Begitu juga dengan kondisi di lahan gambut dan pesisir. Daerah-daerah yang dulu hanya dihuni oleh para penakluk dari Suku Bugis, Banjar, Duano dan penduduk Melayu. Mereka menaklukan lahan gambut yang selalu basah dengan kesulitan air bersih itu.

Kini, lahan-lahan gambut telah ditaklukan oleh perkebunan mono kultur. Anda dapat menyebut sawit atau akasia sebagai perkebunan mono kultur. Tetapi jika pinang pun mulai ditanami secara massif hingga hitungan ratusan hektare, maka suatu saat pinang pun adalah mono kultur.

Data? Silahkan perbandingkan sendiri luasan tak terjamah pada tahun 1980-an di Provinsi Jambi, dengan kondisi pasaca karhutla pertama di tahun 1990. Realita, kadang, nyesek di dada.

Itu juga berlum termasuk jika kita menghitung rusaknya hutan di era Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan illegal logging. Anda tentu masih ingat dengan kata somil (sawmil), plaiwot (plywood) dan pabrik.

Ini adalah sebuah keterlanjuran yang berakibat panjang. Serupo kaset kusut, kata Orang Jambi. Generasi saat ini telah mendapatkan akibat dari perbuatan generasi sebelumnya.

Dan, tidak ada gunanya untuk saling menyalahkan. Mari berpikir jernih dan melakukan terobosan ke arah perbaikan.

Sebab, siapa yang menabur angin pasti akan menuai badai.*

avatar

Redaksi